![]() |
Pythagoras (Sumber gambar Wikipedia) |
A. Pythagoras
Pythagoras
adalah matematikawan dan filsuf Yunani yang paling dikenal melalui teoremanya.
Belakangan, ia lebih dikenal sebagai “Bapak Bilangan”. Dia telah memberikan
sumbangan penting terhadap filsafat dan ajaran keagamaan pada akhir abad ke-6 SM.
Kehidupan dan ajarannya tidak begitu jelas disebabkan banyaknya legenda dan
kisah-kisah buatan mengenai dirinya.
Namun
demikian, Pythagoras dan murid-muridnya tetap percaya bahwa segala sesuatu di
dunia ini berhubungan dengan matematika, dan merasa bahwa segalanya dapat
diprediksi dan diukur dalam siklus beritme. Menurut dia, dasar segala
sesuatunya adalah bilangan. Sehingga, orang yang tahu dan mengerti betul akan
bilangan, ia juga tahu akan segala sesuatu. Pythagoras adalah ahli ilmu pasti
dan ahli musik. Penyelidikan alamnya memang mendalam dan besar pengaruhnya
dalam lingkungan ahli pikir zamannya.
Pythagoras
lahir di Samos. Ia termasuk keturunan dari keluarga terpandang. Ayahnya bernama
Mnesarchos dan sebagian tokoh lain mengatakan dia keturunan dewa Apollo. Latar
sosio-kultural tentu juga berpengaruh pada dirinya. Pada masa itu, Samos
dipimpin oleh tiran bernama Polycrates, seorang bandit tua yang menjadi kaya
raya karena memliki angkatan laut yang banyak dan kuat. Pemimpin tiran ini
sering kali merompak dan tidak menghiraukan undang-undang yang berlaku, dan
bahkan tega membunuh dua saudaranya sendiri. Samos sendiri merupakan kota
dagang besar yang bersaing ketat dengan Miletus, tempat lahirnya Thales.[1]
B. Ajaran dan Filsafat Pythagoras tentang Manusia dan Alam
Pythagoras
adalah salah seorang tokoh yang paling menarik dan membingungkan dalam sejarah.
Bukan saja tradisi yang terkait dengan dirinya
adalah adonan yang nyaris sempurna antara kebenaran dan kekeliruan,
tetapi bahkan dalam bentuknya yang polos dan amat gamblang tradisi itu tetap
menampilkan suatu latar kejiwaan yang sulit dimengerti.
Ia mendirikan sebuah
agama yang ajaran utamanya adalah perpindahan jiwa dan bahwa makan buncis
diharamkan. Ajarannya ia wujudkan dalam bentuk ordo keagamaan yang, di pelbagai
tempat, bisa meraih kekuasaan atas Negara dan dengan demikian meneguhkan
kepemimpinan para pendeta. Namaun pengikutnya yang kurang bersungguh-sungguh
sangat merindukan buncis, sehingga cepat atau lambat pasti membangkang.
Beberapa
peraturan dalam ordo Pyhagorean adalah sebagai berikut: Berpantang makan
buncis, jangan memungut sesuatu yang sudah jatuh, jangan menyentuh ayam jago
putih, jangan meremukkan roti, jangan melangkahi palang, jangan mengorek api
dengan besi, jangan makan bungkahan roti yang masih utuh, jangan memetik
karangan bunga, jangan menduduki takaran kuart, jangan makan jantung, jangan
berjalan kaki di jalan raya, jangan membiarkan burung wallet bersarang di atap
rumah, jangan mengangkat periuk, dari perapian, jangan sampai ada bekasnya di
atas abu, sehingga harus di korek, jangan melihat cermin di atas cahaya,
barangsiapa bangun tidur, gulunglah alas tidurmu dan hilangkan bekas badanmu di
situ. Semua petuah tersebut berasal dari konsepsi-konsepsi tabu primitif.
