Arif hanya bisa tersenyum geli
melihat kawan sekelasnya ini berlindung di balik tubuhnya tidaklah sebesar
Sobir. Sobir anak seorang muallaf cina yang kaya raya. Kelas dua A aliyah
memang beruntung memiliki Sobir, selain sosok yang selalu menghibur, tak jarang
dirinya juga berfungsi sebagai koperasi simpan-pinjam-pinjam, satu kelas tidak
ada yang selamat atas noda piutang dengan santri sipit ini. Kalau sudah sudah
merasa terjebak dengan ulah usil Hasan, dia hanya punya tempat ia berlindung
adalah Tuhan dan ketua kelasnya, Arif. Jajaran asatidz saja terkadang tertawa
melihatnya. Lucu memang.
+++
''...Ridho kelas II A tsanawiyah kamar Al-Faruq, berikutnya Sandi Santoso kelas I B aliyah kamar Al-Amin, wa ba'dahu Sobir Jie kelas II A aliyah kamar Al-Khair...''
Suasana masjid riuh usai jama'ah dhuhur hari kamis, dalam seminggu semua santri yang melakukan tindak pelanggaran menghadapi 'hari pembalasan', ya, setiap kamis para pendosa harus bersiap dihukum. Tidak tanggung-tanggung seluruh nama yang dipanggil menghadap diumumkan melalui microphone, seluruh penghuni pesantren dapat dengan jelas mendengarnya. Kyai, asatidz, seluruh santri mulai dari adik kelas sampai ke tingkatan program takhsis (khusus), dan..asrama putri. Ya Salam.
Hisyam memang masih kelas II aliyah. Tapi ia sudah menjabat sebagai anggota mujassis (keamanan). Konon, kepandaian mencari muka dengan senior kelas III aliyah menjadikannya berhasil meraih posisi tersebut. Entah mengapa ia begitu suka menjadi mujassis, barangkali agar bisa dekat dewan asatidz. Iqbal, temannya sekelas sendiri saja pernah dihukum pukulan rotan oleh ustadz Sadri atas hasil laporannya. Suaranya terus berkumandang keras dengan microphone membacakan buku laporan untuk memanggil nama 'para pendosa',''...Badri Alamsyah kelas III tsanawiyah kamar Al-Furqon...wal akhir... Arif Dimyati kelas II A aliyah kamar Al-Ihlas!''
Semua jama'ah masjid terdiam mendengar nama terakhir yang baru disebut. Ustadz Dardiri menghentikan putaran tasbihnya lalu menoleh ke arah beberapa santri yang berbaris rapi di pelataran masjid. Semua berjumlah dua puluh tiga orang. Tidak biasanya ustadz senior itu terlihat seperti itu. Diperhatikannya satu persatu wajah segenap pelanggar tersebut. Sampai ke ujung barisan ia berdiri agak lama. terdiam. Matanya memerah. Tulang iganya tampak menonjol. Plaaakk...!. Arif tersungkur. Ia tak menyadari ustadz Dardiri begitu murka. Ia berdiri dan kembali menunduk sambil menahan rasa sakit di wajahnya.
''Ustadz. Afwan, ini tugas saya,'' ustadz Sadri memegangi tangan ustadz Dardiri. Suasana riuh seketika hening. Sehening malam hari. Semua mata tertuju kepada Arif. Siapa yang tidak kenal Arif, orangnya pandai, singa podium, striker kesebelasan sepak bola yang hebat, juara satu lomba debat bahasa arab tingkat provinsi jawa timur, sosok kesayangan kyai dan segenap dewan asatidz. Ustadz Dardiri berlalu keluar meninggalkan masjid, ''Saya kecewa dengan kamu rif, Kamu kira adalah saya sampah yang selama ini berbicara di kelas untuk pelajaran akhlaq kamu!''. Arif diam seribu bahasa. Lengang dalam sesal. Seperti benar-benar di padang mahsyar rasanya. Matanya berkaca. Tak kuasa melihat sosok dipuja murka.
