A.
Pendahuluan
Di dalam ajaran agama yang
diwahyukan ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan, pertama, jalan wahyu
dalam arti komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua jalan akal, yang
dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh
panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan.
Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar,
sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar
dan mungkin salah.
Makalah ini akan mencoba membahas
kedua hal tersebut. Sebuah topik pembahasan yang sarat dengan dialektika para
ulama, baik yang terdahulu hingga kini; sebuah telaah sederhana guna mencoba
memahami pemikiran-pemikiran ulama terdahulu yang telah terlebih dahulu hanyut
dalam perdebatan panjang.
B.
Definisi
Akal dan Wahyu
Kata akal yang sudah menjadi kata
Indonesia, berasal dari kata Arab al-aql yang dalam bentuk kata benda,
berlainan dengan al-wahy, tidak terdapat dalam Al-Quran. Al-Quran hanya
membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh dalam 1 ayat, ta’qilun 24
ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat dan ya’qilun 22
ayat. Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Kamus bahasa Arab Lisan Al-‘Arab
menjelaskan bahwa al-‘aql berarti al-hijr menahan dan al-‘aqil
ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Seterusnya diterangkan
pula bahwa al-‘aql mengandung arti kebijaksanaan, al-nuha, lawan
dari lemah pikiran, al-humq. Selanjutnya disebut bahwa al-‘aql
juga mengandung arti kalbu, al-qalb.
Arti asli dari kata ‘aqala
kelihatannya adalah mengikat dan menahan dan orang yang ‘aqil di jaman
jahiliah, yang dikenal dengan hamiyyah atau darah panasnya, adalah orang
yang dapat menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan
tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.[1]
Dalam pemahaman Profesor Izutsu
(Harun Nasution, 1986), kata ‘aql di jaman jahiliah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi
mpdern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity).
Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk
menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan
selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebijaksanaan
praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab jaman jahiliah.[2]
Wahyu sendiri berasal dari kata Arab
al-wahy, dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata
pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Di samping
itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-Wahy
selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat.
Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada
nabi-nabi”.
Dalam kata wahyu dengan demikian
terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan
kepada umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupun di
akhirat nanti. Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
SAW terkumpul semuanya dalam Al-Quran.[3]
C.
Kedudukan
Akal dan Wahyu dalam Teologi Islam
Teologi sebagai ilmu yang membahas
soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap tuhan, memakai akal dan
wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua hal tersebut. Akal, sebagai
daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada
diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada
manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap Tuhan.
Banyak terdapat dalam buku-buku
klasik tentang ilmu kalam yang membahas persoalan akal dan wahyu, keduanya
terkait dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah
pertama ialah soal mengetahui Tuhan dan masalah kedua soal baik dan jahat.
Masalah pertama bercabang menjadi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui
Tuhan yang dalam istilah Arab disebut husnul ma’rifah Allah dan wujud
ma’rifah Allah.[4]
Kedua cabang dari masalah kedua ialah: mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban
mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat atau ma’rifah
i’tinaq al-hasan wa ijtinab al-qabih, yang disebut al-tahsin wa
al-taqbih.[5]
Sederhananya seperti ini:
1.
Dapatkah
akal mengetahui adanya Tuhan?
2.
Kalau
ya, dapatkah akal mengetahui kewajiban berterimakasih kepada Tuhan?
3.
Dapatkah
akal mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat?
4.
Kalau
ya, dapatkah akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan wajib
baginya menjauhi perbuatan jahat?
Polemik yang terjadi antara
aliran-aliran teologi Islam yang bersangkutan ialah: yang manakah di antara
keempat masalah itu yang dapat diperoleh melalui akal dan mana melalui wahyu?
Masing-masing aliran memberikan jawaban-jawaban yang berlainan.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa
ke-empat masalah tersebut dapat diketahui akal, golongan Asy’ariah mengatakan
bahwa akal dapat mengetahui hanya satu dari ke-empat masalah itu, yaitu adanya
Tuhan. Menurut penjelasan Al-Asy’ari sendiri, semua kewajiban dapat diketahui
hanya melalui wahyu. Akal tak dapat menentukan Sesuatu menjadi wajib dan dengan
demikian tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi
perbuatan jahat adalah wajib. Selanjutnya ia mengatakan bahwa akal dapat
mengetahui adanya Tuhan, tetapi mengetahui tentang kewajiban terhadap Tuhan
diperoleh hanya melalui wahyu.
Jelas bahwa antara Mu’tazilah dan
Asy’ariyah terdapat perbedaan besar mengenai kesanggupan akal manusia. Kalau
bagi aliran pertama daya fikir manusia adalah kuat, bagi aliran kedua akal
adalah lemah.
Kaum Maturidiah Bukhara tidak
sefaham dengan Samarkand dalam hal ini. Bagi Bukhara hanya
pengetahuan-pengetahuan yang dapat diperoleh akal. Adapun kewajiban-kewajiban,
itu wahyulah yang menentukannya. Jadi yang dapat diketahui akal hanya dua dari
ke-empat masalah di atas, yaitu adanya Tuhan dan kebaikan serta kejahatan.
