“…Ada yang tak dapat disingkirkan dari tangis setiap anak, juga dari seorang bayi yang tak diakui…dengan suara bergetar aku katakan kepadanya apa yang aku duga…”
Kunthi, ibu kandung Karna, dalam monolognya,
batinnya pilu menghikayatkan
perjumpaannya dengan sang buah hati yang dahulu ia buang ke sungai. Kunthi
melakukan itu demi menutupi buah perselingkuhannya dengan salah seorang
pangeran sebelum menjadi permaisuri dari Pangeran.
Karna diasuh oleh Radha, istri seorang kusir yang menjadi ibu
angkatnya, hingga tumbuh besar. Ia menjadi
seorang kesatria tangguh setelah belajar
dari Parasurama. Kemudian Karna menjadi Adipati orang-orang Kurawa. Dalam lakon
yang ditulis oleh Goenawan Mohamad ini, Karna adalah tokoh yang disisihkan dari
kasta-kasta yang ada. Meskipun dalam wayang kulit, ia berperang di pihak
Kurawa, sebenarnya Karna adalah anak Kunthi, permaisuri dan ibu dari kelima
pangeran Pandawa.
Penampilan teater ini menampilkan monolog empat orang terdekat
Karna (Sitok Srengenge) yang dikiriminya
surat sebelum ia tewas dalam pertempuran.
Mereka adalah Kunthi (Niniek L. Karim), Radha (Sita Nursanti), Parasurama
(Whani Darmawan), dan Surtikanti, (Putri Ayudya) Istri Karna.
Teater Monolog
Karna yang berdurasi sekitar dua jam ini dibawakan melalui perspektif keempat
tokoh itu atas ingatan mereka pada Karna.
Parasurama, Guru Karna, tersentak atas kedatangan surat
Karna tersebut. Ia larut bermonolog dalam nostalgia mengingat sosok murid itu
yang dahulu diusir olehnya. Karna menyerap semua ilmu Parasurama kecuali satu
mantera ajaib. Parasurama adalah guru yang senantiasa mempertanyakan tingkatan
status kelahiran dan kasta orang yang ingin belajar padanya. Ia mengusir Karna sebab
dia menganggap Karna telah membohongi dirinya yang berkasta Brahma.
Surtikanti, Istri Karna, berlinang membaca surat mendiang suaminya, Karna (belakang). |
“Guru, terus terang
hamba memang berdusta, tapi hanya dalam satu perkara dan bukan perkara lain.
Dusta demi kebenaran. Tapi hamba tidak mengerti, kebenaran apa yang hamba
tutupi jika tuan mengatakan hamba seorang Kesatria, hamba bukan Kesatria,
tahukah tuan dari mana hamba lahir? Tuan tidak tahu. Hamba juga. Kelahiran
adalah pengalaman yang sendiri. Tapi tuan dan masyarakat tuan menetapkan bahwa
tidak ada yang sendiri,” Parasurama dalam monolognya mengutip perkataan Karna beberapa
saat sebelum ia mengusirnya.
Pada saat berusia delapan tahun, dalam monolog Radha ibu
angkatnya, Karna telah pandai membuat busur panah. Ia memiliki keberanian
melampaui anak seusianya. Ia tak pernah gentar menghadapi siapapun yang
menentangnya bahkan terhadap orang yang lebih besar darinya. Meski demikian ia
juga anak yang tekun dalam belajar aksara dari kakek tua yang tinggal di ujung
desa. Darinya, Karna banyak mendengar cerita-cerita para kesatria . “Para ksatria
itu, Bu,” ujarnya kepadaku, “adalah makhluk sempurna,” Radha berlinang dalam
monolognya.
Bagian yang menceritakan keberanian Karna dalam monolog
Kunthi yaitu pada saat menghadapi para pangeran Pandawa dalam sebuah
pertandingan, “Tuan-tuan melindungi diri dengan kasta dan kemahiran. Tuan-tuan punya
du perisai, sedangkan saya hanya satu. Hanya kemahiran saya. Sekarang tuan-tuan
bisa menilai sendiri siapa di antara kita yang berani bertanding.”
Monolog ini adalah sebuah lakon yang menafsirkan dan
menciptakan kembali satu bagian tragis dari Bharatayudha, perang saudara antara
para Kurawa dan Pandawa. Karna sendiri adalah seorang yang selamanya “lain”, yang menemukan harkatnya dari perang dan kematian. Ibarat
“nol”, Karna bukanlah apa-apa, sehingga ia bisa menjadi apa saja. Karna adalah kisah tentang
identitas seseorang—atau ketiadaan identitas itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar