Minggu, 14 Agustus 2011
dia bercerita
Ikhlaskanlah
Hari ini aku bertengkar lagi dengannya. Ia pulang lewat
tengah malam, membuatku cemas menunggunya di ruang tamu sejak makan malam usai.
"Vega kan tadi sudah bilang, tidur saja duluan.
Vega bawa kunci kok," ujarnya sambil melepas sepatu.
"Tidur, tidur! Kamu tuh tuh ya, udah dibilangin
berapa kali, milih temen tuh yang bener! Disuruh nganterin dari ujung ke ujung,
kok mau aja. Kita tuh tinggal di Otista, mau-maunya kamu capek-capek
bolak-balik dari kampus ke Pulogadung dulu," delikku kesal ke arahnya.
"Tapi kan kasihan, udah malem juga," ujarnya
masih membela temannya.
"Kasihan-kasihan, dia kasihan nggak sama kamu??
Dia kan bisa nginep dulu sama temen yang kosannya deket kampus. Temen jahat
gitu kok masih dibelain terus," tangkisku sewot.
"Yaudah lah, Vega tidur dulu," sahutnya letih.
dia bercerita (Berlarilah, Risto!)
"Masih di 94.3 FM Planet Radio, Spirit of The City.. Kali ini gue, Ardan
Don bakal nemenin lu selama dua jam ke depan dengan single-single manis spesial
malam mingguan. Buat yang lagi di jalan, otewe ke tempat dinner bareng
gandengan, atau yang lagi meluk guling menikmati kegalauan, ini dia first track
kita, Mocca dengan On The Night Like This."
Dia bercerita: Pulang Hari Ini
Yusran duduk lemas di kursinya. Ditopangkannya dagu ke tangan. Di hadapannya,
meja makan belum lagi terisi. Kosong.
Cemberut, dipalingkannya wajah ke Emaknya yang sibuk menyalakan kompor minyaknya.
Cemberut, dipalingkannya wajah ke Emaknya yang sibuk menyalakan kompor minyaknya.
"Mak, buka masih lama ya?"
"Kenapa? Uran sudah lapar?" ditatapnya Yusran, menahan geli melihat cemberutnya.
"Tunggu sja sebentar lagi, belum juga adzan, Ran," lanjutnya sambil mulai menggulai.
Yusran mendorong kursinya ke belakang, beralih ke ruang tamu. Diambilnya sesuatu dari bawah meja tamu, lalu dibawanya ke dapur.
dia bercerita
Aku Cantik, Kan?
Arini menyendok sayur di piringku. Perlahan aku membuka mulut. Disuapkannya sepotong ikan dengan cah kangkung.
Kukunyah mujair goreng itu sambil menatap wajahnya.
"Kau tidak memakai bedak lagi ya, Arini?"
Ia menggeleng pelan.
Aku tersenyum, senang melihat wajahnya. Kuketuk piring di tangannya.
"Lagi," pintaku.
Ia pun menyendok lagi.
+++
Kutatap pantulan di cermin. Hari ini mestilah banyak yang menghubungiku, seperti biasanya. Kusemprotkan koleksi terbaru Victoria's Secret yang kubeli semalam bersama Pak Bintoro. Wangi.
Tak percuma aku memberinya service berlebih kemarin.
Kumasukkan make-up dan handphoneku ke dalam tas. Siang ini aku sudah ada janji dengan Pak Cahyo. Shangrilla, kamar 505. Sekilas kulayangkan pandang pada Casio di lenganku. Pukul 11.30.
Bergegas aku keluar dan mengunci pintu kamar. Nada tuk-tak-tuk dari hak sepatuku memelan saat aku tiba di garasi.
Kuhidupkan pintu mobil pemberian Pak Alfred saat ringtoneku bersenandung.
"Halo, Pak Cahyo?"
"Hai Priska sayang..mau makan dulu? Aku sudah sampai, kalau kau mau biar kupesankan," jawab suara di ujung telepon.
"Mmm.. Ngga usah deh, langsung aja," jawabku manja.
Bisa kurasakan kegirangan bandot tua itu dalam nada suaranya.
"Oh oke..aku tunggu sayang," tukasnya.
Kumatikan panggilannya.
Perlahan, kupercepat laju mobilku.
Sesampainya di kamar, dia sudah duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dariku.
"Siang-siang begini, kamu makin cantik saja Pris," pujinya sambil menyeringai.
Aku hanya tersenyum mendekatinya. Tak sabar, diraihnya pinggangku dan dilemparkannya ke kasur. Kupejamkan mataku, membiarkannya melepas dahaga.
+++ Saat aku terbangun, tak kulihat Pak Cahyo di sampingku. Jam tanganku menunjukkan pukul setengah lima sore. Pantas saja.
Perlahan aku menarik badan, bangkit dari ranjang.
Kurasakan sedikit pening masih menyerangku.
"Sudah bangun, wanita sundal?"Aku terkesiap. Dari dalam kamar mandi, muncul seorang wanita dengan mata nyalang penuh dendam.
"Anda siapa? Masuk begitu saja ke kamar orang!" teriakku takut. Matanya sontak menyipit mendekatiku.
"Siapa?? Siapa katamu?? Aku istri pria yang bermain denganmu tadi! Apa yang kau perbuat hingga dia bertekuk lutut padamu, hah, pela**r??" ujar wanita itu, tak kalah keras.
"Aku? Kau tanya aku berbuat apa?? Mestinya kau yang berkaca, apa yang tidak kau lakukan untuk memperbaiki tubuh dan wajahmu, wanita jelek! Bagaimana mungkin suamimu tak ingin bersenang-senang denganku, bila yang harus ditemuinya tiap kembali ke rumah sejelek dirimu! Perbaiki saja dirimu dahulu, baru mengata-ngatai diriku, dasar buruk rupa!" sergahku.
Kulihat rautnya yang terguncang dengan makianku.
Dilemparkannya isi botol yang digenggamnya sedari tadi.
"Bila aku tak cantik, maka kini kau pun tidak!" teriaknya lagi.
Kurasakan isi botol itu membakar wajah dan tanganku. Lelehan kulitku menetes-netes ke permadani kamar. Lolonganku disambutnya dengan gelak yang menggelegar. Perlahan pandanganku menggelap.
Saat aku terbangun, kudengar beberapa orang memanggil dokter. Detapan sepatu terasa mendekati ranjangku. Betapa ngerinya aku saat kulihat wanita jelek tadi mengganda menjadi sepuluh, tidak, puluhan wanita berpakaian putih, menyeringai, bergerak di sekeliling tempat tidurku. Sekujur badanku gemetar menahan jerit.
Kukunyah suapan terakhirku. Arini mengambil gelas dari meja, menyodorkannya ke bibirku. Perlahan kusesap air minumku dari sedotan.Syukurlah, makanannya hari ini habis lagi, batin Arini.Aku kembali menatap wajahnya."Kamu manis, Arini," ujarku tersenyum. Dia hanya membalas senyumku tanpa kata.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar, merasa tenang. Sudah lama sekali wanita jelek itu tak menggangguku. Hari ini pun tidak. Padahal dulu, dia bisa setiap hari berkeliaran di dekatku, bahkan bermain-main di kamarku hingga aku tidur.
Kuketuk-ketukkan jemariku ke gelas. Kukerlingkan mataku pada Arini yang sedang menatapku."Aku cantik kan, Arini? Aku cantik kan?"Lagi-lagi gadis di hadapanku tersenyum."Ya Nek, Nek Priska cantik sekali." (TW)
Arini menyendok sayur di piringku. Perlahan aku membuka mulut. Disuapkannya sepotong ikan dengan cah kangkung.
Kukunyah mujair goreng itu sambil menatap wajahnya.
"Kau tidak memakai bedak lagi ya, Arini?"
