Minggu, 16 Desember 2012

Awal Masuknya Islam ke Indonesia



Agama Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia. Tak terkecuali ke Indonesia. Ada banyak teori dan pendapat yang terdapat pada kisah masuknya ajaran Islam ke Indonesia. Berikut ini dipaparkan teori dan pendapat para sejarawan asal mula masuknya Islam ke Indonesia.  

      Masuknya Islam ke Indonesia

Masalah masuknya Islam ke Indonesia  dan dari daerah atau negara mana Islam datang, banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli sejarah. Pertama, Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7. Di antara ilmuwan yang menganut teori ini adalah, J.C. Van Leur, Hamka, Abdullah bin Nuh, D. Shahab dan T.W Arnold.

Menurut J. C. Van Leur, pada tahun 675 di pantai Barat Sumatera telah terdapat perkampungan Arab Islam. Dengan pertimbangan bangsa Arab telah mendirikan perkampungan perdagangannya di Kanton pada abad ke-4. Perkampungan perdagangan ini mulai dibicarakan pada tahun 618 M dan 628 M. Tahun-tahun berikutnya perkembangan perkampungan perdagangan ini mulai mempraktikan ajaran agama Islam. Hal ini mempengaruhi pula perkampungan Arab yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan di Asia Tenggara.


Sementara menurut T.W Arnold dan Hamka, Islam masuk ke Indonesia sudah terjadi sejak abad ke-7. Hal ini didasarkan pada kenyataan sejarah bahwa bangsa Arab sudah aktif dalam lapangan perniagaan laut sejak berabad-abad  pertama Masehi. Mereka telah lama mengenal jalur perdagangan laut  melalui Samudera Indonesia. Pendapat ini juga didukung oleh Abdullah bin Nuh dan D. Shahab. Mereka menyatakan bahwa sejak abad ke-7 sudah terjalin hubungan dagang antara Indonesia dengan dunia Arab.

Hal tersebut bukan saja dibuktikan oleh sudah adanya perkampungan perdagangan Arab di pantai Barat Sumatera, tetapi oleh tulisan-tulisan yang dikarang oleh penulis-penulis Arab yang mengindikasikan bahwa mereka sudah sangat mengenal lautan Indonesia. Di antara penulis-penulis Arab tersebut adalah Sulaiman (850 M), Ibnu Rusta (900 M) dan Abu Zaid. Mereka menjelaskan bahwa pelaut-pelaut Arab Islam telah mengenal sekali laut Indonesia. Selain itu dijelaskan pula bahwa bangsa Arab telah mengenal pertambangan timah yang dikuasai oleh Zabaj, yang menurut Sir Thomas W. Arnold adalah Sriwijaya.[1]

Teori kedua, menyatakan bahwa Islam datang di Indonesia pada abad ke-13. Di antara sejarawan yang menganut teori ini adalah C. Snouck Hurgronje dan Bernard H. M. Vlekke didasarkan pada keterangan Marcopolo yang pernah singgah beberapa lama di Sumatera untuk menunggu angin pada tahun 1292 M. Ketika itu dia menyaksikan bahwa di Perlak -di ujung utara pulau Sumatera- penduduknya telah memeluk agama Islam. Namun dia menyatakan bahwa Perlak merupakan satu-satunya daerah Islam di Nusantara ketika itu.[2]

Adapun asal daerah Islam Indonesia, paling tidak ada tiga pendapat. Pertama, berasal dari India. Menurut Pijnapel, Islam Indonesia berasal dari India, terutama dari Gujarat dan Malabar. Pendapat tersebut didukung oleh sejarawan Barat seperti, W. F. Stutterheim, J. C. Van Leur, T. W. Arnold Vlekke, Schrieke dan Cliford Geertz. Menurut W. F. Stutterheim dalam bukunya De Islam enZijn Komst in the Archipel, Islam di Indonesia berasal dari Gujarat dengan dasar batu nisan al-Malik al-Saleh yang wafat pada tahun 1297 M. 

