Saya seorang dosen, Pak Presiden. Nyaris setiap hari saya
membicarakan hal-hal ideal dengan mahasiswa. Kepada para mahasiswa saya selalu
mengajarkan mimpi tentang Indonesia yang lebih baik di masa depan.
Jadi, tolong
saya, Pak Presiden, tolong bantu saya untuk menjadikan ajaran itu bukan ilusi,
apalagi dusta. Maka jawablah permohonan ini dengan sebuah tindakan: bahwa besok
pagi, saat fajar tuntas memintal malam, Anda akan menjadi presiden yang
revolusioner. Atas nama apa pun yang bernama kuasa, jadikanlah diri Anda Arok,
Sang Pembangun itu! (h 280).
Kutipan di atas merupakan bagian inti mengapa buku ditulis. Tak
dimungkiri sosok pemimpin merupakan hal yang terpenting guna kemajuan sebuah
negara. Saat status seorang pemimpin Indonesia justru seringkali kontradiksi
dengan peranan yang sewajibnya ia laksanakan --terlebih atas apa yang telah ia
janjikan—sosok penulis, Acep Iwan Saidi (ais), mempunyai cara unik tersendiri
merespon realitas tersebut.
Ironi memang. Ketika dalam perjalanan intelektualnya, seorang
putera bangsa, ais, justru menghantarkannya kepada rasa frustasi, karena
melihat kondisi negaranya dipenuhi abnormalitas dalam berbagai aspek. Secara
garis besar, buku ini membincang budaya, politik, sejarah, pendidikan, sosial,
pun pada ranah agama yang kesemuanya tentu saja melalui perspektif kebudayaan.
“Aku bukan ahli agama, tapi dari perspektif kebudayaan
aku berani mengatakan bahwa agama ini sangat ‘demokratis’. Jika tidak, mana
mungkin lahir kota Madinah, sebuah ‘kota berbasis masyarakat sipil (civil society)’,”
tulisnya pada status 345 (h. 219).
Menjadi orang yang “terlanjur” tahu dan merasakan himpitan
batin terhadap realitas tersebut, sebagai upaya konstruktif, ais mengajak publik
mendiskusikan serangkaian abnormalitas tersebut melalui akun facebooknya.
Rupanya ais tidak sendiri. Statusnya banyak mendapat respon dari berbagai
kalangan yang juga gelisah terhadap situasi bangsa. Berbagai komentar hampir dapat
dijumpai di setiap statusnya.
Buku yang terhimpun dari narasi 501 statusnya di facebook
ini akan menggugah kesadaran kita tentang hal yang selama ini luput dari
panggung diskusi. Buku ini terdiri dari delapan narasi besar. Masing-masing
narasi, dengan pola penyampaian yang ringan dan menarik, berkelindan merangkai
sebuah narasi besar, Revolusi sosial (h 165).
Menyoal Pendidikan Indonesia
Ais melawan sistem pendidikan Indonesia. Perlawanan terhadap sistem pendidikan yang, menurutnya,
mengerdilkan bangsa Indonesia (h.323). Lama bergelut di dunia pendidikan, ais
banyak menemukan kebobrokan sistem kurikulum kita. Melalui narasi ringkas
padat, buku ini membongkar genealogi sistem pendidikan Indonesia yang
berimplikasi memproduksi manusia-manusia pragmatis.
“…Dekade 60-an…Salah satu hal menarik, yang kiranya tidak
tampak di permukaan karena tertimbun hingar bingar politik, adalah bergesernya
orientasi pendidikan, yakni dari pendidikan yang berorientasi pada eropa
kontinetal (Belanda) ke studi terpimpin (guided study system)—yang kemudian
kita kenal dengan SKS—Amerika…”(296).
“Sudah menjadi rahasia umum bahwa kemenangan Orde Baru
juga identik dengan kemenangan Amerika. Barangkali tidak ada yang salah dengan
SKS. Akan tetapi, peluang sistem ini untuk mencetak peserta didik menjadi
manusia pragmatis memang sangat terbuka. Dan, dalam perkembangannya Orde Baru
memang menginginkan masyarakatnya menjadi manusia pragmatis sedemikian…”
“…Sedangkan di tingkat perguruan tinggi, SKS telah
memaksa mahasiswa untuk menjadi individu yang taat administratif dan
pengejar sertifikat belaka. Tentu, dari perspektif politik, sistem itu mudah
dibaca: Kuasa pendidikan adalah Kuasa Raja, individu tidak boleh punya suara di
hadapannya (h. 300).
Terkait dengan sistem ujian nasional, seseorang berkomentar,
“Saya seorang guru di sebuah SMAN, sudah kering air mata, menangisi keadaan ini.
Hanya sekali saya ikut mengawas pelaksanaan UN. Selanjutnya, saya selalu
menolak untuk jadi pengawas UN, karena saya tidak mau bertolong-tolongan dalam
kebatilan. Efek yang sekarang terasa, semangat belajar siswa terus merosot.
Mereka berpikir tidak perlu belajar, toh kakak-kakak kelas yang paling ‘aneh’
sekalipun bisa lulus dengan nilai-nilai yang fantastis. Ingin rasanya saya
hidup di Indonesia yang lain”(h. 223).
Ide besar dalam kemasan ringan
Menelusuri rangkaian narasi buku ini akan menggelitik kita
agar segera bangkit dari
kemapanan atas kejumudan merespon realitas bangsa
kita. Rangkaian bualan ais senantiasa segar dikonsumsi siapa saja yang
merindukan perubahan tatanan sosial yang lebih baik.
Meski kemudian pada beberapa percakapan terlihat sedikit jenaka,
laiknya pengguna fasilitas facebook pada galibnya, namun perbincangan dengan pola
satire yang sarat pesan-pesan filosofis menjadikan diskusi alam maya ini berbeda.
Bernas dan berdaya konstruktif.
Ais dengan baik mengartikulasikan kompleksitas realitas yang
tengah merundung bangsa ini ke dalam percakapan ringan, sembari menyemai
bibit-bibit perlokusi agar pembaca harus tetap optimis mengupayakan perubahan,
sekecil apa pun upaya itu. Tak terkecuali melalui media sosial facebook.
Buku ini bak miniatur kota yang dihuni penduduk yang
merindukan perubahan ke arah baik. Kekuatan buku ini adalah kesederhanaannya
dalam menarasikan ide-ide besar. Sebagai budayawan, yang pula telah malang
melintang di dunia tulis menulis, ais akan membawa pembaca hanyut dalam
perbincangan besar melalui narasi-narasi ringan, sederhana dan bersahaja.
0 komentar:
Posting Komentar