Pendahuluan
Segala puji bagi Allah SWT, Dzat Pencipta
alam semesta. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda
Muhammad SAW beserta seluruh ahlul bait, sahabat, dan para pengikutnya.
Ilmu hadits merupakan instrument penting dalam
agama Islam. Posisinya sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran menjadikan
hadits patut dipelajari guna bertafaqquh
fiddin. Untuk mempelajari kompleksitas dan luasnya cakrawala hadits maka
diperlukan spesifikasi bab atau bagian tertentu dari keseluruhan hadits
tersebut.
Berikut ini adalah salah satu bagian kecil dari
pelajaran ilmu hadits, yaitu tentang hadits Dha’if. Salah satu bab penting
dipelajari guna mengetahui kualitas hadits. Dalam makalah ini kami menyebutkan
beberapa nama hadits dhai’f berikut penjelasan dan tingkat kedhoi’fannya
Bab 1. Definisi Hadits Dhaif
Pengertian hadits dhaif secara bahasa, hadits
dhaif berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits
tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak
berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits
dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat /
menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat
hadits hasan”.
Bab 2. Macam-macam Hadits Dhaif
Hadist Dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits
dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak
adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik
pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama
bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
1). Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits
yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits
yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad
ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan
hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan
melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti
Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits
mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi,
sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal :
Artinya :
Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada
batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup
menghadirinya”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik,
dari Abdurrahman, dari Harmalah, dan selanjutnya dari Sa’id bin Mustayyab.
Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Sa’id bin Mustayyab,
tidaklah disebutkan dalam sanad hadits di atas.
Kebanyakan Ulama memandang hadits mursal ini
sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau
landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik
bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah
asalkan para rawi bersifat adil.
2). Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits
yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits
yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya.
Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad
adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat
yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur,
maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang
gugur itu adalah tabi’in.
contoh hadits munqathi’ :
Artinya :
Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama
Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah
bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari
Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti Al-Husain, dan selanjutnya dari Fathimah
Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits di atas adalah hadits munqathi’, karena
Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain.
Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in.
3). Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits
yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal
adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam
sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak
hamba, dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah
sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.
Di dalam kitab Imam Malik tersebut, tidak
memaparkan dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Kedua
rawi yang gugur itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik di luar kitab
Al-Muwatha. Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari Muhammad bin Ajlan
, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang gugur adalah
Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
4). Hadits Mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits
yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur
satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan
( tidak disebutkan ).
Contoh :
Bukhari berkata : Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu
Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.
Berdasarkan riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak
pernah bertemu dengan Malik. Dengan demikian, Bukhari telah menggugurkan satu
rawi di awal sanad tersebut. Pada umumnya, yang termasuk dalam kategori hadits
mu’allaq tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341 buah hadits muallaq yang
terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap dipandang
shahih, karena Bukhari bukanlah seorang mudallis ( yang menyembunyikan cacat
hadits ). Dan sebagian besar dari hadits mu’allaqnya itu disebutkan seluruh
rawinya secara lengkap pada tempat lain dalam kiab itu juga.
b. Hadits Dhaif karena cacat pada matan atau
rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi
ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang
masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak
waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan
menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada
perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah
lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda
dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi :
1). Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian
hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis
maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan
kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam
dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan
nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan
politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya .
Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits
dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits
dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah
ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan beberapa contoh hadits maudhu’:
a) Hadits yang dikarang oleh Abdur
Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakana bahwa hadits itu diterima dari ayahnya,
dari kakeknya, dan selanjutnya dari Rasulullah SAW. berbunyi : “Sesungguhnya
bahtera Nuh bertawaf mengelilingi ka’bah, tujuh kali dan shalat di maqam
Ibrahim dua rakaat” Makna hadits tersebut tidak masuk akal.
b) adapun hadits lainnya :
“anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan”. Hadits tersebut bertentangan
dengan Al-Qur’an. ” Pemikul dosa itu tidaklah memikul dosa yang lain”. (
Al-An’am : 164 )
c) “Siapa yang memperoleh anak
dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu masuk surga”. “orang yang
dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku ( Muhammad ), Jibril, dan Muawiyah”.
Demikianlah sedikit uraian mengenai hadits
maudhu’. Masih banyak hadits-hadits lainnya yang sengaja dibuat oleh pihak
kufar. Sedikit sejarah, berdasarkan pengakuan dari mereka yang memalsukan,
seperti Maisarah bin Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya, ia mengaku telah membuat
beberapa hadits tentang keutamaan Al-Qur’an dan 70 buah hadits tentang
keutamaan Ali bin Abi Thalib. Abdul Karim, seorang zindiq, sebelum dihukum
pancung ia telah memalsukan hadits dan mengatakan : “aku telah membuat 3000
hadits; aku halalkan barang yang haram dan aku haramkan barang yang halal”.
2). Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang
ditinggalkan / dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk
adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta (
baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah
melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda,
sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin
Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti
: Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said
bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad
tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena
itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
3). Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang
diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits
munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi
yang kuat, contoh :
Artinya: “Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat,
mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu
Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan
dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.
4). Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits
yang terkena illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits
yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa
terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya. Contoh :
Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama
mereka belum berpisah”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid
dengan bersanad pada Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya
dari Ibnu umar. Matan hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti
dengan seksama, sanadnya memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin
Dinar menjadi ‘Amru bin Dinar.
5). Hadits Mudraj
Hadist ini memiliki pengertian hadits yang
dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu. Contoh :
Rasulullah bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah
penanggung jawab ) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan
tempat tinggal di taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah
sisipan ( dengan tempat tinggal di taman surga ), karena tidak termasuk sabda
Rasulullah SAW.
6). Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits yang
diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada
matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk
matan yang lain.
Contoh :
Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan
sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka
jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim, semestinya hadits tersebut berbunyi : Rasulullah SAW
bersabda : “Apa yang aku larag kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku
suruh kamu mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
7). Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits yang
ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya.
Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang
kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :
“Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah
hari-hari makan dan minum.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali
bin Rabah dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi yang dipercaya,
namun matan hadits tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan
hadits-hadits lain yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada
hadits-hadits lain tidak dijumpai ungkapan . Keganjilan hadits di atas terletak
pada adanya ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadits syadz
pada matannya. Lawan dari hadits ini adalah hadits mahfuzh.
Referensi:
-Drs. Fathur Rahman,
Ikhtisar Mushthalahul Hadits, penerbit PT Alma’arif, Bandung, (cetakan pertama
tahun 1974) ke dua puluh empat
-Dr. Bustamin, M.Si dan
Hasanuddin, MA, Membahas kitab Hadits, penerbit LEMLIT UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 2010, cetakan pertaa
-http://onetspawn.wordpress.com/2010/04/18/pengertian-ciri-ciri-kehujahan-hadist-shahih-hasan-dhaif/
Rahmat Kamaruddin
0 komentar:
Posting Komentar