''Arif Dimyati, pelanggaran berat. Berhubungan dengan lawan jenis. Telah tertangkap mengirim surat ke asrama putri dengan cara tidak senonoh pada hari Jum'at 10 Agustus 2009, yaitu melalui adik kelas atas nama Sholeh. Maka atas pelanggaran berat Arif kami takdzir (hukum) GUNDUL. Hukuman akan dilaksanakan setelah menghadap ke Kyai pada hari senin besok.'' suara Hisyam begitu lantang dan terdengar fasih membacakan hukuman Arif. ''Afwan tadz, ini barang buktinya,'' sembari setengah merunduk menyerahkan amplop putih setengah terbakar kepada ustdaz Sadri. Bangga rasanya melihat sosok yang pernah membantainya di depan umum pada saat putaran final seleksi debat bahasa arab beberapa bulan lalu. Group Kelas II B aliyah tidaklah memang sehebat kelas II A aliyah untuk menjadi wakil pondok pesantren mereka, di sana ada Arif sebagai panglima.
+++
''Maaf kak, habis kakak kasih surat Jum'at lalu, kak Hisyam manggil ana, katanya kalau tidak jujur ana mau dilaporin ke asatidz, ana tak punya daya kak, ana diancam kalau cerita ke kakak'' sholeh tertunduk. Tak berani matanya menatap sinar mataku. Walau sekejap.
''Ya sudah, jangan lagi hal ini ente cerita-cerita, ini urusan ana dan Hisyam. Nih duit jajanmu, jangan boros-boros ya, itu sampai sabtu depan''.
''Iya kak''. Sholeh berlalu meninggalkanku bersama minumannya yang masih tersisa setengah. Kebingungan. Mencoba menerawang apa yang terjadi di satu hari depan, hari senin.
''Woy, limadza ente khaliyan faqot ya akh!, nasinya habisin dulu baru ngelamun. Bu Romlah, pesen nasi lodeh satu'' sentuhan Hasan membuyarkan lamunanku. Belum lagi aku keluar dari kebingungan, suasana ramai menghiburku. Beberapa teman sekamar memang sangat baik datang menghiburku. Tapi jujur, aku sedang ingin sendiri.
''Ente gak makan di dapur?''
''Lagi perbaikan gizi rif, makan masakan nenek fatimah rasanya melelahkan, tempe, tahu, tempe, tahu, tempe..''
''Yudah, ana balik ke asrama duluan yak''
''Wah ente gimana rif, ana baru datang nih''
+++
''...Ridho kelas II A tsanawiyah kamar Al-Faruq, berikutnya Sandi Santoso kelas I B aliyah kamar Al-Amin, wa ba'dahu Sobir Jie kelas II A aliyah kamar Al-Khair...''
Suasana masjid riuh usai jama'ah dhuhur hari kamis, dalam seminggu semua santri yang melakukan tindak pelanggaran menghadapi 'hari pembalasan', ya, setiap kamis para pendosa harus bersiap dihukum. Tidak tanggung-tanggung seluruh nama yang dipanggil menghadap diumumkan melalui microphone, seluruh penghuni pesantren dapat dengan jelas mendengarnya. Kyai, asatidz, seluruh santri mulai dari adik kelas sampai ke tingkatan program takhsis (khusus), dan..asrama putri. Ya Salam.
Hisyam memang masih kelas II aliyah. Tapi ia sudah menjabat sebagai anggota mujassis (keamanan). Konon, kepandaian mencari muka dengan senior kelas III aliyah menjadikannya berhasil meraih posisi tersebut. Entah mengapa ia begitu suka menjadi mujassis, barangkali agar bisa dekat dewan asatidz. Iqbal, temannya sekelas sendiri saja pernah dihukum pukulan rotan oleh ustadz Sadri atas hasil laporannya. Suaranya terus berkumandang keras dengan microphone membacakan buku laporan untuk memanggil nama 'para pendosa',''...Badri Alamsyah kelas III tsanawiyah kamar Al-Furqon...wal akhir... Arif Dimyati kelas II A aliyah kamar Al-Ihlas!''
