Suasana gedung hijau di desa Sumberpasir itu selalu tampak ramai setiap usai
solat subuh, gemuruh lantunan ayat-ayat Al-Qur’an menggema ke hingga
langit-langit, terlihat beberapa lingkaran kecil (kafilah) yang terdiri dari
beberapa santri, masing-masing kafilah dipimpin oleh seorang atau dua orang
santri senior. Kegiatan deresan seperti itu memang merupakan tradisi pondok
pesantren tersebut.
Beberapa santri
yang tak memiliki alas duduk seperti sajadah terpaksa duduk dengan posisi
jongkok, namun tak mengurangi kekhusu’an mereka menghapal dan mengulangi
hapalan. Beberapa diantara mereka ada yang masih mengantuk bahkan tertidur
sembari memeluk mushaf Al-Qur’an.
Syamsul Alam (14)
tak bergeming dari tempatnya, mulutnya komat-kamit, matanya memeram dalam
sambil mengernyitkan dahi, tangan kanannya memegang sebuah mushaf kecil
al-Qur’an, sesekali dia membenarkan posisi duduk, ketika menyetor hapalan jika
terdapat kesalahan tajwid dalam bacaannya, terlebih apabila terhenti karena
melupakan beberapa ayat, pembimbing dihadapannya akan segera menegur (28/4).
Dia adalah seorang
santri asal Samarinda, Kalimantan Timur, tekad kuat yang telah membawanya pergi
menuntut ilmu di kota Bunga ini, ‘’Aku ingin dapat sesuatu yang lebih dengan
bersekolah jauh dari kampung halaman,’’ tutur bocah berdarah Bugis ini. Meski
pada awalnya merasa dipaksa orang tua, kini bocah berdarah bugis tersebut
mengaku menikmati lingkungan barunya.
Untuk beradaptasi
dengan budaya setempat, pada awalnya Ia merasa kesulitan, penduduk desa
setempat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Jawa. Sangatlah mudah
membedakan antara penduduk setempat dengan pendatang dari luar. ‘’Ya lumayan
mas, wis oleh pitung wulan aku nang kene’’ ungkapnya dengan bahasa Jawa yang
kaku.
Matahari mulai
merangkak perlahan tinggi keatas, seperti biasa pukul 06:05 beberapa santri
yang bersekolah di luar menyudahi kegiatan deresan terlebih dahulu. Mereka
harus mempersiapkan diri berangkat sekolah. Sistem pembelajaran pondok tersebut
mempunyai pembagian masing-masing. Secara garis besar santri terbagi menjadi
dua, junior dan senior. Kemudian masing dari kedua pembagian tersebut terbagi
lagi menjadi dua, ada yang bersekolah formal di luar, ada juga yang belajar di
pondok saja.
Beberapa santri
mulai meninggalkan gedung untuk berangkat, pamit dan bersalaman satu persatu
dengan pengasuh pondok yang duduk mengawasi kegiatan di sisi pojok gedung,
‘’Mas saya berangkat sekolah dulu ya,’’ tutur Muhammad Aidil Rizky (16), Salah
satu pelajar SMA kelas dua asal Berau, Kalimantan Timur, dia telah menghapal
sekitar 10 juz.
Bagi yang telah
menyetor hapalannya hari itu, Zainul Arifin (26), petugas yang mencatat daftar
setoran santri menyambungkan garis linier di papan besar absensi yang tertempel
di dinding. Kualitas kerajinan dan kedisiplinan santri dalam menyetorkan
hapalannya begitu jelas tertera di dinding, hal ini menurut Zainul agar
memberikan sangsi moral bagi santri yang malas menyetor hapalan. Semua bisa
melihatnya dengan jelas di dinding.
Beberapa kafilah
mulai berkurang satu persatu-satu. Ibrahim (14) masih saja tampak larut dalam
bacaannya. Postur tubuhnya kecil, meski begitu tak jarang beberapa santri yang
lebih tua dari dia memintanya untuk menyimak hapalan mereka. Saat berusia
sebelas tahun Dia telah behasil menghapal 30 juz di bawah bimbingan ayahnya,
kultur budaya keluarga yang dibentuk oleh ayahnya sangat keras, seluruh
saudaranya telah merampungkan hapalan 30 juz rata-rata saat berusia sembilan
tahun, ‘’Aku ini paling nakal di keluarga ,Kak, baru bisa menyelesaikan hapalan
pas usia sebelas tahun,’’ terangnya.
Saat teman-teman
sebayanya berangkat ke sekolah, dia tetap saja berada di gedung menantikan
kegiatan selanjutnya, shalat dhuha’ berjamaah. Dirinya menceritakan selepas SD
kelas empat dia tidak lagi pernah mengenyam pendidikan formal. Ayahnya
menginginkan dirinya hanya fokus dengan ilmu agama saja. Di pesantren saat ini,
Ia bocah asal kota Batu, Jawa timur, tersebut ingin mentashih bacaannya kembali
dan mempelajari Qiro’ah Sab’ah (tata cara membaca Al-Qur’an dalam versi bacaan
riwayat lain, red).
Jadwal rutinitas
sekolah yang padat, kondisi alam yang dingin, kampung halaman jauh, dan
sesekali harus terjaga di tengah malam untuk mengulang hapalan, bukanlah hal
yang banyak dilakukan oleh anak-anak seusia mereka, namun tekad kuat serta
dorongan motivasi dari pembimbing dapat memompa semangat mereka kembali.
Menurut Abdullah
(29/4), selaku pembina santri junior dahulu pesantren ini tak banyak dihuni
oleh anak-anak kecil seperti saat ini. Dahulu, para santri rata-rata biasanya
sudah pernah menghapal sebelumnya lalu ingin mendalami keberbagai cabang ilmu Al-Qur'an lainnya, terutama Qiro'ah Sab'ah, Tafsir, dan Tahsin Tajwid.
Menjelang tahun 2006 lalu banyak orang tua yang membawa anaknya untuk menghapal
dan mempelajari Al-Qur'an di sini.
Terkadang ada saja
beberapa anak kecil yang menangis karena usia rindu ingin pulang, apalagi
ketika mendapat ta'dzir karena setoran hapalan mereka tidak mencapai target.
Muhammad Anshor (15) menceritakan proses menghapal pada saat dia masih anak
baru tiga tahun lalu, dia merasa berat, namun seiring berjalannya waktu hal
tersebut kini bukan hal yang berat, ''Iku wis biyen, saiki ben dino paling
minim telung juz,'' ungkapnya dalam bahasa jawa. Kini dia berhasil
menyelesaikan hapalannya 30 juz.
Pelajaran mengenai
Qiro'ah Sab'ah memang menjadi materi yang cukup ditekankan di pesantren ini.
Untuk memudahkan para santri mengingat para imam perawi tersebut, tujuh dari
kamar di asrama putra pesantren tersebut menjadikannya sebagai nama kamar;
Nafi', Ibnu Katsir, Abu 'Amrin, Ibnu 'Amir, Ashim, Hamzah dan Al-Kasa'i..
Perjalanan mencari
ilmu bukanlah hal mudah, ada banyak rintangan menanti di depan, tak terduga dan
sesekali membuat goyah langkah kaki untuk terus melangkah, terlebih jika usia
masih muda belia. Dibalik keterpaksaan ada pintu keterbiasaan.
Perpaduan antara
alah bisa karena biasa dan bak menulis di atas batu sangat indah jika diselingi
dengan kemauan dan tekad kuat. Mengingat budaya menghabiskan waktu untuk
hal-hal tidak bermanfaat begitu mengakar pada bangsa ini, kekurangan motivasi
mengejar cita-cita. Rupanya masih ada saja beberapa anak belia di negeri ini yang
memiliki kekuatan dalam melakukan percepatan dan keuletan menggapai tujuan.
Secepat anak-anak tersebut berlarian ke dapur untuk sarapan beberapa saat
setelah kegiatan mereka berakhir di pagi itu.
(Jawa Timur, Malang, Sumberpasir, 2011).
a. Topik feature
ini memotret sekelumit kisah beberapa penghapal muda al-Qur’an, Pondok
Pesantren Al-Qur’an As-Salafi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, masa bermain dan
pertumbuhan mereka begitu disiplin, berbeda dengan anak-anak seusianya yang
identik dengan istilah masa bermain, tak jarang beberapa dari mereka tak kuat
sehingga jatuh sakit melawan iklim dingin Malang, ada pula yang tidak
bersekolah karena keinginan orang tua mereka agar fokus menghapal saja.
b. Dengan intro
feature Tipe Unik
c. dengan penutup
Ajakan Bertindak.
d. Alamat jalan
Raya Sumberpasir no.99 A, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Telp.
(0341) 787762
e. Referensi
Penulisan Jurnalistik Sastrawi: JURNALISTIK INDONESIA, Menulis Berita dan
Feature, oleh Drs. AS Haris Sumadiria M. Si
0 komentar:
Posting Komentar