Cornford
(from Religion to Philosophy) mengemukakan bahwa, menurut pendapatnya,
“Madzhab Pythagoras merupakan arus utama tradisi mistik yang kita anggap
bertentangan dengan kecendrungan ilmiah.” Ia menilai Pamenides, yang ia sebut
“penemu ilmu logika” sebagai “seorang penerus Pythagoreanisme, dan Plato
sendiri pun menemukan dalam filsafat Italia itu sumber utama inspirasinya.”
Menurutnya, Pythagoreanisme adalah suatu gerakan pembaruan atas Orphisme,
sementara Orphisme adalah gerakan pembaharuan atas kepercayaan yang memuja Dionysus.
Pertentangan antara rasional dan yang mistis, yang berlangsung di sepanjang
sejarah, pertama-tama muncul di kalangan bangsa Yunani sebagai pertentangan
antara dewa-dewi Olympus dengan dewa-dewi yang dipuja oleh kaum kurang beradab,
yang memiliki kaitan lebih erat dengan kepercayaan-kepercayaan primitif
sebagaimana diungkap oleh para antropolog.
Di dalam
pemilahan ini, Pythagoras berada di pihak mistisme, kendatipun mistismenya
mengandung ciri intelektual yang ganjil. Ia mengakui dirinya sendiri sebagai
tokoh setengah dewa, dan konon pernah mengatakan: “ada manusia dan ada dewa,
dan pula orang-orang seperti Pythagoras.” Semua sistem yang ia ilhami, menurut
Cornford, “cenderung bercorak adiduniawi, menempatkan semua nilai ke dalam
persatuan gaib denganTuhan, dan mengutuk dunia yang kasat mata ini sebagai
kepalsuan dan khayalan, suatu medium keruh di mana berkas-berkas cahaya surgawi
terhalang dan mengabur di tengah halimun dan kegelapan.”
Dikaiarchos
mengutarakan bahwa Pythagoras mengajarkan “pertama, bahwa jiwa tak dapat mati,
dan bahwa jiwa itu berubah menjadi jenis-jenis makhluk hidup lain; kemudian,
bahwa apa pun yang bereksistensi dilahirkan kembali menurut perputaran siklus
tertentu, sehingga tak ada sesuatu pun yang benar-benar baru; dan bahwa segala
sesuatu yang dilahirkan dengan disertai kehidupan di dalamnya harus dianggap
berasal dari satu sumber.” Disebutkan bahwa Pythagoras, seperti Santo Francis ,
pun memberikan khotbah kepada binatang.
Dalam
perkumpulan yang ia dirikan, laki-laki maupun perempuan memperoleh perlakuan
sama; barang-barang menjadi milik bersama, dan menjalani cara hidup yang sama.
Bahkan penemuan-penemuan ilmiah dan matematis dianggap sebagai karya kolektif,
dan dari segi mistik merupakan karya Pythagoras, bahkan sekalipun ia wafat.
Hippasos dari Metapontion, yang melanggar peraturan ini, mengalami kecelakaan
kapal dikarenakan murka dewata atas perbuatannya yang durhaka.
Banyak
yang harus dipaparkan mengenai dua aspek pada diri Pythagoras: sebagai nabi
keagamaan maupun sebagai matematisi murni. Dalam dua bidang tersebut ia sangat
berpengaruh. Dan jauh berbeda dengan kesan yang ditangkap oleh pikiran modern,
kedua segi itu sebetulnya tak saling terpisah jauh.
Kebanyakan
ilmu pengetahuan, pada awalnya, biasa dikaitkan dengan sejumlah bentuk
kepercayaan yang keliru, yang memberinya nilai fiktif. Astronomi dikaitkan
dengan astrologi, kimia dengan kemistri. Matematika dikaitkan dengan kekeliruan
yang lebih halus.
Pengetahuan matematis tampil dengan sifatnya yang pasti,
eksak, dan bisa diterapkan pada dunia nyata; selain itu pengetahuan tadi
diperoleh lewat pemikiran murni, tanpa memerlukan observasi. Akibatnya,
matematika dianggap mewakili suatu ideal, yang karena itu pengetahuan empiris
sehari-hari dinilai rendah. Berdasarkan matematika, muncul anggapan bahwa
pikiran lebih utama daripada indera, intuisi lebih unggul ketimbang obsevasi.