Ia menggeleng pelan.
Aku tersenyum, senang melihat wajahnya. Kuketuk piring di tangannya.
"Lagi," pintaku.
Ia pun menyendok lagi.
+++
Kutatap pantulan di cermin. Hari ini mestilah banyak yang menghubungiku, seperti biasanya. Kusemprotkan koleksi terbaru Victoria's Secret yang kubeli semalam bersama Pak Bintoro. Wangi.
Tak percuma aku memberinya service berlebih kemarin.
Kumasukkan make-up dan handphoneku ke dalam tas. Siang ini aku sudah ada janji dengan Pak Cahyo. Shangrilla, kamar 505. Sekilas kulayangkan pandang pada Casio di lenganku. Pukul 11.30.
Bergegas aku keluar dan mengunci pintu kamar. Nada tuk-tak-tuk dari hak sepatuku memelan saat aku tiba di garasi.
Kuhidupkan pintu mobil pemberian Pak Alfred saat ringtoneku bersenandung.
"Halo, Pak Cahyo?"
"Hai Priska sayang..mau makan dulu? Aku sudah sampai, kalau kau mau biar kupesankan," jawab suara di ujung telepon.
"Mmm.. Ngga usah deh, langsung aja," jawabku manja.
Bisa kurasakan kegirangan bandot tua itu dalam nada suaranya.
"Oh oke..aku tunggu sayang," tukasnya.
Kumatikan panggilannya.
Perlahan, kupercepat laju mobilku.
Sesampainya di kamar, dia sudah duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dariku.
"Siang-siang begini, kamu makin cantik saja Pris," pujinya sambil menyeringai.
Aku hanya tersenyum mendekatinya. Tak sabar, diraihnya pinggangku dan dilemparkannya ke kasur. Kupejamkan mataku, membiarkannya melepas dahaga.
+++ Saat aku terbangun, tak kulihat Pak Cahyo di sampingku. Jam tanganku menunjukkan pukul setengah lima sore. Pantas saja.
Perlahan aku menarik badan, bangkit dari ranjang.
Kurasakan sedikit pening masih menyerangku.
"Sudah bangun, wanita sundal?"Aku terkesiap. Dari dalam kamar mandi, muncul seorang wanita dengan mata nyalang penuh dendam.
"Anda siapa? Masuk begitu saja ke kamar orang!" teriakku takut. Matanya sontak menyipit mendekatiku.
"Siapa?? Siapa katamu?? Aku istri pria yang bermain denganmu tadi! Apa yang kau perbuat hingga dia bertekuk lutut padamu, hah, pela**r??" ujar wanita itu, tak kalah keras.
"Aku? Kau tanya aku berbuat apa?? Mestinya kau yang berkaca, apa yang tidak kau lakukan untuk memperbaiki tubuh dan wajahmu, wanita jelek! Bagaimana mungkin suamimu tak ingin bersenang-senang denganku, bila yang harus ditemuinya tiap kembali ke rumah sejelek dirimu! Perbaiki saja dirimu dahulu, baru mengata-ngatai diriku, dasar buruk rupa!" sergahku.
Kulihat rautnya yang terguncang dengan makianku.
Dilemparkannya isi botol yang digenggamnya sedari tadi.
"Bila aku tak cantik, maka kini kau pun tidak!" teriaknya lagi.
Kurasakan isi botol itu membakar wajah dan tanganku. Lelehan kulitku menetes-netes ke permadani kamar. Lolonganku disambutnya dengan gelak yang menggelegar. Perlahan pandanganku menggelap.
Saat aku terbangun, kudengar beberapa orang memanggil dokter. Detapan sepatu terasa mendekati ranjangku. Betapa ngerinya aku saat kulihat wanita jelek tadi mengganda menjadi sepuluh, tidak, puluhan wanita berpakaian putih, menyeringai, bergerak di sekeliling tempat tidurku. Sekujur badanku gemetar menahan jerit.