Dalam hal ini beliau berpendapat bahwa relief nisan tersebut bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Sementara itu, Bernard H. M. Vlekke dalam bukunya Nusantara: A History of Indonesia, mengatakan bahwa nisan al-Malik al-Saleh selain mempunyai kesamaan dengan yang ada di Cambay, juga diimpor dari sana pula, karena Cambay merupakan pusat perdagangan Islam abad ke-13. Pendapat tersebut diperkuat dengan kenyataan sejarah yang lain yaitu persamaan ajaran mistik Islam di Indonesia dengan yang berkembang di India.[3]

Kedua, berasal dari Benggali (sekarang Bangladesh). Pendapat ini dikemukakan oleh S. Fatimi, seorang guru besar asal Pakistan. Dengan bersandar kepada pendapat Marcopolo dan Tome Pires, S. Fatimi menyimpulkan bahwa Kerajaan Samudera Pasai pasti berasal dari Benggali. Hal ini dikuatkan dengan terjalinnya hubungan niaga Benggali dan Samudera Pasai sejak zaman purba. Menurut Tome Pires, di samudera Pasai sendiri banyak orang-orang Benggali yang bermukim di daerah tersebut. Namun pendapat ini ditentang oleh Drewes dengan menggunakan pendekatan ajaran fiqih. Menurutnya, penduduk Benggali bermadzhab Hanafi, sementara penduduk Indonesia mayoritas Syafi’i.

Ketiga, berasal dari Arab. Pendapat ini dikemukakan oleh Crawfurd, Keyzer, Nieman, de Hollander, Syekh Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya yang berjudul Islam dalam Sejarah Kebudayaan Melayu dan mayoritas tokoh-tokoh Islam Indonesia seperti Hamka dan Abdullah bin Nuh. Bahkan Hamka menuduh teori yang mengatakan Islam datang dari Gujarat adalah propaganda, bahwa Islam yang datang ke Asia Tenggara itu tidak murni.[4]

Dari teori Islamisasi oleh Arab dan China, Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam Indonesia, mengaitkan dua teori Islamisasi tersebut. Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Penyebarannya pun bukan dilakukan oleh para pedagang dari Persia atau India, melainkan dari Arab. Sumber versi ini banyak ditemukan dalam literatur-literatur China yang terkenal, seperti buku sejarah tentang China yang berjudul Chiu Thang Shu. Menurut buku ini, orang-orang Ta Shih, sebutan bagi orang-orang Arab, pernah mengadakan kunjungan diplomatik ke China pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama menerima delegasi dari Tan Mi Mo Ni’, sebutan untuk Amirul Mukminin. Selanjutnya, buku itu menyebutkan, bahwa delegasi Tan Mi Mo Ni’ itu merupakan utusan yang dikirim oleh khalifah yang ketiga. Ini berarti bahwa Amirul Mukminin yang dimaksud adalah Khalifah Utsman bin Affan.[5]

Pada masa berikutnya, delegasi-delegasi muslim yang dikirim ke China semakin bertambah. Pada masa Dinasti Umayyah saja, terdapat sebanyak 17 delegasi yang datang ke China. Kemudian pada masa Dinasti Abbasiyah, ada sekitar 18 delegasi yang pernah dikirim ke China. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 Masehi, sudah terdapat perkampungan-perkampungan muslim di daerah Kanton dan Kanfu. Sumber tentang versi ini juga dapat diperoleh dari catatan-catatan para peziarah Budha-China yang sedang berkunjung ke India. Mereka biasanya menumpang kapal orang-orang Arab yang kerap melakukan kunjungan ke China sejak abad ketujuh. Tentu saja, untuk sampai ke daerah tujuan, kapal-kapal itu melewati jalur pelayaran Nusantara.

