“Ketakutan manusia adalah kekuatannya mengukur diri
sendiri.”
![]() |
Aku ingin suatu saat mengitari kota-kota besar di dunia pada malam hari. Tentu saja bersamamu, semoga, amin. |
Ini bukan tentang suporter fanatik Persebaya yang terkenal
anarkis itu. Bonek atau bondo nekat (bermodal nekat) merupakan istilah untuk pekerjaan
yang dilakukan dengan modal keberanian (baca. nekat). Aku masih belum percaya
kalau baru saja aku telah mengitari Ibukota Jakarta bersepeda motor seorang
diri. Sudahlah, walau aku tak percaya, tetap saja telah terjadi.
Manusia mempunyai kekuatan dalam dirinya. Aku selalu percaya
setiap manusia terlahir dengan potensi dan kans menjadi hebat, tak perduli dari
keluarga apa saja ia dilahirkan. Hanya saja kondisi kadang tidak mendukung sisi
terbaik seseorang tersebut termanfaatkan secara optimal. Selain itu, faktor
internal juga tentu saja punya andil besar dalam pengembangan kemampuan diri. Rasa
takut berlebihan, misalnya.
Kadang kala kita dihantui rasa takut melakukan sesuatu,
padahal sejatinya kita mampu mengerjakannya. Aku telah membuktikan hal tersebut
berkali-kali. Ketakutan perlu diminimalisir sebaik mungkin guna pencapaian-pencapaian
positif dalam kehidupan. Rasa takut yang berlebihan tak baik untuk perkembangan
berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari.
Aku baru saja tiba dari Taman Ismail Marzuki saat membuat
tulisan ini. Hatiku dipenuhi rasa syukur dan senang usai menjemput si Tembem
yang menonton pertunjukan wayang di sana. Awalnya aku takut. Di samping belum mempunyai
SIM, aku sama sekali belum tak tahu jalan mana yang harus kulalui untuk sampai
ke sana, ditambah lagi ingatanku tentang kecelakaan seorang perempuan hingga
berdarah-darah dan dilarikan ke rumah sakit dua hari lalu yang masih terngiang
jelas. Sepertinya jam terbangku masih perlu ditambah agar tahu lebih banyak
situasi dan kondisi ruas-ruas jalan di Ibukota.
Dalam berbagai hal yang kupikir sulit kukerjakan, sehingga
menimbulkan ketakutan, aku seringkali membuat semacam ‘jangkar’ terlebih dahulu
untuk mengobati rasa takut itu, misalnya dengan sebuah janji. “Pkek sms aja
ding. Oke. Tunggu di sana ya,” ujarku melalui pesan singkat. Padahal aku
tak tahu apakah aku bisa sampai atau tidak nanti di sana.
Ketakutan lazim bersemayam dalam benak manusia. Hal tersebut
tentu saja adalah hal wajar. Namun, ketakutan yang terlalu berlebihan jika
dipelihara maka pada akhirnya akan menjadi momok bagi diri sendiri. Aku sendiri
seringkali melihat kawan-kawanku harus terhenti dalam sebuah pencapaian
dikarenakan takut.
Karena bersumber dari dalam diri sendiri, maka tentu saja
cara mengobatinya pula harus dari dalam. Meskipun begitu, stimulus dari luar
tetap diperlukan. Di sepanjang jalan aku berusaha membunuh ketakutanku. Aku bagi ketakutan besarku menjadi bagian-bagian
kecil, lalu kudefinisikan, kemudian aku carikan jalan keluarnya. Meski hanya
simulasi, akhirnya aku merasa tentram. Semua berjalan baik-baik saja. Dengan mengatasi diri sendiri, aku bisa
mengatasi yang di luar diriku.
Tapi kemudian, aku berfikir lagi, apa yang membuatku tergerak
menghilangkan ketakutan itu? Rupanya, faktor eksternal juga berpengaruh
guna dalam menyelesaikan permasalahan dalam diri. Tentu saja, harus harmonisasi
antara sisi internal dan eksternal. Walaupun ‘diri’ yang menuntaskan
permasalahan di dalam sana, tapi tentu saja hal tersebut terjadi karena adanya
faktor dari ‘luar diri’.
Aku merasa senang bisa bersua lagi dengan Tembem. Mengingat senyumnya,
aku secara tiba-tiba memiliki dorongan kuat untuk menuntaskan permasalahan ketakutanku
‘merintis’ jalan. Dalam perjalanan aku tanpa henti merapal apa yang bisa kurapal,
mulai dari sholawat, memuji Tuhan, bernyanyi, bahkan berbicara seorang diri. Rupanya
semua instrumen dalam ‘diri’ akan bekerja dengan baik jika ada faktor di ‘luar
diri’ yang memantiknya. Pun sebaliknya, sisi pemantik dari ‘luar diri’ harus
dilanjutkan dengan upaya dari ‘diri’ untuk mau mengatasi segala kendala yang
ada.
“Ah, kalau nyasar, ya, tinggal tanya ke orang.”
“Biar aman, ya, pelan-pelan saja. Selesai, kan?”
“Polisi? Hello! jam segini? Polisi tidur sih, iya.”
Ketakutan itu suatu keniscayaan. Tapi bukan berarti harus
dibiarkan menjadi penghalang untuk sebuah pencapaian. Ketakutan dapat diatasi
dengan mengombinasikan apa yang ada dalam ‘diri’ dan di ‘luar diri’. Barangkali
inilah yang dimaksud oleh sebait lirik lagu Christian Bautista, “You make
believe there is nothing in this world I can not be”
Manusia itu terlalu berharga untuk harus tidak maju karena
dihantui rasa takut yang sejatinya dengan mudah dapat ia atasi. Kadang-kadang manusia
terlampau hebat mengukur diri, sehingga lupa bahwa pada pengukuran tersebut ia
sedang membatasi kemampuan diri sesungguhnya.
Dalam sebuah pencapaian, hanya bermodal nekat itu sebenarnya
sudah lebih dari cukup.
(03.46 WIB, Ciputat, 6 Desember 2012)
0 komentar:
Posting Komentar