Jika dunia inderawi tidak menunjukkan kesesuaian dengan matematika, maka yang
dipersalahkan adalah dunia inderawi. Dengan perlabagi cara, dicarilah metode
yang kian bisa mendekati ideal para matematisi, dan pemikiran-pemikiran yang
dihasilkan itulah yang menjadi sumber pelbagai kekeliruan dalam metafisika dan
teori pengetahuan. Bentuk filsafat demikian ini bermula dari Pythagoras.[2]
C. Filsafat Matematika
Pythagoras dikagumi oleh
murid-muridnya dan dikenang oleh kita sampai sekarang karena keahliannya dalam
menemukan dalil ilmu ukur yang berbunyi: “Dalam segitiga siku-siku, jumlah kuadrat sisi siku-siku sama
dengan kuadrat sisi miring”. Yang sampai
sekarang masih dipergunakan.[3]
Falsafah pemikirannya
banyak diilhami oleh rahasia angka-angka. Ia beranggapan bahwa hakikat dari
segala sesuatu adalah angka. Benda dari benda lain dibatasi oleh angka.
Kita menentukan segala sesuatu yang
sama, segala sesuatu dalam alam raya tidak tertentu dan tidak menentu, benda
atau materi adalah sesuatu yang tidak tertentu , segala hal setelah memiliki
batas bentuk dan angka akan menjadi tertentu dan pasti. Dunia angka adalah
dunia kepastian dan dunia ini erat hubungannya dengan dunia betuk. Ilmu angka
dan ilmu bentuk adalah satu-satunya ilmu pasti (pure mathematis).[4]
Sebagai ahli matematika ia
sangat tertarik pada bentuk dan hubungan yang bersifat kuantitatif. Oleh karena
itu ia mencoba mengemukakan pandangan pandangannya dengan hakikat dari angka. Ia berkesimpulan bahwa
angkalah yang menjadi prinsip dari semua yang ada.
Menurut Pythagoras,
bilangan merupakan anasir penyusunan segala macam bentuk dan perhubungan.
Benda-benda itu merupakan imitasi dari bilangan-bilangan.yang mengubah materi
menjadi bentuk adalah bilangan. Oleh karena itu,
segala bentuk ditentukan oleh angka.
Disamping itu, dalam alam ini terdapat
hubungan yang didasarkan atas bilangan-bilangan. Misalnya, hubungan antara
panjang senar dengan tinggi nada. Semakin berkurang panjang senar semakin
tinggi bunyi nada. Dengan demikian, angka itu merupakan simbol dari
hubungan-hubungn tersebut. Oleh karena itu, Pythagoras berkesimpulan bahwa di
balik semua fenomena yang terlihat terdapat
bilangan. Bilangan merupakan dasar dari segalanya, maka apabila
memperoleh angka yang benar, kita akan memperoleh kebenaran sesuatu. [5]
Selanjutnya, menurut
Pythagoras, bilangan-bilangan itu dapat digolongkan menjadi dua kelompok yang
paling berlawanan, ada bilangan ganjil dan ada bilangan genap, ada bilangan
terhinggga ada pula bilangan tak
terhingga.[6]
Matematika dan filsafat
memiliki hubungan yang cukup erat, dibandingkan ilmu lainnya.
Alasannya, filsafat merupakan pangkal untuk mempelajari ilmu dan
matematika adalah ibu dari segala ilmu. Ada juga yang beranggapan bahwa
filsafat dan matematika adalah ibu dari segala ilmu yang ada. Hubungan lainnya
dari matematika dan filsafat karena kedua hal ini adalah apriori dan tidak
eksperimentalis. Hasil dari keduanya tidak memerlukan bukti secara fisik.