Semua jama'ah masjid terdiam mendengar nama terakhir yang baru disebut. Ustadz Dardiri menghentikan putaran tasbihnya lalu menoleh ke arah beberapa santri yang berbaris rapi di pelataran masjid. Semua berjumlah dua puluh tiga orang. Tidak biasanya ustadz senior itu terlihat seperti itu. Diperhatikannya satu persatu wajah segenap pelanggar tersebut. Sampai ke ujung barisan ia berdiri agak lama. terdiam. Matanya memerah. Tulang iganya tampak menonjol. Plaaakk...!. Arif tersungkur. Ia tak menyadari ustadz Dardiri begitu murka. Ia berdiri dan kembali menunduk sambil menahan rasa sakit di wajahnya.
''Ustadz. Afwan, ini tugas saya,'' ustadz Sadri memegangi tangan ustadz Dardiri. Suasana riuh seketika hening. Sehening malam hari. Semua mata tertuju kepada Arif. Siapa yang tidak kenal Arif, orangnya pandai, singa podium, striker kesebelasan sepak bola yang hebat, juara satu lomba debat bahasa arab tingkat provinsi jawa timur, sosok kesayangan kyai dan segenap dewan asatidz. Ustadz Dardiri berlalu keluar meninggalkan masjid, ''Saya kecewa dengan kamu rif, Kamu kira adalah saya sampah yang selama ini berbicara di kelas untuk pelajaran akhlaq kamu!''. Arif diam seribu bahasa. Lengang dalam sesal. Seperti benar-benar di padang mahsyar rasanya. Matanya berkaca. Tak kuasa melihat sosok dipuja murka.
''Arif Dimyati, pelanggaran berat. Berhubungan dengan lawan jenis. Telah tertangkap mengirim surat ke asrama putri dengan cara tidak senonoh pada hari Jum'at 10 Agustus 2009, yaitu melalui adik kelas atas nama Sholeh. Maka atas pelanggaran berat Arif kami takdzir (hukum) GUNDUL. Hukuman akan dilaksanakan setelah menghadap ke Kyai pada hari senin besok.'' suara Hisyam begitu lantang dan terdengar fasih membacakan hukuman Arif. ''Afwan tadz, ini barang buktinya,'' sembari setengah merunduk menyerahkan amplop putih setengah terbakar kepada ustdaz Sadri. Bangga rasanya melihat sosok yang pernah membantainya di depan umum pada saat putaran final seleksi debat bahasa arab beberapa bulan lalu. Group Kelas II B aliyah tidaklah memang sehebat kelas II A aliyah untuk menjadi wakil pondok pesantren mereka, di sana ada Arif sebagai panglima.
+++
''Maaf kak, habis kakak kasih surat Jum'at lalu, kak Hisyam manggil ana, katanya kalau tidak jujur ana mau dilaporin ke asatidz, ana tak punya daya kak, ana diancam kalau cerita ke kakak'' sholeh tertunduk. Tak berani matanya menatap sinar mataku. Walau sekejap.
''Ya sudah, jangan lagi hal ini ente cerita-cerita, ini urusan ana dan Hisyam. Nih duit jajanmu, jangan boros-boros ya, itu sampai sabtu depan''.
''Iya kak''. Sholeh berlalu meninggalkanku bersama minumannya yang masih tersisa setengah. Kebingungan. Mencoba menerawang apa yang terjadi di satu hari depan, hari senin.
''Woy, limadza ente khaliyan faqot ya akh!, nasinya habisin dulu baru ngelamun. Bu Romlah, pesen nasi lodeh satu'' sentuhan Hasan membuyarkan lamunanku. Belum lagi aku keluar dari kebingungan, suasana ramai menghiburku. Beberapa teman sekamar memang sangat baik datang menghiburku. Tapi jujur, aku sedang ingin sendiri.
''Ente gak makan di dapur?''
''Lagi perbaikan gizi rif, makan masakan nenek fatimah rasanya melelahkan, tempe, tahu, tempe, tahu, tempe..''
''Yudah, ana balik ke asrama duluan yak''
''Wah ente gimana rif, ana baru datang nih''
Aku berlalu dari kerumunan mereka deng meninggalkan
senyuman. Satu-satunya tempat yang bagiku saat ini aman untuk menenangkan
pikiran, barangkali di tamanlah tempatnya. Tak perduli mau ada setan atau
mahkluk apapun di sana malam ini. Aku butuh tempat
sepi. Aku malu membayangkan diriku bakal berhadapan dengan sosok kyai yang
begitu kuhormati dengan posisi sebagai pesakitan. Aku benci dengan diriku
sendiri kenapa begitu mudah terperdaya dengan sosok wanita. Aku semakin hancur
mengingat reputasiku di depan seluruh adik, teman, dan kakak kelasku. Aku tak
sanggup membayangkan kepalaku digundul. Lima tahun aku hidup di pesantren ini,
belum pernah terlintas sedikit pun aku akan digundul. Dan sosok Hisyam kini
bagiku seperti setan. Murkaku untuknya.
