![]() |
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. "Modal mahasiswa itu dua: akhlak (karakter) dan ilmu, itu saja." |
Pula, dalam perkembangan tersebut ragam aliran keIslaman mulai berkembang di Universitas Islam di Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini.
Seperti apa pandangan Rektor terhadap fenomena tersebut? Ke
depan, UIN seperti apa? Berikut hasil wawancara Saya dengan Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta saat ditemui di ruang
kerjanya, Jumat (11/5) lalu.
Tentang
Integrasi Keilmuan di UIN Jakarta menurut Anda?
Integrasi
keilmuan pada tahapan ontologis, ilmu itu hanya satu. Kalau dalam agama, ya itu
dari Allah, hanya satu.
Kemudian dalam
perkembangannya muncul cabang-cabang baru. Tapi semuanya dari Allah. Itu dari
satu sudut pandang.
Adalagi cara
pandang lain. Cabang ilmu itu yang menonjol ada empat. Ilmu alam, semua ini,
aspek-aspek ini, semua ilmu alam. Yang kedua, humaniora, kayak psikologi,
filsafat, ini namanya humaniora.
Yang ketiga ilmu
Sosial: sosiologi, ilmu politik itu. Nah, sekarang ini tambah lagi, diviniti, ilmu
keagamaan: Ada empat cabang ilmu.
Jadi, kalau Anda lihat
fakultas kedokteran, nah, itu sesungguhnya, campuran antara ilmu alam dan
humaniora. Ilmu alam karena berbicara ilmu eksak, humaniora karena menyangkut manusia.
Kalau Fakultas
Adab, nah itu kandungannya ilmu sosial, bicara sejarah. Dan, diviniti
kaitannya dengan keagamaan. Ada empat itu.
Jadi kalau pada
level ontologis, ilmu itu hanya dari Allah, satu. Kalau pada dunia epistemologis
ada empat itu, yang keempat-empatnya itu kemudian saling berkaitan.
Misalnya ilmu
ekonomi atau kedokteran. Keduanya itukan applied sience. Statistic. Itu
kan, egh, jadi ilmu itu semuanya saling berkait-kaitan, maka kalau Anda bicara
masalah integrasi, hampir semua ilmu itu, sesungguhnya saling terkait dan terintegrasikan
dengan yang lain.
Karena berbicara
tentang ilmu alam itu juga berkaitan denga ilmu sosial, humaniora. Dalam agama,
ini kaitannya dengan kesadaran keagamaan.
Di
UIN dengan dibukanya fakultas non-agama, fakultas agama tertinggal?
Mengapa IAIN
jadi UIN, satu, ini menghidupkan kembali sejarah kejayaan peradaban islam.
Dulu, masa kejayaan islam, yang namanya pusat pendidikan Islam: universitas, ya,
seperti UIN ini.
Jadi, tidak ada pemisahan, ini ilmu alam, ini ilmu agama, sosial,
enggak ada.
Makanya dulu,
kalau kita membaca karya-karya seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina semuanya
ilmu terintegrasi. Makanya kalau ada orang kok heran, kenapa kok IAIN jadi UIN,
kemungkinan dia tidak membaca sejarah.
Yang kedua, mengapa membuat universitas yang banyak
fakultas, itu kan terinspirasi dari ajaran Al-Quran, karena Al-Quran itu yang
dibicarakan tidak hanya ritual, tapi
juga bicara sejarah, psikologi, perbintangan, lautan, ekonomi.
Jadi, pengembangan
ilmu-ilmu IAIN itu adalah kelanjutan dari inspirasi pesan Al-Quran. Makanya,
aneh, kalau kemudian ada yang berpandangan ini semakin jauh dari agama. Justeru
ini mengembangkan ilmu-ilmu keislaman, baik dari sejarah masa lalu maupun pesan
Al-Quran.
Al-Quran itu kan
sangat jelas menyuruh umat islam itu berdagang, agar eknonomi berkembang,
makanya fardhu kifayah, ada fakultas ekonomi.
Al-Quran nyuruh
umatnya sehat, jadi fardhu kifayah kalau umatnya sehat, ada fakultas
kedokteran. Al-Quran menyuruh umatnya pinter, sekolah fardhu kifayah, membuat
fakultas tarbiyah, jadi semuanya itu kan lanjutan perintah Al-Quran.
Berubah
menjadi UIN membuka peluang masuk berbagai paham keagamaan?
Umat islam itu
sangat kaya dengan warisan intelektual, beragam paham keagamaan. Itu sangat
kaya, dan itu ditandai dengan banyaknya mazhab: dalam ilmu fiqih banyak mazhab;
ilmu teologi banyak mazhab; politik banyak mazhab. Semua ilmu-ilmu dalam islam
itu mempunyai mazhab.
