Aku Cantik, Kan?
Arini menyendok sayur di piringku. Perlahan aku membuka mulut. Disuapkannya sepotong ikan dengan cah kangkung.
Kukunyah mujair goreng itu sambil menatap wajahnya.
"Kau tidak memakai bedak lagi ya, Arini?"
Ia menggeleng pelan.
Aku tersenyum, senang melihat wajahnya. Kuketuk piring di tangannya.
"Lagi," pintaku.
Ia pun menyendok lagi.
+++
Kutatap pantulan di cermin. Hari ini mestilah banyak yang menghubungiku, seperti biasanya. Kusemprotkan koleksi terbaru Victoria's Secret yang kubeli semalam bersama Pak Bintoro. Wangi.
Tak percuma aku memberinya service berlebih kemarin.
Kumasukkan make-up dan handphoneku ke dalam tas. Siang ini aku sudah ada janji dengan Pak Cahyo. Shangrilla, kamar 505. Sekilas kulayangkan pandang pada Casio di lenganku. Pukul 11.30.
Bergegas aku keluar dan mengunci pintu kamar. Nada tuk-tak-tuk dari hak sepatuku memelan saat aku tiba di garasi.
Kuhidupkan pintu mobil pemberian Pak Alfred saat ringtoneku bersenandung.
"Halo, Pak Cahyo?"
"Hai Priska sayang..mau makan dulu? Aku sudah sampai, kalau kau mau biar kupesankan," jawab suara di ujung telepon.
"Mmm.. Ngga usah deh, langsung aja," jawabku manja.
Bisa kurasakan kegirangan bandot tua itu dalam nada suaranya.
"Oh oke..aku tunggu sayang," tukasnya.
Kumatikan panggilannya.
Perlahan, kupercepat laju mobilku.
Sesampainya di kamar, dia sudah duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dariku.
"Siang-siang begini, kamu makin cantik saja Pris," pujinya sambil menyeringai.
Aku hanya tersenyum mendekatinya. Tak sabar, diraihnya pinggangku dan dilemparkannya ke kasur. Kupejamkan mataku, membiarkannya melepas dahaga.
+++ Saat aku terbangun, tak kulihat Pak Cahyo di sampingku. Jam tanganku menunjukkan pukul setengah lima sore. Pantas saja.
Perlahan aku menarik badan, bangkit dari ranjang.
Kurasakan sedikit pening masih menyerangku.
"Sudah bangun, wanita sundal?"Aku terkesiap. Dari dalam kamar mandi, muncul seorang wanita dengan mata nyalang penuh dendam.
"Anda siapa? Masuk begitu saja ke kamar orang!" teriakku takut. Matanya sontak menyipit mendekatiku.
"Siapa?? Siapa katamu?? Aku istri pria yang bermain denganmu tadi! Apa yang kau perbuat hingga dia bertekuk lutut padamu, hah, pela**r??" ujar wanita itu, tak kalah keras.
"Aku? Kau tanya aku berbuat apa?? Mestinya kau yang berkaca, apa yang tidak kau lakukan untuk memperbaiki tubuh dan wajahmu, wanita jelek! Bagaimana mungkin suamimu tak ingin bersenang-senang denganku, bila yang harus ditemuinya tiap kembali ke rumah sejelek dirimu! Perbaiki saja dirimu dahulu, baru mengata-ngatai diriku, dasar buruk rupa!" sergahku.
Kulihat rautnya yang terguncang dengan makianku.
Dilemparkannya isi botol yang digenggamnya sedari tadi.
"Bila aku tak cantik, maka kini kau pun tidak!" teriaknya lagi.
Kurasakan isi botol itu membakar wajah dan tanganku. Lelehan kulitku menetes-netes ke permadani kamar. Lolonganku disambutnya dengan gelak yang menggelegar. Perlahan pandanganku menggelap.
Saat aku terbangun, kudengar beberapa orang memanggil dokter. Detapan sepatu terasa mendekati ranjangku. Betapa ngerinya aku saat kulihat wanita jelek tadi mengganda menjadi sepuluh, tidak, puluhan wanita berpakaian putih, menyeringai, bergerak di sekeliling tempat tidurku. Sekujur badanku gemetar menahan jerit.
Kukunyah suapan terakhirku. Arini mengambil gelas dari meja, menyodorkannya ke bibirku. Perlahan kusesap air minumku dari sedotan.Syukurlah, makanannya hari ini habis lagi, batin Arini.Aku kembali menatap wajahnya."Kamu manis, Arini," ujarku tersenyum. Dia hanya membalas senyumku tanpa kata.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar, merasa tenang. Sudah lama sekali wanita jelek itu tak menggangguku. Hari ini pun tidak. Padahal dulu, dia bisa setiap hari berkeliaran di dekatku, bahkan bermain-main di kamarku hingga aku tidur.
Kuketuk-ketukkan jemariku ke gelas. Kukerlingkan mataku pada Arini yang sedang menatapku."Aku cantik kan, Arini? Aku cantik kan?"Lagi-lagi gadis di hadapanku tersenyum."Ya Nek, Nek Priska cantik sekali." (TW)
Arini menyendok sayur di piringku. Perlahan aku membuka mulut. Disuapkannya sepotong ikan dengan cah kangkung.