Langkah cepat beradu dengan pikiran kacau menuntunku ke taman belakang asrama. Belum lagi aku sampai di sana, sesosok tiba-tiba muncul dari sebelah dinding pertigaan. Kami bertabrakan.
''Wah! ente kalau jalan liat-liat dong!'' bentakku.
Belum sempat ia berkata sepatah kata, tahu bahwa ia adalah Hisyam, kudaratkan sekepal kananku bersama segala murkaku tepat di pelipisnya.
Buk! Dia rubuh bersimbah darah. Mencoba bangun untuk membalasku. Kuterjang ia sekuat tenaga. Kami berkelahi dalam suasana remang. Ada kepuasan tersendiri yang kurasa. Meskipun aku sadar, aku salah. Tapi segala sakit hatiku tak mampu lagi membuatku berfikir jernih. Sejurus kemudian orang-orang sudah ramai melerai kami. Hampir saja malam itu kelas A dan B II aliyah bertempur hebat. Untung saja ustadz Dardiri datang. Sosoknya begitu pendiam berubah drastis. Marah. Seperti sosok Umar bin Khattab, sosok sahabat nabi yang setan pun tak berani melewati bekas langkah kakinya.
Tanpa perlu menunggu hari Senin, minggu pagi setelah sholat subuh, aku dihadapkan dengan Kyai Busyro. Aku diam. Sedikit pun tak berani berkata. Aku betul-betul hancur rasanya. Hanya mendengarkan beliau memberi nasihat. ''Keamanan itu perpanjangan tangan dari dewan asatidz untuk menertibkan pesantren, kalau ananda Arif tidak suka dengan keamanan, ananda berarti bersikap begitu pula dengan dewan asatidz. Dewan asatidz itu adalaha perpanjangan tangan dari saya''
Suara kyai Busyro mengairi kegersangan jiwaku. Asalkan bukan hukuman gundul aku pasti mau melakukan apa saja, selain dikeluarkan, tapi itu pasti tak mungkin, pikirku. Kalau pun harus di gundul berarti aku harus merelakan liburan kali ini tidak pulang ke rumah lagi, seperti tahun lalu. Apa jadinya orang-orang di kampungku melihat kepalaku gundul. Pasti mereka akan berfikir buruk tentang aku. Telah melanggar di pondok.
Kyai Busyro adalah orang yang diplomatis, betata pun tinggi posisinya dan hanya atas perintahnya lah aku bisa selamat dari hukuman gundul ini, namun begitu ia memosisikan dirinye hanya sebagai wadah mediasi, keputusan tetap berada di tangan jajaran keamanan pondok.
''Bagaimana ananda Arif, lebih rela menjalani hukuman atau harus mengucapkan selamat tinggal dengan pondok pesantren ini ? keputusan di tangan ente'' ustadz Sadri seperti menawarkan buah simalakama.
Aku lengang, air mataku mengalir...
+++
Teeettt....teeett...tteeee eeeettt..!!
Bel panjang berbunyi. Menggema menghentakkan seluruh penghuni asrama. Tanda kegiatan belajar-mengajar akan segera dimulai. Ku tolehkan kepala ke arah jam dinding. Kamarku sudah sepi. Hanya ada Miftah tengah bergegas berangkat pula.
''Duluan ya kak, smoga lekas sembuh''.
Baru saja pintu mau ia tutup, Hisyam yang tengah mengontrol kondisi asrama menanyainya,
''Kak Arifnya sudah sehat tah? masih terlelap ya?''
''Belum kak, badannya masih panas, tuh di dalam lagi nulis''
Aku tersedak mendengarnya. Kraakk...seketika ku robek buku catatanku barusan. Kusembunyikan dalam selimut. Kupejamkan mata berpura-pura tidur. Kudengar Hisyam menutup pintu perlahan lalu menghampiriku.