Kukunyah suapan terakhirku. Arini mengambil gelas dari meja, menyodorkannya ke bibirku. Perlahan kusesap air minumku dari sedotan.Syukurlah, makanannya hari ini habis lagi, batin Arini.Aku kembali menatap wajahnya."Kamu manis, Arini," ujarku tersenyum. Dia hanya membalas senyumku tanpa kata.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar, merasa tenang. Sudah lama sekali wanita jelek itu tak menggangguku. Hari ini pun tidak. Padahal dulu, dia bisa setiap hari berkeliaran di dekatku, bahkan bermain-main di kamarku hingga aku tidur.
Kuketuk-ketukkan jemariku ke gelas. Kukerlingkan mataku pada Arini yang sedang menatapku."Aku cantik kan, Arini? Aku cantik kan?"Lagi-lagi gadis di hadapanku tersenyum."Ya Nek, Nek Priska cantik sekali." (TW)
dia bercerita
Diari
Denting Hati
Alvin masih terlelap. Aku kembali membaca Yasin dalam diam. Tetap saja tak fokus. Benakku sedari tadi hanya memutar ulang vonis dokter semalam. Leukemia.
Mataku kembali memanas.
Aku tidak rela Ya Rabb..bolehkah aku tidak rela? Mengapa jalan yang kau berikan terasa berliku sejak aku menjalani hidup?
Aku kembali memutar-mutar waktu dalam rekam otak. Aku dibesarkan dalam keluarga muslim yang taat, yang menjadi panutan warga sekitar dalam beribadah dan berbuat. Tapi Ayah adalah pribadi yang keras, tak menghendaki kata tidak dalam jawabku atas pinta dan perintahnya.
Aku menjadi penurut, seperti Ibu. Namun Ibu yang lembut dan patuh itu seringkali menemukan buku harianku yang berisi kemarahan dan kekecewaan atas sikap ayah dengan tinta luntur dimana-mana, terkena tetes tangisku. Aku menentangnya sebatas tulisan. Saat itu.
Alvin masih terlelap. Aku kembali membaca Yasin dalam diam. Tetap saja tak fokus. Benakku sedari tadi hanya memutar ulang vonis dokter semalam. Leukemia.
Mataku kembali memanas.
Aku tidak rela Ya Rabb..bolehkah aku tidak rela? Mengapa jalan yang kau berikan terasa berliku sejak aku menjalani hidup?
Aku kembali memutar-mutar waktu dalam rekam otak. Aku dibesarkan dalam keluarga muslim yang taat, yang menjadi panutan warga sekitar dalam beribadah dan berbuat. Tapi Ayah adalah pribadi yang keras, tak menghendaki kata tidak dalam jawabku atas pinta dan perintahnya.
Aku menjadi penurut, seperti Ibu. Namun Ibu yang lembut dan patuh itu seringkali menemukan buku harianku yang berisi kemarahan dan kekecewaan atas sikap ayah dengan tinta luntur dimana-mana, terkena tetes tangisku. Aku menentangnya sebatas tulisan. Saat itu.
dia bercerita
Bunda Jangan Marah..
Aku asyik tidur-tiduran di sofa ruang tv saat Arya
sibuk dengan lego-legonya. Mataku memicing melihat bayangan di sudut sofa yang
perlahan menjelas. Seorang nenek-nenek berkebaya rumahan tersenyum padaku dan
Arya. Aku tersenyum balik pada nenek itu, namun dengan segera ia menghilang.
Kubisikkan pada kembaranku itu bahwa aku tadi melihat
lagi nenek berkebaya duduk di sofa kami.
"Benarkah, Bim?" tanyanya penasaran. Aku
mengangguk kuat-kuat. Belum selesai aku menjelaskan rupa nenek itu saat Bunda
masuk ke ruang tv.
"Arya, yuk makan," ujarnya.
"Bima tidak diajak, Bunda?"