Kukunyah mujair goreng itu sambil menatap wajahnya.
"Kau tidak memakai bedak lagi ya, Arini?"
Ia menggeleng pelan.
Aku tersenyum, senang melihat wajahnya. Kuketuk piring di tangannya.
"Lagi," pintaku.
Ia pun menyendok lagi.
+++
Kutatap pantulan di cermin. Hari ini mestilah banyak yang menghubungiku, seperti biasanya. Kusemprotkan koleksi terbaru Victoria's Secret yang kubeli semalam bersama Pak Bintoro. Wangi.
Tak percuma aku memberinya service berlebih kemarin.
Kumasukkan make-up dan handphoneku ke dalam tas. Siang ini aku sudah ada janji dengan Pak Cahyo. Shangrilla, kamar 505. Sekilas kulayangkan pandang pada Casio di lenganku. Pukul 11.30.
Bergegas aku keluar dan mengunci pintu kamar. Nada tuk-tak-tuk dari hak sepatuku memelan saat aku tiba di garasi.
Kuhidupkan pintu mobil pemberian Pak Alfred saat ringtoneku bersenandung.
"Halo, Pak Cahyo?"
"Hai Priska sayang..mau makan dulu? Aku sudah sampai, kalau kau mau biar kupesankan," jawab suara di ujung telepon.
"Mmm.. Ngga usah deh, langsung aja," jawabku manja.
Bisa kurasakan kegirangan bandot tua itu dalam nada suaranya.
"Oh oke..aku tunggu sayang," tukasnya.
Kumatikan panggilannya.
Perlahan, kupercepat laju mobilku.
Sesampainya di kamar, dia sudah duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dariku.
"Siang-siang begini, kamu makin cantik saja Pris," pujinya sambil menyeringai.
Aku hanya tersenyum mendekatinya. Tak sabar, diraihnya pinggangku dan dilemparkannya ke kasur. Kupejamkan mataku, membiarkannya melepas dahaga.
+++ Saat aku terbangun, tak kulihat Pak Cahyo di sampingku. Jam tanganku menunjukkan pukul setengah lima sore. Pantas saja.
Perlahan aku menarik badan, bangkit dari ranjang.
Kurasakan sedikit pening masih menyerangku.
"Sudah bangun, wanita sundal?"Aku terkesiap. Dari dalam kamar mandi, muncul seorang wanita dengan mata nyalang penuh dendam.
"Anda siapa? Masuk begitu saja ke kamar orang!" teriakku takut. Matanya sontak menyipit mendekatiku.
"Siapa?? Siapa katamu?? Aku istri pria yang bermain denganmu tadi! Apa yang kau perbuat hingga dia bertekuk lutut padamu, hah, pela**r??" ujar wanita itu, tak kalah keras.
"Aku? Kau tanya aku berbuat apa?? Mestinya kau yang berkaca, apa yang tidak kau lakukan untuk memperbaiki tubuh dan wajahmu, wanita jelek! Bagaimana mungkin suamimu tak ingin bersenang-senang denganku, bila yang harus ditemuinya tiap kembali ke rumah sejelek dirimu! Perbaiki saja dirimu dahulu, baru mengata-ngatai diriku, dasar buruk rupa!" sergahku.
Kulihat rautnya yang terguncang dengan makianku.
Dilemparkannya isi botol yang digenggamnya sedari tadi.
"Bila aku tak cantik, maka kini kau pun tidak!" teriaknya lagi.
Kurasakan isi botol itu membakar wajah dan tanganku. Lelehan kulitku menetes-netes ke permadani kamar. Lolonganku disambutnya dengan gelak yang menggelegar. Perlahan pandanganku menggelap.
Saat aku terbangun, kudengar beberapa orang memanggil dokter. Detapan sepatu terasa mendekati ranjangku. Betapa ngerinya aku saat kulihat wanita jelek tadi mengganda menjadi sepuluh, tidak, puluhan wanita berpakaian putih, menyeringai, bergerak di sekeliling tempat tidurku. Sekujur badanku gemetar menahan jerit.
Kukunyah suapan terakhirku. Arini mengambil gelas dari meja, menyodorkannya ke bibirku. Perlahan kusesap air minumku dari sedotan.Syukurlah, makanannya hari ini habis lagi, batin Arini.Aku kembali menatap wajahnya."Kamu manis, Arini," ujarku tersenyum. Dia hanya membalas senyumku tanpa kata.
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar, merasa tenang. Sudah lama sekali wanita jelek itu tak menggangguku. Hari ini pun tidak. Padahal dulu, dia bisa setiap hari berkeliaran di dekatku, bahkan bermain-main di kamarku hingga aku tidur.
Kuketuk-ketukkan jemariku ke gelas. Kukerlingkan mataku pada Arini yang sedang menatapku."Aku cantik kan, Arini? Aku cantik kan?"Lagi-lagi gadis di hadapanku tersenyum."Ya Nek, Nek Priska cantik sekali." (TW)
0 komentar:
Posting Komentar