Umat itu sangat kaya dengan itu. Jadi, dulu
ketika islam berkembang di satu wilayah, dia akan menemukan peradaban baru,
wilayah baru, problem baru. Kemudian umat islam berijtihad. Ijtihad itulah
kemudian melahirkan satu pengkayaan terhadapa mazhab baru.
Nah, sekarang
kalau ketika islam masuk ke Amerika, ada situasi baru, ada sebuah ijtihad baru
di sana. Ketika islam sampai ke benua kutub, bagaimana solatnya, bagaimana
puasanya, (maka) timbul ijtihad baru.
Sekarang, ada
pesawat terbang, itu muncul fiqih baru, fiqih angkasa. Masuk di daerah maritim,
lahir mazhab maritim. Jadi, mazhab itu tak asing dalam islam dan itu sejalan
dengan dinamika.
Jadi umat islam
itu dituntut untuk bisa memahami itu semua, terlepas dari ada UIN atau tidak,
umat islam di mana pun berada dituntut untuk selalu belajar memahami dinamika.
Dan, dengan banyaknya
fakultas itu sekaligus menunjukkan keragaman objek-objek kajian tertentu. Jadi
fakultas syari’ah, itu kan dia mengambil titik kajian hukum. Itu kan sebuah
cabang pemikiran. Ushuluddin, dasar-dasar agama. Nanti kedokteran bagaimana
islam dengan kedokteran. Adab.
Jadi, semua
fakultas dan prodi itu seklaigus menunjukkan cabang-cabang keilmuan. Karena sifat-sifat
ilmu itu berkembang dan bercabang lalu terus beranting.
Tentang
paham dan aliran yang ada di UIN?
Nah, begini,
cabang-cabang itu ada bidang keilmuan. Ada mazhab bidang ritual. Ada mazhab
bidang politik, misalnya, kalau dalam politik: apakah islam mewajibkan Negara
islam, harus islam, atau islam itu yang penting kepada masyarakatnya? Bukan
pada negaranya. Nah, itu juga akan berkaitan dengan situasi di mana islam
berkembang.
Ketika islam
berkembang di eropa, di barat, tidak relevan umat islam ngomong masalah Negara.
Islamisasi eropa, amerika. Ketika di
timur tengah yang cocok barangkali dinasti, Saudi Arabia. Kemudian juga di Yordan,
dinasti Hasyimiyah. Di Brunei, Sultan
Bolkiyah.
Nah, di Indonesia
ini negara kebangsaan. Jadi, umat Islam itu dalam merespon situasi politik
berkaitan di mana ia tumbuh. Sehingga, menimbulkan banyak cara pandang. Menjadi
problem kalau cara pandang itu dipaksakan pada satu wilayah di wilayah lain
yang
variabelnya berbeda.
Bagaimana
jika UIN membuat data base untuk memantau paham keagamaan mahasiswa?
UIN itu lembaga
pendidikan, lanjutan dari sekolah-sekolah sebelumnya. Ada madrasah, ada
pesantren. Ini lembaga pendidikan. Kalau di perguruan tinggi, titik tekannya
pada transfer knowledge. Kalau pendidikan karakter, lebih banyak SMA ke
bawah. Makanya, kualitas mahasiswa, akhlaknya itu akan dipengaruhi oleh
kualitas sebelumnya.
Jadi, di kampus
itu perjumpaan dosen dan mahasiswa itu hanya sebentar. Dan dosen mahasiswa juga nggak kenal dengan
mahasiswanya. Karena di kampus itu, sesungguhnya, titik tekannya, memang lebih
memberikan wawasan keilmuan.
Untuk karakter lebih
banyak ditentukan oleh bagaimana keluarga dan pendidikan sebelumnya. Kampus itu
sulit untuk mengawasi satu per satu. Begitu keluar dari kampus, ya, sudah. Itu kan
kehidupan pribadi mereka. Kampus terlalu sulit mengawasi kehidupan mereka satu
persatu. Mereka udah dewasa kok.
Kalau mereka masuk
jalan raya, yang berlaku lalu lintas. Begitu masuk ranah birokrasi, yang
berlaku ya hukum birokrasi. Di situ makanya, modal pendidikan keluarga dan
sebelumnya sangat penting.
Saya amati, ada
anak yang bagus-bagus, memang sebelumnya udah bagus kok. Ada mahasiswa yang
dasarnya nggak bagus, ya memang dasarnya nggak bagus kok. Ada mahasiswa
perokok, aslinya sudah emang perokok kok.
Tentu saja
dosen-dosen itu selalu memberikan pendidikan karakter, tapi pada akhirnya,
sesungguhnya, mahasiswa bersangkutan yang harus bertanggung jawab pada dirinya
sendiri. Karena udah dewasa.
Yang kedua,
bahwa islam itu begitu luas pahamnya, ditambah lagi hubungan kampus dengan
masyarakat itu begitu dekat. Di Indonesia, lebih-lebih UIN, itu masyarakat
dengan kampus sangat dekat. Lalu politik juga sangat dekat. Jadi, kalau
pengaruh luar masuk kampus di sini, itu memang sangat sulit dihindari.
Pengaruh apa
saja sulit dihindari. Egh. Makanya, gini, yang penting bagaimana, satu,
menegakkan etika, kedua juga meningkatkan kualitas disiplin pembelajaran, jadi
kalau orang kalau nggak mencapai IP (indeks prestasi) sekian seharusnya diDO (drop
out), silakan. Di kampus-kampus yang maju itu berlaku. Kalau gada target,
ya, diDO.
Di kampus-kampus
besar tiap tahun itu ratusan jumlah yang diDO. Kalau ga memenuhi target
kehadiran masuk, ga boleh ujian, ya ga boleh ujian. Jadi memang begitu. Karena
memang kampus itu harus ditegakkan aturannya. Bagi mereka yang ga berminat, ya
keluar aja.
Kalau soal data
base, untuk soal penelitian atau riset ya bagus-bagus saja, untuk mengamati
tren perkembangan, itu bagus saja. Saya setuju. Tapi kita tidak bisa
memaksakan. Mahasiswa kan masa pencarian. Pembentukan pribadi. Jadi, kalau toh
ada ada anak yang nakal, nakal dibedakan dengan jahat, ya, ada anak yang kadang
kritis, ya, memang kampus buat berfikir kritis.
Jadi, kampus itu
bukan lembaga ideologi. Bukan lembaga gerakan. Tapi, lembaga ilmiah dan riset.
Sebagai lembaga ilmiah, di kampus dimungkinkan dan didorong berfikir kritis apa
saja. Jangan kan islam. Komunisme pun dipelajari. Agama apapun dipelajari sebagai
ilmu pengetahuan.
Karena,
diharapkan itu kan alumninya itu nanti tinggal di tengah masyarakat yang
plural, jadi pemimpin. Kalau nanti jadi pemimpin, dia tidak memahami pluralitas
masyarakatnya, bagaimana jadi pemimpin?
Kampus itu lembaga
sivitas akademika, bukan sivitas politika. Ini, akademis, putera-putera terbaik.
Yang ketiga di UIN Jakarta, kita harapkan, ini sebagai miniatur Indonesia masa
depan. Dosennya, mahasiswanya datang lintas propinsi.
Kemudian, pertama,
memahami dinamika perubahan masyarakat di bawah. Mahasiswa UIN ini hendaknya
jangan tercerabut dari masyarakat bawah, yang kedua memahami dinamika
arah perkembangan bangsanya.
Oleh hendaknya, nah,
yang ketiga, memahami perkembangan global. Karena kita bagian dari
masyarakat dunia. Jadi nanti ketika mahasiswa udah sarjana. Itu kan dia adalah
putera daerah. Dia adalah juga sebagai warga Negara, terlahir sebagai putera
indonesia, kemudian juga warga dunia.
Makanya, di
samping juga mempelajari ilmu sesuai bidangnya, hendaknya juga peduli dengan
dinamika perkembangan. Jadi secara keilmuan dan karakter.
Modal mahasiswa itu kan dua: satu akhlak; dua ilmu. Itu saja. Cinta ilmu tapi nggak punya akhlak, ya, untuk apa? Punya akhlak tapi bodoh, ya, gimana? Kan dua itu.
Jadi, karakter
dan ilmu. Kalau sudah tamat, ya, silakan. Mau ke politik, ya, silakan,
professional silakan. Tapi selama di kampus mari kita jaga ini adalah pusat
keilmuan dan peradaban, untuk menyiapkan putera-putera bangsa ke depan.
Ini bukan
lembaga partai, buka lembaga politik, ekonomi. Ini adalah lembaga keilmuan. Itu
titik tekannya. Bagi teman-teman yang aktifi di politik ya ngerangkap aja, di
LSM atau di partai sana, di organisasi buruh jug asana, silakan, di luar banyak
sekali kalau mau. Tapi, ini lembaga keilmuan untuk membentuk kerakter.
0 komentar:
Posting Komentar