Bunda menghela napas sebelum mengusap kepala adikku
itu.
"Bima pasti sudah kenyang," jawabnya.
Arya menoleh padaku sebelum beranjak ke ruang makan.
"Jaga istananya ya," bisiknya sambil
meletakkan lego terakhir untuk atap istananya.
Aku mengangguk lagi.
+++
Sudah lama aku merasa bahwa Bunda tak sayang padaku.
Terlebih saat aku bermain seharian sambil bercerita pada Arya tentang apa yang
kulihat. Bunda mungkin menganggapku aneh, atau tukang bohong. Seringkali Bunda
menghukum dengan tak mau bicara denganku.
Untung Arya percaya. Meski ia tak ikut melihatnya, Arya
selalu bersemangat setiap kuceritakan 'hasil penglihatan'ku itu. Tapi kadang ia
melaporkan hasil penglihatanku pada Bunda. Aku jadi semakin sering didiamkan.
+++
Aku
menuruti langkah Arya ke kamar mandi, menyikati gigi setelah makan. Ditatapnya
aku lekat-lekat. "Bima lapar ya?" tanyanya setelah berkumur.
Aku menggeleng.
"Tapi kamu pucat. Ah, kamu liat nenek itu lagi ya?"
Aku diam. Dipeluknya aku erat-erat.
"Bima jangan takut, kan ada Arya. Besok Arya bilang Ayah deh, siapa tau Ayah bisa bantu biar Arya juga ngeliat apa yang Bima liat.."
Perlahan air mataku meleleh. Bunda atau Ayah tidak pernah memelukku seperti yang adikku ini lakukan. Aku tahu aku aneh, tapi aku sedih dibenci begini.
Kami pun masuk ke kamar. Aku baru saja akan terpejam saat melihat nenek tadi berdiri di samping tempat tidurku. Tapi dia tidak sendiri, di sampingnya berdiri kakek yang tersenyum seperti dirinya. Aku berteriak tanpa suara, takut membangunkan Arya yang sudah lelap.
"Bima sudah besar..," ujar kakek itu pada wanita tua di sampingnya. Nenek itu mengangguk. Mereka pun menghilang.
+++
Pagi ini Bunda sibuk memakaikan Arya seragam merah putih pertamanya. Sambil menyisir rambutnya, ia bertanya padaku yang berpiyama, duduk di tepi kasur, memerhatikannya.
"Bima tidak ikut ke sekolah?"
Aku menggeleng.
"Rasanya aku sedikit tidak enak badan, mungkin demam," ujarku.
Rautnya sedikit kecewa, tapi cepat-cepat ia tersenyum menyemangatiku.
"Cepat sembuh ya, nanti jam sepuluh aku pulang kok."
Aku tersenyum balik padanya.
Sebelum berangkat, kudengar Arya bertanya pada Ayah tentang yang dikatakannya semalam.
"Jangan Arya, nanti Ayah dan Bunda sedih," jawab Ayah.
Kulihat paras Arya kembali kecewa.
Aku menggeleng.
"Tapi kamu pucat. Ah, kamu liat nenek itu lagi ya?"
Aku diam. Dipeluknya aku erat-erat.
"Bima jangan takut, kan ada Arya. Besok Arya bilang Ayah deh, siapa tau Ayah bisa bantu biar Arya juga ngeliat apa yang Bima liat.."
Perlahan air mataku meleleh. Bunda atau Ayah tidak pernah memelukku seperti yang adikku ini lakukan. Aku tahu aku aneh, tapi aku sedih dibenci begini.
Kami pun masuk ke kamar. Aku baru saja akan terpejam saat melihat nenek tadi berdiri di samping tempat tidurku. Tapi dia tidak sendiri, di sampingnya berdiri kakek yang tersenyum seperti dirinya. Aku berteriak tanpa suara, takut membangunkan Arya yang sudah lelap.
"Bima sudah besar..," ujar kakek itu pada wanita tua di sampingnya. Nenek itu mengangguk. Mereka pun menghilang.