Jika diadakan perbandingan antara
ke-empat golongan ini akan dijumpai bahwa dua aliran memberi daya kuat kepada
akal, aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiah Samarkand dan dua aliran
memandang akal manusia lemah, aliran Maturidiah Bukhara dan Asy’ariah. Dan jika
diperinci lebih lanjut lagi Mu’tazilah memberi angka 4 kepada akal, Maturidiah
Samarkand memberi angka 3, Maturidiah Bukhara memberi angka 2, dan Asy’ariah
memberi angka 1. Uraian di atas menunjukkan bahwa akal mempunyai kedudukan
terkuat dalam pendapat Mu’tazilah dan terlemah dalam pendapat Asy’ariah.
Kalau demikian peranan akal dalam
soal keagamaan, timbul pertanyaan: apa jadinya fungsi wahyu? Pertanyaan ini
terutama dihadapkan kepada golongan Mu’tazilah dan maturidiah Samarkand yang
memberikan daya kuat kepada akal manusia.
Akal dalam pendapat Mu’tazilah dapat
mengetahui hanya garis-garis besar dari ke-empat masalah di atas. Akal, kata Al
Qadi ‘Abd Al-Jabbar, seorang pemuka Mu’tazilah dapat mengetahui
kewajiban-kewajiban secara umum, tetapi tidak sanggup mengetahui perinciannya,
baik mengenai hidup manusia di akhirat nanti, maupun mengenai hidup manusia di
dunia sekarang. Wahyu datang untuk menjelaskan perincian dari garis-garis besar
itu. Umpamanya akal dapat mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada
Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui cara dan perinciannya. Wahyulah yang
menjelaskan cara dan perincian kewajiban tersebut yaitu dalam bentuk salat lima
kali sehari. Zakat sekali setahun, puasa sebbulan setahun dan haji sekali
seumur hidup.
Selanjutnya tidak semua kebaikan dan
kejahatan dapat diketahui akal. Akal, kata Ibnu Abi Hasyim, seorang tokoh
Mu’tazilah lain, mengetahui kewajiban menjauhi perbuatan-perbuatan yang membawa
kemudaratan, tetapi ada perbuatan-perbuatan yang tak dapat diketahui akal
apakah membawa kebaikan atau kejahatan. Dalam hal demikian wahyulah yang
menentukan buruk atau baiknya perbuatan bersangkutan. Umpamanya akal mengatakan
bahwa meotong binatang adalah perbuatan tidak baik. Tetapi wahyu turun
menjelaskan bahwa menyembelih binatang untuk keperluan-keperluan tertentu, seperti
memperingati peristiwa keagamaan bersejarah, memperkuat tali persahabatan
dengan tetangga dan menunjukkan rasa kasih sayang kepada fakir miskin, adalah
baik.
Sejalan dengan pendapat ini kaum
Mu’tazilah mengadakan perbedaan antara qaba’ih aqliyah serta manakir
‘aqliyah perbuatan-perbuatan yang tidak baik menurut pendapat akal dan qabaih
syar’iyah serta manakir syar’iyah, perbuatan-perbuatan yang tidak
baik menurut wahyu. Juga mereka perbedakan antara wajibat ‘aqliyah serta
taklif ‘aqli kewajiban yang ditentukan akal, dan wajibat syar’iyah
serta taklif sam’i wajibat syar’iyah kewajiban yang ditentukan
wahyu.
Wahyu turun, di samping untuk
hal-hal di atas, juga untuk memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan
upah untuk memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan
diterima manusia kelak di akhirat. Al-Qadi ‘Abd Al-Jabbar menegaskan bahwa akal
tidak dapat mengetahui besar kecilnya pahala di surge dan hukuman di neraka
nanti. Menurut Al-Jubba’I wahyulah yang menjelaskan semua itu.
Jelas kiranya bahwa kaum Mu’tazilah,
sungguhpun mereka memberi daya yang kuat kepada akal, tidak membelakangkan
wahyu, tetapi tetap berpegang dan berhajat pada wahyu. Demikian pula kaum
Maturidiah Samarkand. Adapun Maturidiah Bukhara dan kaum Asy’ariah, bagi kedua
aliran ini fungsi wahyu lebih banyak dari padabegi kedua aliran di atas.
Bagi
mereka hanya wahyulah yang dapat menentukan wajibnya bagi manusia sebagai
makhluk untuk berterimakasih kepada sang Pencipta, hanya wahyulah yang dapat
menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk dan hanya wahyulah yang
dapat mewajibkan orang berbuat baik dan mewajibkannya menjauhi perbuatan jahat.
Akal tidak mempunyai peranan dalam hal-hal ini. Bagi Asy’ariah bahkan akal
tidak dapat mengetahui kebaikan dan kejahatan. Sekiranya tidak ada wahyu,
manusia tidak akan dapat membedakan antara apa yang baik dan apa yang buruk.
