"Kenapa jadi kamu yang ganti??
Ajarin tuh temen kamu! Nyari temen kok ngasal aja," omelku dari luar
kamar. Tak kudengar sahutan apapun dari kamarnya. Aku pun beringsut ke dapur,
kesal.
+++
Hari ini dia demam. Kukompres lagi dahinya sambil menunggunya tertidur.
"Makanya, kalo hujan ya pulang aja. Ini malah nganterin orang dulu kemana-mana," omelku sambil merendam handuk kompres.
"Kesian tadi Dini ngambil sampelnya sendiri, dia kan juga gatau jalan ke rumah sakitnya," jawab Vega.
"Emang temennya Dini cuma kamu? Emang cuma kamu yang tau jalan ke rumah sakit?" cibirku lagi.
Dia tak menjawab, hanya kembali memejamkan matanya.
"Kalau mereka butuh, mereka merengek-rengek sama kamu. Tapi kalo kamu yang minta tolong, mereka bantuin, ngga?
Kemarin, katanya mau ngurus skripsi sama Arin, tapi ujung-ujungnya ngurus sendiri kan? Terus, waktu Mega ngga nemenin kamu, kamu nyasar sendirian sampe Ciledug kan?" cecarku.
"Vega mau tidur Nda," ujarnya sambil membalikkan punggung, membelakangiku.
Kuhela nafas, menahan marah akan ketidakmengertianku pada kelakuannya.
+++
Hari ini teman-temannya berdatangan ke rumah. Aku kembali bercerita dengan mereka tentang Vega, mengenangnya.
"Dia ga pernah ngeluh. Kami kira hobinya mengurut dada itu memang kebiasaannya. Tak tahunya.. Kami menyesal tak mengetahuinya, bahkan sampai di akhir dia..," ujar Dini di tengah cerita.
Memoriku melayang ke hari itu, lima tahun yang lalu. Vega pulang dengan badan menggigil. Skripsi hasil print terakhir di map kecilnya basah. Buru-buru kuganti bajunya sambil mengomel.
"Tadi kan sudah dibilangin, minta anterin sama temen kamu. Kamunya ngotot pergi sendiri. Temen-temen kamu kemana? Pada ngilang kalo kamu lagi butuh?"
Dia lagi-lagi tak menjawab, lalu masuk ke kamarnya.
Saat menaruh teh hangat di mejanya satu jam kemudian, kulihat dia berbaring memejamkan mata. Kusentuh lengannya. Jantungku seakan berhenti saat kurasakan nadinya tak berdenyut.
Panik, kubawa ia ke rumah sakit. Di dalam ambulan yang berlari membawanya, Vega berbisik untuk yang terakhir kali, "Vega cuma mau belajar jadi orang ikhlas, Bunda.." (TW)
+++
Hari ini dia demam. Kukompres lagi dahinya sambil menunggunya tertidur.
"Makanya, kalo hujan ya pulang aja. Ini malah nganterin orang dulu kemana-mana," omelku sambil merendam handuk kompres.
"Kesian tadi Dini ngambil sampelnya sendiri, dia kan juga gatau jalan ke rumah sakitnya," jawab Vega.
"Emang temennya Dini cuma kamu? Emang cuma kamu yang tau jalan ke rumah sakit?" cibirku lagi.
Dia tak menjawab, hanya kembali memejamkan matanya.
"Kalau mereka butuh, mereka merengek-rengek sama kamu. Tapi kalo kamu yang minta tolong, mereka bantuin, ngga?
Kemarin, katanya mau ngurus skripsi sama Arin, tapi ujung-ujungnya ngurus sendiri kan? Terus, waktu Mega ngga nemenin kamu, kamu nyasar sendirian sampe Ciledug kan?" cecarku.
"Vega mau tidur Nda," ujarnya sambil membalikkan punggung, membelakangiku.
Kuhela nafas, menahan marah akan ketidakmengertianku pada kelakuannya.
+++
Hari ini teman-temannya berdatangan ke rumah. Aku kembali bercerita dengan mereka tentang Vega, mengenangnya.
"Dia ga pernah ngeluh. Kami kira hobinya mengurut dada itu memang kebiasaannya. Tak tahunya.. Kami menyesal tak mengetahuinya, bahkan sampai di akhir dia..," ujar Dini di tengah cerita.
Memoriku melayang ke hari itu, lima tahun yang lalu. Vega pulang dengan badan menggigil. Skripsi hasil print terakhir di map kecilnya basah. Buru-buru kuganti bajunya sambil mengomel.
"Tadi kan sudah dibilangin, minta anterin sama temen kamu. Kamunya ngotot pergi sendiri. Temen-temen kamu kemana? Pada ngilang kalo kamu lagi butuh?"
Dia lagi-lagi tak menjawab, lalu masuk ke kamarnya.
Saat menaruh teh hangat di mejanya satu jam kemudian, kulihat dia berbaring memejamkan mata. Kusentuh lengannya. Jantungku seakan berhenti saat kurasakan nadinya tak berdenyut.
Panik, kubawa ia ke rumah sakit. Di dalam ambulan yang berlari membawanya, Vega berbisik untuk yang terakhir kali, "Vega cuma mau belajar jadi orang ikhlas, Bunda.." (TW)
0 komentar:
Posting Komentar