Pada seminar
“Pesantren Studies vs Islamic Studies: Mempertanyakan Kembali Integrasi
Keilmuan di UIN” yang berlangsung di Aula Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI)
Lantai II, Sudarnoto Abdul Hakim, Purek II Bidang Akademik, dalam sambutannya
mengatakan saat ini UIN masih dalam tahap penyandingan ilmu, belum pada tahap
integrasi keilmuan, Kamis (7/6).
Menurutnya,
proyek integrasi keilmuan di UIN bukan hal mudah. Dibutuhkan proses dan waktu
yang lama. Namun, UIN, katanya, saat ini tetap berkomitmen menghilangkan
dikotomi ilmu. “Belum integrasi! Masih perlu perjalanan panjang. Jadi, kalau
dipertanyakan (integrasi keilmuan), ya, no questions,” katanya.
Dalam sambutannya
pula, Abuddin Nata, Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah, mengatakan latar belakang
konversi IAIN ke UIN adalah paradigma Studi Islam. Pendalaman Studi Islam
tersebut perlu agar Islam dapat masuk ke ‘bumi’. “Studi Islam adalah bagaimana
Islam bisa masuk dan tidak ekslusif,” katanya.
Studi Islam,
menurutnya, merupakan sebuah paradigma baru yang melihat Islam sebagai sebuah
kajian yang memiliki interdependensi dengan bidang-bidang kajian sains, ilmu
sosial, antropologi, serta responsif terhadap isu-isu kontemporer.
Ia mengatakan
salah satu alasan kenapa terjadi konversi guna merespon pergeseran paradigma
madrasah aliah yang semula adalah sekolah agama, kini bergeser menjadi sekolah
umum berciri Islam. “Ciri mahasiswa IAIN itu harus bisa baca kitab. kalau nggak
dikonversi, sudah nggak ada lagi mahasiswa di UIN ini,” katanya.
Tampil sebagai
pembicara pertama, Fuad Jabali, pengajar program pascasarjana UIN, mengatakan
konsep Integrasi Keilmuan, berdasarkan sudut pandang historis, kurang tepat.
Seharusnya menggunakan istilah Reintegrasi Keilmuan. Karena, menurutnya, konsep
Integrasi Keilmuan sudah pernah ada di zaman keemasan Islam di abad
pertengahan.
Agar maju,
menurut Fuad, umat Islam harus mempelajari ilmu dari Barat. “Dulu,” katanya,
“Barat banyak belajar dari Timur. Oleh karena itu, kalau kita menolak peradaban
Barat, itu berarti menolak sebagian peradaban Islam, karena apa yang ada di
Barat itu adalah dulu punya islam,” tandasnya.
Ia menghimbau
umat Islam meruntuhkan mitos integrasi keilmuan yang seringkali diasosiasikan berdasarkan
tinjauan demografis kepada wilayah Timur Tengah. Padahal, menurutnya, asosiasi
Islam dengan Timur Tengah itu hanya sebentar. ”Pusat peradaban islam berpindah-pindah tidak hanya dengan
di Timur Tengah,” katanya. “Kita harus bersikap seperti umat Islam jaman dulu
yang tidak takut dengan dengan peradaban apapun.”
Mulyadi
Kartanegara, Guru Besar Filsafat Islam UIN Jakarta, dalam presentasinya
mengatakan integrasi keilmuan harus menyinergikan potensi indera, akal dan hati
dalam mempelajari segala yang ada di alam semesta ini sebagai ayat Allah.
Menurutnya, tidak ada dikotomi dalam ilmu, seperti yang dilakukan oleh Barat
yang bercorak eksperimental-empiris. “Integrasi bukan melebur, integrasi berhadapan
dengan persoalan dikotomi,” katanya.
Menurutnya, UIN
perlu mengadakan curriculum reform dengan memperbanyak referensi dari
Islam jangan hanya dari Barat, mengadakan proyek karya-karya ilmiah dan membuat
pengantar buku-buku pengantar Islam. “Kalau tidak, wacana Integrasi Keilmuan
itu , ya, hanya wacana saja,” katanya.
Pembicara
terakhir, Ahmad Baso, Intelektual NU, berpendapat pentingnya karakter
berkebangsaan dalam integrasi keilmuan. Berdasarkan kitab Serat Centini hasil
karya orang pesantren di Indonesia, ia mengatakan kontribusi orang pesantren
dalam khazanah keilmuan sangatlah kaya. Bahkan, dulu, akibat kemajuan di bidang
keilmuan tersebut membuat penjajah saat kewalahan menghadapi kaum pesantren. “Pesantren
tidak membenci ilmu Barat, tapi kolonialisme, kapitalisme.”
Ia menghimbau
UIN agar juga mempelajari teks-teks peninggalan nusantara, khususnya pesantren,
yang banyak menyimpan khazanah keilmuan, tidak hanya mengutip karya-karya luar
nusantara. Hal tersebut, menurutnya, akan bermanfaat untuk memperkuat karakter
kebangsaan mahasiswa, “UIN kalau kalau manu ngomong integrasi, harus mempunyai
karakter kebangsaan. Kalau tidak, yang ada cuma kutip mengutip dari luar,”
katanya.
Seminar tersebut
terselenggara atas kerjasama berbagai pihak, yaitu Komunitas Saung, LPM
INSTITUT, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora,
Badan Eksekutif Mahasiswa FDI dan HMJ Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin.
0 komentar:
Posting Komentar