+++
Pagi ini Bunda sibuk memakaikan Arya seragam merah putih pertamanya. Sambil menyisir rambutnya, ia bertanya padaku yang berpiyama, duduk di tepi kasur, memerhatikannya.
"Bima tidak ikut ke sekolah?"
Aku menggeleng.
"Rasanya aku sedikit tidak enak badan, mungkin demam," ujarku.
Rautnya sedikit kecewa, tapi cepat-cepat ia tersenyum menyemangatiku.
"Cepat sembuh ya, nanti jam sepuluh aku pulang kok."
Aku tersenyum balik padanya.
Sebelum berangkat, kudengar Arya bertanya pada Ayah tentang yang dikatakannya semalam.
"Jangan Arya, nanti Ayah dan Bunda sedih," jawab Ayah.
Kulihat paras Arya kembali kecewa.
Dari
balik kamar kutatap bayang mereka yang melangkah menjauh ke halaman. Apa boleh
buat, bisikku dalam hati.
+++
Aku duduk di samping Bunda, memerhatikannya membulat-bulatkan adonan tepung coklat kesukaan Arya. Kuraih sendok besar seraya mengaduk adonan tepung susu, hingga kulihat Bunda menatap sendok itu, nanar.
Kuhentikan lenganku saat melihat Bunda mulai menangis.
"Maaf..maafkan Bunda," ujarnya terisak.
Aku panik, ingin sekali menenangkannya.
Tapi badanku kaku mendengarnya berbicara.
"Maafkan Bunda, tidak bisa selamatkan Pak Mardi, Mbok Yem, dan kamu.. Kalau saja Bunda tidak jatuh di tangga, mungkin Pak Mardi dan Mbok Yem tidak akan panik membawa Bunda ke rumah sakit.. Mungkin mereka tidak akan melarikan mobil secepat itu.. Mungkin Bunda bisa melahirkan kamu..bersama Arya.. Maafkan Bunda.."
Isaknya terhenti saat melihatku menangis. Dipeluknya aku erat-erat. Di sudut dapur, tampak kakek-nenek yang kulihat semalam tersenyum seraya menghilang. Kulihat jemariku yang memeluk Bunda ikut memudar. Hei, kenapa aku mulai menghilang? Sebentar lagi Arya pulang, aku kan mau bermain dengannya! (TW)
+++
Aku duduk di samping Bunda, memerhatikannya membulat-bulatkan adonan tepung coklat kesukaan Arya. Kuraih sendok besar seraya mengaduk adonan tepung susu, hingga kulihat Bunda menatap sendok itu, nanar.
Kuhentikan lenganku saat melihat Bunda mulai menangis.
"Maaf..maafkan Bunda," ujarnya terisak.
Aku panik, ingin sekali menenangkannya.
Tapi badanku kaku mendengarnya berbicara.
"Maafkan Bunda, tidak bisa selamatkan Pak Mardi, Mbok Yem, dan kamu.. Kalau saja Bunda tidak jatuh di tangga, mungkin Pak Mardi dan Mbok Yem tidak akan panik membawa Bunda ke rumah sakit.. Mungkin mereka tidak akan melarikan mobil secepat itu.. Mungkin Bunda bisa melahirkan kamu..bersama Arya.. Maafkan Bunda.."
Isaknya terhenti saat melihatku menangis. Dipeluknya aku erat-erat. Di sudut dapur, tampak kakek-nenek yang kulihat semalam tersenyum seraya menghilang. Kulihat jemariku yang memeluk Bunda ikut memudar. Hei, kenapa aku mulai menghilang? Sebentar lagi Arya pulang, aku kan mau bermain dengannya! (TW)
Langganan:
Postingan (Atom)
IG: @rakastambol
Mengenai Saya
- Rahmat Kamaruddin
- I am a longlife learner. Colleger of UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010, Faculty of Usul al-Din, Department of Theology and Philosophy.