Dalam hubungan ini Al-Asy’ari menjelaskan bahwa berdusta adalah perbuatan jahat
karena wahyu menentukan demikian; sekiranya wahyu mengatakan berdusta adalah
perbuatan baik, maka itu mesti baik, dan jika berdusta diwajibkan Tuhan, maka
ia mesti bersifat wajib.
Pandangan berbeda-beda terhadap akal
dan wahyu sebagai diuraikan di atas membawa perbedaan pula dalam
pendapat-pendapat teologi dari aliran itu.
Akal melambangkan kekuatan manusia.
Karena akalnyalah maka manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan
makhluk lain di sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia bertambah tinggi
kesanggupannya untuk mengalahkan kekuatan-kekuatan makhluk lain itu. bertambah
lemah kekuatan akal manusia bertambah rendah kesanggupannya menghadapai
kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Sejalan dengan uraian ini, maka manusia dalam
pandangan Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand merupakan manusia yang kuat
sedang dalam pandangan Asy’ariah dan Maturidiah Bukhara manusia merupakan
makhluk lemah. Diungkapkan dengan kata-kata lain, kalau dalam paham aliran
pertama manusia merupakan dewasa dan dapat berdiri sendiri, dalam paham kedua
aliran lainnya manuia merupakan anak yang belum dewasa dan masih banyak
bergantung pada bimbingan orang lain.
Dalam perbandingan teologi memang
dikenal bahwa Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand termasuk dalam aliran yang
mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatannya
(qadariah-free will and free act) sedang kedua lainnya termasuk dalam
aliran yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dalam kemauan
dan perbuatannya (jabariah-predestination).[6]
Kaum Mu’tazilah, dalam membela faham
qadariah mereka, mempergunakan ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain:
“Siapa yang mau
(percaya) percayalah dan siapa yang mau (tidak percaya) janganlah ia percaya.” (QS, 18:96)
Kaum Asy’ariyah demikian juga
membawa ayat-ayat Al-Quran untuk memperkuat argumen rasional mereka. Umpamanya
ayat:
“Tuhan menciptakan kamu dan
perbuatan kamu.” (QS, 37:96)
Karena dianggap akal manusia
mempunyai daya besar, diperbandingkan dengan anggapan Al-Asy’ariah dan
Maturidiah Bukhara, aliran teologi Mu’tazilah mengambil bentuk rasionla yang
kerasionalannya lebih tinggi dari kerasionalan aliran-aliran lain. Dalam
memahami ayat-ayat Al-Quran Mu’tazilah lebih bayak memakai penafsiran majazi
atau metaforis dari pada penafsiran lafdzi atau letterlek. Sebagai umpama dapat
disebut ayat-ayat tajsim atau antropomorfis yang terdapat dalam
Al-Quran. Wajah TUhan ditafsirkan menjadi esensi Tuhan dan tangan Tuhan menjadi
kekuasaan Tuhan. Asy’ari sebaliknya lebih banyak berpegang kepada arti lafdzi,
yaitu wajah tetap berarti wajah dan tangan tetap berarti tangan, hanya wajah
dan tangan Tuhan berbeda dari wajah dan tangan manusia.
Demikian juga terdapat perbedaan
dalam pendapat-pendapat aliran-aliran itu tentang kekuasaan, kehendak, keadilan
Tuhan, perbuatan-perbuatan dan sifat-sifat Tuhan.[7]
Perlu ditegaskan bahwa semua aliran
teologi ini dalam memperkuat pendapat mereka masing-masing, di samping membawa
argumen-argumen rasional, juga membawa ayat-ayat Al-Quran dianggap belum cukup
kuat. Demikian juga semua aliran itu, termasuk Mu’tazilah, dalam pemikiran teologis
mereka, tidak menentang nas atau teks ayat. Semuanya tunduk kapada nas
atau teks Al-Quran; hanya nas itu diberi interpretasi yang sesuai dengan
pendapat akal. Perbedaannya hanyalah bahwa golongan Mu’tazilah memberikan
interpretasi yang sesuai dengan pendapat akal. Perbedaannya hanyalah bahwa
golongan Asy’ariah. Dengan kata lain, penafsiran Asy’ariah dekat kepada arti
lafdzi sedang penafsiran Mu’tazilah jauh dari arti lafdzi. Tetapi, bagaimanapun
semua aliran itu, termasuk Asy’ariah, mempergunakan akal dalam memahami
ayat-ayat Al-Quran.[8]
[1]
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1986, hlm 5-6.
[2]
Toshihiko Izutsu, Litt. D., God and Man in the Quran, Tokio, Keio
University, 1964, hlm. 65.
[3] Ibid, hlm. 15
[4]
Lihat al-Syahrastani, Kitab Nihayah al-Iqdam fi ‘Ilm al-Kalam
(selanjutnya disebut Nihayah) London, 1934, hlm.371.
[5]
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986. Hlm 81-82
[6]
Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
1986. Hlm. 97-111
[7] Ibid.
hlm. 112-139
[8]
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986. Hlm. 80-81
nice artikel
BalasHapusbaca juga http://makalah-uin.blogspot.co.id/2016/02/makalah-akal-dan-wahyu.html