''Cepat sembuh ya akhi..'' tuturnya sembari membawakanku obat dari UKS dan beberapa makanan ringan.
-----
Langkah cepat beradu dengan pikiran kacau menuntunku ke taman belakang asrama. Belum lagi aku sampai di sana, sesosok tiba-tiba muncul dari sebelah dinding pertigaan. Kami bertabrakan.
''Wah! ente kalau jalan liat-liat dong!'' bentakku.
Belum sempat ia berkata sepatah kata, tahu bahwa ia adalah Hisyam, kudaratkan sekepal kananku bersama segala murkaku tepat di pelipisnya.
Buk! Dia rubuh bersimbah darah. Mencoba bangun untuk membalasku. Kuterjang ia sekuat tenaga. Kami berkelahi dalam suasana remang. Ada kepuasan tersendiri yang kurasa. Meskipun aku sadar, aku salah. Tapi segala sakit hatiku tak mampu lagi membuatku berfikir jernih. Sejurus kemudian orang-orang sudah ramai melerai kami. Hampir saja malam itu kelas A dan B II aliyah bertempur hebat. Untung saja ustadz Dardiri datang. Sosoknya begitu pendiam berubah drastis. Marah. Seperti sosok Umar bin Khattab, sosok sahabat nabi yang setan pun tak berani melewati bekas langkah kakinya.
Tanpa perlu menunggu hari Senin, minggu pagi setelah sholat subuh, aku dihadapkan dengan Kyai Busyro. Aku diam. Sedikit pun tak berani berkata. Aku betul-betul hancur rasanya. Hanya mendengarkan beliau memberi nasihat. ''Keamanan itu perpanjangan tangan dari dewan asatidz untuk menertibkan pesantren, kalau ananda Arif tidak suka dengan keamanan, ananda berarti bersikap begitu pula dengan dewan asatidz. Dewan asatidz itu adalaha perpanjangan tangan dari saya''
Suara kyai Busyro mengairi kegersangan jiwaku. Asalkan bukan hukuman gundul aku pasti mau melakukan apa saja, selain dikeluarkan, tapi itu pasti tak mungkin, pikirku. Kalau pun harus di gundul berarti aku harus merelakan liburan kali ini tidak pulang ke rumah lagi, seperti tahun lalu. Apa jadinya orang-orang di kampungku melihat kepalaku gundul. Pasti mereka akan berfikir buruk tentang aku. Telah melanggar di pondok.
Kyai Busyro adalah orang yang diplomatis, betata pun tinggi posisinya dan hanya atas perintahnya lah aku bisa selamat dari hukuman gundul ini, namun begitu ia memosisikan dirinye hanya sebagai wadah mediasi, keputusan tetap berada di tangan jajaran keamanan pondok.
''Bagaimana ananda Arif, lebih rela menjalani hukuman atau harus mengucapkan selamat tinggal dengan pondok pesantren ini ? keputusan di tangan ente'' ustadz Sadri seperti menawarkan buah simalakama.
Aku lengang, air mataku mengalir...
+++
Teeettt....teeett...tteeee
Bel panjang berbunyi. Menggema menghentakkan seluruh penghuni asrama. Tanda kegiatan belajar-mengajar akan segera dimulai. Ku tolehkan kepala ke arah jam dinding. Kamarku sudah sepi. Hanya ada Miftah tengah bergegas berangkat pula.
''Duluan ya kak, smoga lekas sembuh''.
Baru saja pintu mau ia tutup, Hisyam yang tengah mengontrol kondisi asrama menanyainya,
''Kak Arifnya sudah sehat tah? masih terlelap ya?''
''Belum kak, badannya masih panas, tuh di dalam lagi nulis''
Aku tersedak mendengarnya. Kraakk...seketika ku robek buku catatanku barusan. Kusembunyikan dalam selimut. Kupejamkan mata berpura-pura tidur. Kudengar Hisyam menutup pintu perlahan lalu menghampiriku.
''Cepat sembuh ya akhi..'' tuturnya sembari membawakanku obat dari UKS dan beberapa makanan ringan.
-----
0 komentar:
Posting Komentar