Paska restrukturisasi sistem lembaga kemahasiswaan beberapa
waktu lalu, di beberapa fakultas, nomenklatur organisasi kemahasiswaan berbeda
satu sama lain. Purek 3 Bidang Kemahasiswaan Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan
hal tersebut tak perlu terjadi jika mengacu pada SK Rektorat. “Seharusnya
mahasiswa menggunakan istilah BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), katanya (10/9).”
SK Rektorat tersebut dibuat hanya sebagai landasan normatif
sistem organisasi lembaga kemahasiswaan sementara. “Kita buat sebagai rujukan
normatif. ” SK tersebut sendiri dibuat guna merespon tuntutan aksi unjuk rasa
beberapa mahasiswa mempertahankan sistem Student Government. “Itu kan aspirasi para pendemo itu,” katanya.
Jika mengacu pada SK Dirjen Kemenag, menurutnya, sistem yang
berlaku adalah senat. Meski demikian upaya perbaikan terus menerus akan
diupayakan. “Harusnya mengikuti SK Dirjen. Tapi, okelah. Pelan-pelan. Ini namanya
akomodasi politik. Kita perbaiki sambil berjalan,” katanya. “Kalau cepat-cepat,
nanti mahasiswa capek, saya juga capek.”
Dalam beberapa waktu ke depan lembaga kemahasiswaan akan
menggunakan nomenklatur, undang-undang dan standarisasi yang jelas. Ia menginginkan
adanya landasan hukum dan standarisasi lembaga kemahasiswaan yang jelas. “Semuanya
harus dengan landasan normatif yang jelas. Kalau nggak, ya, lucu,” katanya.
BEM atau Senat?
Terkait hal tersebut Ketua BEM FKIK Fahad mengatakan
penggunaan istilah BEM di fakultasnya karena istilah tersebut dianggap lebih
populer. “Secara marketing nama BEM itu populer, lebih menjual,” katanya
(13/9).
Fahad menambahkan, jika memang mengacu pada SK Dirjen, pada
tataran eksekutif memang seharusnya menggunakan istilah dema dan legistlatif
menggunakan sema. “Menurut saya nggak apa-apa, yang penting substansinya sama,”
katanya.
Senada hal tersebut, Ketua Dema Fidikom Hairul Saleh mengatakan
perjalanan lembaga kemahasiswaan di fakultasnya berjalan hampir sama dengan BEM
yang lalu walaupun dengan nama berbeda. “Kalau fakultas Dema, jurusan HMJ,”
katanya (13/9).
Pada ranah operasional tetap sama. Hal tersebut karena
rektorat hanya mengganti nama saja, tapi tidak mempunyai ADRT. Untuk undang-undang
masih merujuk kepada sistem lama. “Hanya
sekedar perbedaan nama saja. Tataran organisasi, ya, sama,” kata mahasiswa
Jurusan KPI Semester 7 itu.
Menurutnya, perbedaan nama tersebut dikarenakan beberapa
fakultas tidak merujuk ke SK Rektorat. “Saya sendiri, tidak mempermasalahkan
hal tersebut. Tapi, ya, agak aneh saja, yang penting kita jalan terus, kita
berjalan merujuk kepada yang sudah ada,” katanya.
M. Zainudin Asri, Wakil Sema Fakultas Sains dan Tekhnologi (FST)
mengatakan adanya perbedaan nomenklatur tersebut membuat ketidakteraturan organisasi
kemahasiswaan, baik di tataran struktur maupun ADRT. “Kalau mau senat, ya,
senat,” tegasnya (13/9).
Ia menilai restrukturisasi lembaga kemahasiswaan tersebut
terkesan tergesa-gesa. Akibatnya, berbagai keperluan operasional sistem yang
baru dinilai banyak mempunyai kekurangan, terutama dalam ADRT. “Visinya apa, tujuannya apa, nggak jelas,”
katanya. “Pudek 3 kemahasiswaan sendiri tidak tahu ketika ditanya apa itu
sema.”
Meski demikian, Mahasiswa Jurusan Agribisnis yang akrab
disapa Udin tersebut beserta segenap pengurus terus mengupayakan kinerja mereka
tetap berjalan dengan landasan undang-undang. “Ya, kita bingung. Tapi, dalam
beberapa waktu ini kita membuat ADRT yang mengacu pada BEMF lalu,” katanya.
Berbeda dengan fakultas lainnya, di FST lembaga
kemahasiswaan tingkat fakultas menggunakan Dema, dan jurusan Sema. Fakultas
Dakwah dan Ilmu Komunikasi sendiri pada tingkat fakultas Demaf, sementara di
jurusan menggunakan istilah Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ).
Standarisasi Lembaga Kemahasiswaan
Sudarnoto mengatakan perlunya standarisasi dalam lembaga kemahasiswaan.
Dirinya akan terus berupaya menciptakan hal tersebut. Ia menilai, lembaga
kemahasiswaan yang ada saat ini tidak bermutu, “Terus terang sekarang nggak
bermutu,” katanya.
Standarisasi tersebut menurutnya harus ditinjau dari
berbagai aspek. Tiga di antaranya adalah legalitas, moralitas dan kontrol.
Sehingga dari standarisasi tersebut nanti bisa berlanjut kepada sistem
akreditasi. “Jika tidak sesuai standar akreditasi, lebih baik ditutup saja,”
katanya.
Dari segi moralitas Sudarnoto menegaskan, selain kompetensi
moral, secara individu, mahasiswa juga dituntut mempunyai kompetensi akademis.
“Kalau IP-nya hanya satu koma, lebih baik disuruh pulang ke rumah saja,”
ujarnya sambil tersenyum.
Legalitas baik dari perundang-undangan maupun perizinan
harus mempunyai landasan yang jelas. Juga, menurutnya, untuk menjaga
stabilitas, maka dibutuhkan sistem penilaian, cek serta kontrol secara
berkesinambungan, “Lembaga kemahasiswaan harus bermutu,” katanya.
0 komentar:
Posting Komentar