Paruh
pertama Januari lalu, segenap mahasiswa yang terhimpun dari berbagai organisasi ekstra dan Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) berdemonstrasi di depan gedung rektorat, untuk menuntut agar
sistem Student Government (SG) tetap diberlakukan. Aksi demonstrasi yang menyebabkan
beberapa mahasiswa dilarikan ke rumah sakit akibat terluka tersebut tidak menemukan titik terang, yakni
berupa penerapan kembali sistem SG untuk mahasiswa pasca dibekukan pihak
rektorat tahun 2010 lalu. Kemudian paruh kedua Maret lalu, pihak rektorat menginstruksikan
mahasiswa melaksanakan pemilu.
Pemilu
diselenggarakan di fakultas masing-masing berdasarkan SK Rektor Un.01/R/10/2012.
Rangkaian prosedur dan mekanisme pemilu versi rektorat tersebut berlangsung singkat.
Atas instruksi pihak rektorat, hanya dalam seminggu seluruh fakultas dan
jurusan telah memiliki ketua baru. Usai pemilu, beberapa mahasiswa merayakan
kemenangan dengan melakukan konvoi bersepeda motor sembari mengibarkan bendera
organisasi ekstra mengitari kampus dan sekitarnya (23/3).
Andikey
Kristanto, Aktivis UIN ‘98, menghimbau agar mahasiswa melihat latar belakang
sejarah lahirnya Student Government. Menurutnya, sikap mahasiswa pasca pemilu
versi rektorat tersebut ahistoris, karena tak memahami dengan baik konteks yang
melatarbelakangi kelahiran Student Government. “Anda (mahasiswa, red) merayakan
kemenangan sekaligus merayakan kekalahan,” katanya saat ditemui INSTITUT, Kamis
(12/4).
Dia
menambahkan SG pernah berjalan dengan baik, walaupun memang pernah terjadi
keributan antar mahasiswa. SG perlu dibenahi tanpa harus menegasikan
pembelajaran politik. Jika mahasiswa tidak belajar politik, orang dengan mudah
dapat mengebiri mahasiswa dan disetir oleh pihak berkepentingan. “Jangan
mencurigai atau mengunderestimate kemampuan mahasiswa untuk berpolitik,”
katanya.
Pihak
rektorat seharusnya mengadakan referendum kepada mahasiswa tentang sistem yang
akan mahasiswa gunakan dalam berorganisasi, “Ini tidak fair, rektorat
harusnya menawarkan beberapa pilihan sistem keorganisasian secara terang dan
jelas. Mau pakai sistem SG, POK, atau sistem terbaru yang belum ada ini?”
katanya. “Harusnya rektorat punya data dong sepanjang tahun SG telah
dijalankan, bukan langsung menegasikan SG dikarenakan satu kali pemilu yang deadlock,
enggak fair dong,” tambahnya.
Dia
menambahkan SG yang telah digagas oleh para pendahulu sudah tepat, tinggal
diadaptasikan ke zaman sekarang. Dirinya mempertanyakan sikap rektorat
bersikeras tetap menggunakan cara-cara seperti itu dalam memperlakukan
mahasiswa. “Kalau ketakutan terhadap politik hanya berdasarkan asumsi, ya harus
dijelaskan dengan ilmiah dan diurai, sehingga bisa diterima dengan positif.
Karena bagi orang-orang yang selama ini telah menjalankan SG dengan baik tentu
berpandangan lain. ketakutan terhadap politik seperti apa? Jangan serta merta
mengorbankan mahasiswa hanya karena kepentingan-kepentingan sesaat.”
Di
lain pihak, Andi Syafarani, salah satu pendiri Student Government UIN (dulu
IAIN, red) Dosen Fisip UIN Syarif Hidayatullah, mengatakan SG merupakan
sistem yang mendidik mahasiswa agar mandiri dan bertanggung jawab terhadap diri
sendiri. Dunia mahasiswa merupakan saat tepat untuk pembelajaran politik
terhadap mahasiswa sebelum terjun ke kehidupan sosial sesungguhnya, ungkapnya
kepada INSTITUT, Rabu (4/4).
Andi
Syafarani mengatakan nilai sistem SG tidak ada yang salah, hanya saja perilaku
politik mahasiswa yang perlu dibenahi. “Kalau memang SG kemarin dianggap ada
yang salah, apa yang salah? segera didefinisikan, lalu dicarikan jalan keluar.
Apakah yang salah sistem atau ekses (hal yang melampaui batas, red)?
Mari kita perbaiki, saya khawatir yang salah itu ekses,” katanya. “Saya
khawatir di kampus ada yang alergi. Misalnya ada pejabat di kampus yg alergi
dengan partai politik di luar, lantas
berasumsi partai di kampus juga seperti itu. Buktikan bahwa itu tidak benar,
itu kan asumsi. Tapi sistem politiknya harus mempertimbangkan nilai akademik”.
Dirinya
mengisahkan bagaimana dahulu mahasiswa merawat SG, “Sistem itu dipelihara,
dijaga dengan komitmen, komitmen bersama, kalau sudah ada keputusan yang
diambil bersama secara prosedural, itulah yang dijalankan, dijaga dengan
komitmen secara bersama-sama, meskipun tentu tidak bisa menghilangakan
perbedaan, menghapus kekecewaan, ya harus ditaati, ya sudah, harus diikuti,
begitu cara kita merawat SG dulu, murni dari mahasiswa, rektorat hanya
memfasilitasi saja,” kenangnya.
Andi
Syafarani mengatakan jika mahasiswa bisa menjalani SG dengan penuh komitmen,
pada saat mahasiswa telah lepas dari dunia kemahasiswaan tidak akan canggung
menghadapi dunia luar dan dapat menjadi kader-kader yang siap mengisi ruang
politik pada ranah sosial. “Fase-fase mahasiswa itu adalah waktu penting untuk
pembelajaran politik, SG kompatibel dengan sistem yang berlaku di mana-mana dan
itu membuat kita tidak perlu lagi belajar dari awal, kita lebih siap,” katanya.
0 komentar:
Posting Komentar