![]() |
Muhbib Abdul Wahab, Pudek III Kemahasiswaan FITK UIN Jakarta. |
Berikut hasil wawancara Institut dengan Ketua Tim Penyusun
Revisi Kode Etik, Muhbib Abdul Wahab terkait beberapa pasal, yakni, pada Bab
VII tentang pasal 26 (rokok), pasal 32 (berzina) dan pasal 39 (terlibat
organisasi dan atau aliran sesat), Rabu (10/10).
Pasal tentang rokok, denda dan Implementasinya?
Bertahap. Masih sosialisasi. Dalam waktu dekat ini. Kalau
masih merokok, ya, didenda. Sebenarnya kita lebih murah. Di Universitas Indonesia,
kalau kedapatan merokok, menurut kode etik mereka didenda seratus ribu. Di DKI,
kan ada itu ada di Perda. Yang jelas ada, walaupun belum terealisasi. Termasuk
di kampus ini.
Karena walau bagaimana pun yang merokok itu sebenarnya bukan
hanya mahasiswa, juga ada yang lain. Tapi kita perlu membuat ini supaya lembaga
pendidikan ini bersih dari asap rokok, karena merokok itu sama sekali tidak
mendidik, baik dari sisi kesehatan, kebersihan, ekonomi. Merokok itu tidak ada
gunanya kok.
Saya sering dialog, coba tunjukkan apa manfaatnya? Tiup,
buang lagi, tiup, buang lagi. Coba
dipakai buat makan, kenyang. Ngotorin lingkungan.
Perokok itu tidak ada yang peduli terhadap kebersihan dan kesehatan. Saya sudah
amati semua, nggak dosen, karyawan, mahasiswa, kalau perokok itu tidak ada yang
peduli dengan orang lain. Kalau mau merokok, ya, tidak apa-apa, tapi jangan di
kampus sini, di luar saja. Kode etik itu atau aturan apa pun dibuat untuk
kepentingan bersama.
Kode etik dosen, adakah?
Kita sudah usulkan kepada dosen. Supaya adil, supaya
sama-sama bisa menjadi contoh. Ya kalau Cuma mahasiswa saja yang dilarang
merokok, dosennya tidak, itu kan tidak fair. Saya sudah sering usul itu di
forum-forum, tapi saya belum tahu….mungkin nanti bisa dikonfirmasi lembaga
penjaminan mutu di UIN. Ada nggak itu, kalau misalkan nggak ada, atau misalkan
hilang ditengah proses tolong mahasiswa mengawal. Saya sudah himbau dan usulkan
itu dalam berbagai rapat bersama para pimpinan dan dosen.
Tentang pasal zina, asas pembuktiannya bagaimana?
Tentu kita tidak bisa seperti apa yang diminta oleh hadits Nabi,
seperti melihat “timba masuk ke dalam sumur”. Itu tidak mungkin di jaman
sekarang. Yang bisa dimungkinkan, pertama, ya kalau tertangkap basah, mungkin
di suatu kamar, kemudian diminta dua-duanya diminta surat nikah. Kemudian
diminta untuk mengakui, tapi dalam arti menjelaskan. Mungkin juga bukti lainnya
seperti spermanya masih ada apa tidak. Salah satunya itu.
Dan itu pernah terjadi. Jadi ada mahasiswa digrebek warga,
dibelakang koperasi UIN, yang bersangkutan mengakui, kemudian dibuatkan surat
pernyataan bahwa benar telah melakukan perzinahan. Tidak harus ngintip,
mana mungkin di jaman sekarang. Hadits itu berlaku pada jaman dulu. Karena saat
itu rumah penduduk masih tradisional. Sekarang kan sudah tembok. Rapih. Ya
mungkin satu dua kali nggak ketahuan, tapi kan lama-lama orang mulai curiga.
Menyimpan kebusukan itu akan ketahuan.
Jadi, pembuktiannya itu adalah pembuktian fisik, atau
melalui pengujian. Tapi tidak mungkin sejauh itulah. Ngapain kita repot. Orang
berzina itu kan pasti ketahuan. Dari sisi penampilannya, fisik. Ini suami istri
atau tidak. Banya kok yang sudah sering digrebek warga seperti itu. Jadi
sebetulnya, kita tidak perlu menuntut asas pembuktiannya, tetapi realitasnya
seperti apa di masyarakat.
Psikologi orang yang bersalah dengan tidak itu kan berbeda.
Saya mengatakan bahwa pembuktiannya lebih kepada pembuktian sosial, masyarakat.
Saya netral saja. Kalau tidak terbukti secara kode etik, ya tidak apa-apa.
Sekali lagi, tidak apa-apa menurut kode etik, ya. Bukan berarti zina itu boleh.
Kode etik ini dibuat kalau terjadi pelanggaran, dan kalau pelangarannya diketahui,
ada yang melaporkan, dan ada yang melakukan. Kalau tidak ada, ya, aman-aman saja.
UIN beberapa kali mengadvokasi aliran yang dianggap sesat
oleh masyarakat, misalnya kasus Lia Eden. Terkait pasal aliran terlarang dan
sesat di KEM, standarisasinya seperti apa?
Saya kira begini, saya koreksi dulu. Ini jangan UIN yang
dibawa-bawa, UIN tidak pernah. Tapi mungkin ada, satu dua orang atau oknumlah
yang punya pendapat “membela” kesesatan Lia Eden. Membela hak dia untuk meyakini
apa yang dia anggap benar. Membela itunya. Karena, biasanya, yang menjadi argumen
itu adalah keyakinan itu tidak bisa diberangus, dilenyapkan. Mereka tetap punya
hak untuk beragama sepeti yang dia yakini.
Walaupun argumen itu tidak terlalu kuat. Karena itu argumen
HAM yang hanya pintu masuknya itu lebih menekankan pada aspek hak-hak personalnya,
tanpa memperdulikan hak-hak orang lain yang merasa terganggu atau terusik dengan
cara-cara dia melakukan keyakinannya yang mungkin masih “mengatasnamakan” Islam
juga, dan oleh lain yang menilai itu mengganggu, menistai, atau menodai agama.
Standarisasi kesesatan menurut KEM, seperti apa?
Nah, tentang aturan sesat atau tidak yang pasti berdasarkan hukum
positif. Beberapa aliran yang memang dilarang oleh negara misalnya PKI, NII.
Kemudian aliran-aliran yang pernah ada misalnya, yah, yang sempalan-sempalan
itu, splinter group, yang oleh MUI maupun Pemerintah itu dianggap sesat.
Yang kedua. Aliran-aliran seperti ini kan sifatnya dibawah
tanah, susah dideteksi. Termasuk juga terorisme, atau gerakan atau aliran sesat.
Nah seperti itu juga dilarang. Sekali lagi karena keberadaannya bukan untuk
membuat umat Islam ini maju, tapi lebih cenderung memperkaya diri sendiri,
meneror orang lain, menimbulkan ketakutan dan kebencian. Jadi kriteria yang
paling adalah hukum positif yang berlaku. Memang di buku itu tidak ditulis
secara mendetail, tapi kita bisa membaca lah. Jadi itu saja patokannya, apa
yang terlarang adalah yang dilarang oleh undang-undang atau hukum positif Republik
Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar