Sabtu, 17 Desember 2011

Adipati Kurawa Karna dalam Monolog


“…Ada yang tak dapat disingkirkan dari tangis setiap anak, juga dari seorang bayi yang tak diakui…dengan suara bergetar aku katakan kepadanya apa yang aku duga…” 

Kunthi, ibu kandung Karna, dalam monolognya, batinnya pilu menghikayatkan perjumpaannya dengan sang buah hati yang dahulu ia buang ke sungai. Kunthi melakukan itu demi menutupi buah perselingkuhannya dengan salah seorang pangeran sebelum menjadi permaisuri dari Pangeran.


Karna diasuh oleh Radha, istri seorang kusir yang menjadi ibu angkatnya, hingga tumbuh besar. Ia menjadi seorang  kesatria tangguh setelah belajar dari Parasurama. Kemudian Karna menjadi Adipati orang-orang Kurawa. Dalam lakon yang ditulis oleh Goenawan Mohamad ini, Karna adalah tokoh yang disisihkan dari kasta-kasta yang ada. Meskipun dalam wayang kulit, ia berperang di pihak Kurawa, sebenarnya Karna adalah anak Kunthi, permaisuri dan ibu dari kelima pangeran Pandawa.



Penampilan teater ini menampilkan monolog empat orang terdekat Karna (Sitok Srengenge) yang dikiriminya surat sebelum ia tewas dalam pertempuran.  Mereka adalah Kunthi (Niniek L. Karim), Radha (Sita Nursanti), Parasurama (Whani Darmawan), dan Surtikanti, (Putri Ayudya) Istri Karna.
Teater Monolog Karna yang berdurasi sekitar dua jam ini dibawakan melalui perspektif keempat tokoh itu atas ingatan mereka pada Karna.

Parasurama, Guru Karna, tersentak atas kedatangan surat Karna tersebut. Ia larut bermonolog dalam nostalgia mengingat sosok murid itu yang dahulu diusir olehnya. Karna menyerap semua ilmu Parasurama kecuali satu mantera ajaib. Parasurama adalah guru yang senantiasa mempertanyakan tingkatan status kelahiran dan kasta orang yang ingin belajar padanya. Ia mengusir Karna sebab dia menganggap Karna telah membohongi dirinya yang berkasta Brahma.
Surtikanti, Istri Karna, berlinang membaca surat mendiang suaminya, Karna (belakang).

 “Guru, terus terang hamba memang berdusta, tapi hanya dalam satu perkara dan bukan perkara lain. Dusta demi kebenaran. Tapi hamba tidak mengerti, kebenaran apa yang hamba tutupi jika tuan mengatakan hamba seorang Kesatria, hamba bukan Kesatria, tahukah tuan dari mana hamba lahir? Tuan tidak tahu. Hamba juga. Kelahiran adalah pengalaman yang sendiri. Tapi tuan dan masyarakat tuan menetapkan bahwa tidak ada yang sendiri,” Parasurama dalam monolognya mengutip perkataan Karna beberapa saat sebelum ia mengusirnya.

Pada saat berusia delapan tahun, dalam monolog Radha ibu angkatnya, Karna telah pandai membuat busur panah. Ia memiliki keberanian melampaui anak seusianya. Ia tak pernah gentar menghadapi siapapun yang menentangnya bahkan terhadap orang yang lebih besar darinya. Meski demikian ia juga anak yang tekun dalam belajar aksara dari kakek tua yang tinggal di ujung desa. Darinya, Karna banyak mendengar cerita-cerita para kesatria . “Para ksatria itu, Bu,” ujarnya kepadaku, “adalah makhluk sempurna,” Radha berlinang dalam monolognya.

Bagian yang menceritakan keberanian Karna dalam monolog Kunthi  yaitu pada saat  menghadapi para pangeran Pandawa dalam sebuah pertandingan, “Tuan-tuan melindungi diri dengan kasta dan kemahiran. Tuan-tuan punya du perisai, sedangkan saya hanya satu. Hanya kemahiran saya. Sekarang tuan-tuan bisa menilai sendiri siapa di antara kita yang berani bertanding.”

Monolog ini adalah sebuah lakon yang menafsirkan dan menciptakan kembali satu bagian tragis dari Bharatayudha, perang saudara antara para Kurawa dan Pandawa. Karna sendiri adalah seorang yang selamanya “lain”, yang menemukan harkatnya dari perang dan kematian. Ibarat “nol”, Karna bukanlah apa-apa, sehingga ia bisa menjadi apa saja. Karna adalah kisah tentang identitas seseorang—atau ketiadaan identitas itu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
I am a longlife learner. Colleger of UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010, Faculty of Usul al-Din, Department of Theology and Philosophy.