Beberapa catatan lain menyebutkan, delegasi-delegasi yang dikirim China itu sempat mengunjungi Zabaj atau Sribuza, sebutan lain dari Sriwijaya. Mereka umumnya mengenal kebudayaan Budha Sriwijaya yang sangat dikenal pada masa itu. Kunjungan ini dikisahkan oleh Ibnu Abd al-Rabbih, ia menyebutkan bahwa sejak tahun100 hijriah atau 718 Masehi, sudah terjalin hubungan diplomatik yang cukup baik antara Raja Sriwijaya, Sri Indravarman dengan Khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz.[6]

Lebih jauh, dalam literatur China itu disebutkan bahwa perjalanan para delegasi itu tidak hanya terbatas di Sumatera saja, tetapi sampai pula ke daerah-daerah di Pulau Jawa. Pada tahun 674-675 Masehi, orang-orang Ta Shi (Arab) yang dikirim ke China itu meneruskan perjalanan ke Pulau Jawa. Menurut sumber ini, mereka berkunjung untuk mengadakan pengamatan terhadap Ratu Shima, penguasa Kerajaan Kalingga, yang terkenal sangat adil itu.

Pada periode berikutnya, proses Islamisasi di Jawa dilanjutkan oleh Wali Songo. Mereka adalah para muballig yang paling berjasa dalam mengislamkan masyarakat Jawa. Dalam Babad Tanah Djawi disebutkan, para Wali Songo itu masing-masing memiliki tugas untuk menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Jawa melalui tiga wilayah penting. Wilayah pertama adalah, Surabaya, Gresik, dan Lamongan di Jawa Timur. Wilayah kedua adalah, Demak, Kudus, dan Muria di Jawa Tengah. Dan wilayah ketiga adalah, Cirebon di Jawa Barat. Dalam berdakwah, para Wali Songo itu menggunakan jalur-jalur tradisi yang sudah dikenal oleh orang-orang Indonesia kuno. Yakni melekatkan nilai-nilai Islam pada praktik dan kebiasaan tradisi setempat. Dengan demikian, tampak bahwa ajaran Islam sangat luwes, mudah dan memenuhi kebutuhan masyarakat Jawa.

Selain berdakwah dengan tradisi, para Wali Songo itu juga mendirikan pesantren-pesantren, yang digunakan sebagai tempat untuk menelaah ajaran-ajaran Islam, sekaligus sebagai tempat pengaderan para santri. Pesantren Ampel Denta dan Giri Kedanton, adalah dua lembaga pendidikan yang paling penting di masa itu. Bahkan dalam pesantren Giri di Gresik, Jawa Timur itu, Sunan Giri telah berhasil mendidik ribuan santri yang kemudian dikirim ke beberapa daerah di Nusa Tenggara dan wilayah Indonesia Timur lainnya.[7]

Proses masuknya Islam ke Indonesia ini (saluran Islamisasi) melalui berbagai pendekatan. Sedikitnya ada enam pendekatan yang dikemukakan oleh Uka Tjandrasasmita, yaitu: pendekatan perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian dan politik.[8]

Pendekatan perdagangan ini sangat menguntungkan karena diikuti oleh kaum elit/bangsawan yang ada pada waktu itu. Perilaku pedagang muslim yang sangat simpatik akhirnya menarik para bangsawan untuk memeluk ajaran Islam. Dengan modal status sosial (kekayaan) yang lebih baik dibanding masyarakat pribumi pada umumnya, menjadi daya tarik tersendiri bagi puteri-puteri bangsawan untuk menikah dengan saudagar-saudagar muslim, sehingga proses Islamisasi berjalan dengan cepat. Demikianlah yang terjadi dengan Raden Rahmat atau Sunan Ngampel dengan Nyai Manila dan Sunan Gunung Djati dengan Kawunganten.