Pythagoras juga dikenal baik sebagai penemu hukum
geometri atau teorema yang berguna untuk menentukan panjang sisi miring dalam
segitiga. Panjang sisi miring (hipotenusa) pada segitiga siku-siku menurut
teorema Pythagoras ditentukan oleh perhitungan akar dari penjumlahan hasil
kuadrat dari kedua sisi yang lain.
Teorema yang sederhana ini berlaku umum dan menjadi dasar
perkembangan geometri Non-Euclid. Teorema Pythagoras ini
juga menjadi inspirasi awal baik bagi Einstein dalam
menyusun teori relativitas umum
maupun bagi seluruh fisika modern yang mencoba menyusun
teori terpadu melalui manifestasi ruang-waktu geometri[7]
Contoh sederhananya:
Jika kita tahu bahwa konsep perkalian adalah
penjumlahan berulang, mengapa kita harus membedakan 1 x 3 dan 3 x 1 ? Bukankah
hasilnya sama saja?
Dalam filsafat matematika, kita memahaminya
dengan cara mengambil perumpamaan berikut:
Samakah makna JAM EMPAT dan EMPAT JAM?
Kata pembentuknya sama,
yaitu kata JAM dan kata EMPAT. Tetapi maknanya pasti berbeda jika letaknya diubah.
JAM EMPAT menyatakan “pukul” empat. Sedangkan EMPAT JAM bermakna “waktu
tempuh, durasi atau lamanya suatu proses”.
Makna ini sama dengan konsep perkalian pada
soal 1 x 3 dan 3 x 1, masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
1 x 3 =3
3 x 1 = 1 + 1 + 1
Maknanya berbeda meski hasilnya sama.
Filsafat
matematika adalah cabang
dari filsafat yang
mengkaji anggapan-anggapan filsafat, dasar-dasar, dan dampak-dampak matematika. Tujuan dari filsafat matematika adalah untuk
memberikan rekaman sifat dan metodologi matematika dan untuk memahami kedudukan
matematika di dalam kehidupan manusia. Sifat logis dan terstruktur dari
matematika itu sendiri membuat pengkajian ini meluas dan unik di antara
mitra-mitra bahasan filsafat lainnya.[8]
Sumber Referensi:
-
Abdul hakim, Atang,
M.A. Drs. dan Drs. Beni ahmad saebani, M.Si. filsafat umum dari mitologi
sampai teofilosofi, CV pustaka setia, bandung, (2008).
-
Ali Maksum. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga
Postmodernisme. Yogyakarta, Ar-Ruzz Media (2011).
-
Bertrand Russell. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya
dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang. Yogyakarta,
Pustaka Pelajar (2007).
-
Dr. A. Epping
o.f.m,dkk. Filsafat Ensie, jemars, Bandung, (1983).
-
Harun Hadiwijono, Dr. Sari Sejarah Filsafat Barat 1 , kanisius, (1994).
-
http//mbegedut.blogspot.com/2010/11/aliran-filsafat-matematika.html
[1]
Ali Maksum. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Jogjakarta,
Ar-Ruzz Media (2011). Hlm. 47
[2] Bertrand Russell. Sejarah Filsafat
Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga
Sekarang. Yogyakarta, Pustaka Pelajar (2007). Hlm 45
[3] Dr. A. Epping o.f.m,dkk, filsafat
Ensie, jemars, Bandung, 1983, hlm 78
[4] Abdul hakim, Atang, M.A. Drs. dan
Drs. Beni ahmad saebani, M.Si. filsafat umum dari mitologi sampai
teofilosofi, CV pustaka setia, bandung, 2008, hlm.160
[6] Abdul hakim, Atang, M.A. Drs. dan
Drs. Beni ahmad saebani, M.Si. filsafat umum dari mitologi sampai
teofilosofi, CV pustaka setia, bandung, 2008,hlm 162
[7] Bertrand Russel, sejarah filsafat barat,
pustaka pajar, 2007,hlm.552
sangat mencerahkan dan bermanfaat. izin mengutip mas. makasih :D
BalasHapus