Abdul Basyir bersama seorang anak pemulung murid didiknya seusai mengajar. |
Suatu kali, seusai mengajar, Basir sembari mengernyitkan dahi mencari
sandalnya yang hilang usai mengajar. Setelah beberapa saat dia mendapati sandal
tersebut ternyata berada di atas batu nisan kuburan. Apa sebab? “Disembuyiin anak-anak,”
kenang pria kelahiran Pemalang, 26 Mei 1990 ini.
Menjadi guru relawan di lingkungan tempat pembuangan sampah itu membutuhkan semangat lebih. Tumbuh di lingkungan
kumuh yang tidak kondusif berdampak pada psikologis anak-anak pemulung. “Mereka
cenderung lebih agresif dibanding anak seusia mereka,” kata Basyir.
Meski begitu, pria bernama panjang Abdul Basyir ini menyayangi mereka.
“Saya menyayangi mereka. Ada rasa kepuasaan tersendiri saat kita bisa berbagi,
terutama dengan anak-anak bangsa yang belum beruntung seperti mereka,” katanya.
Menurutnya, mentransformasikan pengetahuan kepada anak-anak pemulung yang tidak
dapat mengeyam pendidikan laiknya anak lain pada umumnya merupakan kegiatan
sosial yang penting.
Kegiatan menjadi guru relawan tersebut merupakan kerjasama antar
organisasi yang kini dinakhodainya dengan Sanggar Islam Al-Hakim, Ciputat.
Basyir mengkoordinatori lima tempat belajar anak pemulung di sekitar daerah
Ciputat. Yakni Gang Kubur, Gang Mawar, Gang Jambu dan dua sanggar lagi di
daerah Kampung Sawah.
Masing-masing sanggar belajar tersebut dipimpin oleh satu orang kepala
sekolah dari mahasiswa. “Yang paling ‘angker’ itu di Gang Kubur,” katanya.
“Pernah ada guru relawan dari mahasiswi menangis karena tak kuat dengan ulah murid
didik mereka,” ujar Ketua Umum Ikatan Remaja Fathullah (Irmafa) periode
2011/2012 tersebut.
Tantangan kondisi psikologis murid didiknya tak kalah dengan suasana
belajar-mengajar. Bau busuk sampahdi sekitar tempat belajar terkadang
mengganggu, namun baginya itu sudah hal biasa. “Apalagi kalau musim hujan,
aroma sampahnya masyaAllah. Pernah juga ada rekan mahasiswi mengadu
kepada saya merasa ketakutan melihat banyak belatung keluar dari bongkahan
sampah,” tuturnya.
Tempat belajar sanggar sangat sederhana, menggunakan tempat seadanya. Di
Gang Kubur sendiri mereka memanfaatkan musholla kuburan sebagai tempat belajar.
“Pernah di pertengahan belajar kami berhenti sejenak karena ada mayat ingin
disholatkan oleh warga setempat,” mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan
Bahasa dan Sastra Inggris angkatan 2008/2009 tersebut sambil tersenyum.
Misi sosial
Ditopang oleh beberapa donatur dari masyarakat, Basyir tidak hanya mengajar
anak para pemulung di masing-masing tempat tersebut, pria yang tengah dalam
proses menyelesaikan skripsinya ini juga memiliki misi sosial yakni pengentasan
kondisi kehidupan penghuni setempat. “Kami pernah membelikan beberapa bebek
kepada orang tua mereka (pemulung) agar mereka beternak, beberapa waktu
kemudian bebek-bebek itu mereka jual,” ujarnya.
Lingkungan tempat mereka mengajar relatif primitif, di tengah warga
setempat tak jarang timbul perselisihan
oleh adanya gap yang disebabkan perbedaan status sosial. Anak didik mereka
berkelahi dan menangis, jika tidak disikapi dengan baik, hal tersebut bisa saja berlanjut kepada
pertikaian orang tua mereka. “Tak jarang ketika pulang dari mengajar saya dicegat
orang tua mereka yang anaknya menangis karena berkelahi saat belajar,”
tuturnya.
0 komentar:
Posting Komentar