Jalur lain adalah tasawuf, yaitu proses Islamisasi dengan mengajarkan teosofi dengan mengakomodir nilai-nilai dan budaya bahkan ajaran agama yang ada ke dalam ajaran Islam, dengan tentu saja terlebih dahulu dikodifikasikan dengan nilai-nilai Islam sehingga mudah dimengerti dan diterima. Kemudian melalui jalur kesenian dengan mengambil seni yang pada waktu itu sangat digemari rakyat dengan mengubah ke nuansa yang lebih Islami. Barangkali cara ini yang sering digunakan oleh Sunan Kalijaga seperti kesenian wayang.

Islamisasi juga dengan menggunakan pendekatan politik, yaitu dengan mengislamkan para raja terlebih dahulu. Hal ini karena pengaruh raja -secara politis- banyak menarik penduduk untuk masuk Islam. Sebagaimana yang terjadi di Jawa, Maluku, Sumatera, dan Kalimantan. Dan yang terakhir, melalui jalur pendidikan, yaitu dengan mendirikan pesantren yang kemudian disusul penyebarannya oleh para santri yang telah lulus dari pesantren.[9]

      Kesimpulan

Meski Islam datang pertama kali di kawasan Jazirah Arab, di mana pada tingkat tertentu pengaruh kehidupan tradisi Arab tidak bisa dihindari. Akan tetapi, memaksakan Islam yang sepenuhnya sesuai dengan budaya lokal masyarakat Arab itu jelas bukan menunjukkan nilai universal islam yang sebenarnya. Malah terkadang pemaksaan terhadap budaya Arab justru akan menyebabkan tercerabutnya masyarakat dari akar budayanya sendiri.

Oleh sebab itu, penting untuk disebutkan bahwa Islam yang kini menjadi agama mayoritas masyarakat Indonesia, merupakan hasil proses panjang pengalaman inkulturasi budaya –yang tentu saja- mengilustrasikan adanya sebuah dialektika intensif antara ajaran-ajaran inti Islam dengan tradisi dan tata nilai masyarakat Indonesia. Sehingga Islam tampak sebagaimana tradisi asli yang sulit dihilangkan begitu saja.

Maka, wajah Islam yang mengalami inkulturasi dengan sebuah tradisi tertentu akan mengandaikan dua hal yang menunjukkan tentang intensitas Islam sebagai agama universal. Pertama, interpretasi terhadap ajaran Islam akan dipahami sesuai dengan konteks zaman dan tempat di mana ia berkembang. Kedua, ajaran islam akan tampak lebih dinamis dan progresif dalam merespons tantangan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Dan dengan demikian, Islam dapat menjadi inspirator dalam setiap perubahan sosial sebuah masyarakat.    

Daftar Pustaka

-          Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan. 2001.

-          Edyar, Busman (Ed.). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Asatruss. Cet. II. 2009.


-          Huda, Nur. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2007.

-          Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam. Terjemahan Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999.


-          Shihab, Alwi. Membendung Arus. Bandung: Mizan. 1998
   
-          Suryanegara, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. 1998.


-          Thohir, Ajid. Studi Kawasan Dunia Islam: Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik. Jakarta: Rajawali Press. 2009.

-          Vlekke, H. M. Bernard. Nusantara Sejarah Indonesia. Terjemahan Samsudin Berlian. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Cet. IV. 2008.


-          Yatim, Badri. Sejarah Islam di Indonesia. Jakarta: Depag. 1998.



[1] Badri Yatim, Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag, 1998), cet. 1. h. 28-29.
[2] Ibid, h. 30.
[3] Bernard H. M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, (Jakarta:  Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), cet. Ke 4, h. 92.
[4] Edyar Busman dkk (Ed.), Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009), cet. Ke 2, h. 207.
[5] Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etno-Linguistik dan Geo-Politik, (Jakarta: Rajawali Prers, 2009), h. 395.
[6] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. (Bandung: Mizan, 2001).
[7] Ajid, Op. Cit., h. 397-398.
[8] Nur Huda, Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2007), h. 44
[9] Edyar, Op. Cit., h. 208

2 komentar:

Mengenai Saya

Foto saya
I am a longlife learner. Colleger of UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010, Faculty of Usul al-Din, Department of Theology and Philosophy.