Hari ini nuansa hatiku sedikit mendayu. Malam tadi, aku (dan
kawan-kawan) baru saja mengeliminasi beberapa anggota muda—kami menyebut mereka
dengan istilah caang, calon anggota. Delapan bulan bersama berada di bawah
naungan payung organisasi menyisakan banyak kisah.
Setiap manusia terlahir bersama kelebihan dan kekurangannya
tersendiri. Aku percaya teman-teman anggota muda yang tereliminasi mempunyai
kelebihan lebih dari pada teman seangkatan mereka, atau bahkan para pengurus.
Hanya saja, keterbatasanku sebagai pengurus untuk menguak kelebihan yang
terpendam itu membuat kami harus mengambil kebijakan tersebut.
Lagi pula, tenggang masa yang disediakan oleh mekanisme
periodesasi kampus dan organisasi meniscayakan keterlalu-lamaan ketika kami
semua harus menanti terkuaknya kelebihan-kelebihan mereka yang terpendam dan
meminta perhatian khusus, atau mungkin bukan di sinilah kelebihan itu layak
disemai. Dan di sana, hematku, masih terdapat keputusan-keputusan terdistorsi
oleh sentiment individual-emosional, bukan komunal-intelektual.
Sebenarnya aku sedikit gerah dengan istilah ini, mengingat
relasi sosial yang ada dalam konsepsi diksi tersebut, di negeri ini, sarat
dengan feodalisme. Bukannya munafik bahwa setiap manusia ingin dihargai, hanya
saja aku merasakan ketidaknyamanan hati ketika orang yang menghormati itu tidak
menyadari bahwa dirinya telah merendahkan dirinya sendiri; menumbuhkan budaya
menjilat; menciptakan stratifikasi sosial yang tidak proporsional dan
profesional. Kira-kira begitu.
Budaya feodal bangsa Indonesia benar-benar nyata dalam
kehidupan sehari-hari di negeri ini, bersemayam di bawah alam sadar
penduduknya, dan diproduksi kembali serta diajarkan turun temurun melalui berbagai
aspek, situasi dan kondisi. Berbagai pedoman moral, etika, agama yang
membincang tentang kesetaraan hak serta merta tereduksi dengan sendirinya dalam
pola relasi satu sama lain, tak terkecuali di organisasiku sendiri.
Jika bisa memilih, tentu keadaan akan lain. Aku tak pernah
bermimpi dan merencanakan hal ini sedari awal, bahwa aku harus berada di atas
mereka dan membuat mereka merasakan pengalaman tereliminasi. Aku dan mereka
sejatinya sama, hanya saja aku lebih dahulu berada di organisasi ini. Lantas,
hal tersebut bukanlah sebuah yang menjadikan mereka tidak bisa menjadi lebih
baik dari aku. Sekali lagi, aku percaya setiap manusia terlahir bersama
kelebihan dan kekurangannya.
Menjadi senior bukanlah sebuah tiket untuk seseorang bisa
memperlakukan orang lain seenaknya saja. Senior harus terbuka, tahan kritik dan
senantiasa berjiwa besar. Menjadi teladan, berintegritas dan bertanggung jawab
lebih serta senantiasa berupaya mengeluarkan sisi terbaik orang-orang yang
kebetulan saja secara struktural mereka atasi, dan tentu saja tidak pada aspek
lain, misalnya intelektual, moral, finansial.
Betapa banyak kehidupan orang terbentuk oleh sikap dan
perilaku yang mereka tiru dari orang lain, termasuk senior mereka di organisasi
di mana mereka berada guna mengembangkan bakat dan minatnya. Selain berfungsi
sebagai tauladan, senior juga, sedikit banyak, adalah sebagai objek guna identifikasi
sikap dan perilaku berkehidupan orang-orang sekitar mereka kelak.
Menjadi
senior itu memang bukan hal mudah. Itulah, menurutku, tantangan berat dalam
sebuah kehidupan berorganisasi. Lebih dari sekedar berburu waktu untuk menyelesaikan
rangkaian program kerja, berceloteh ria merapal kutipan-kutipan atau kata-kata
mutiara bak seorang rabi suci, dan lain sebagainya.
Aku tak tahu apa yang orang-orang kuatasi rasakan sekarang,
baik mereka yang masih bertahan maupun yang harus tereliminasi. Hanya saja jika
memang keputusan tersebut memberatkan sebagian pihak, kupikir tentu saja hal
itu niscaya, dan oleh sebab itu aku hanya bisa berharap suatu saat mereka kelak
merasakan berada di posisi yang sama. Senior.
Ah, baru saja aku kebingungan menutup mengaksarai perasaan
gundahku tentang mereka siang ini, handphoneku tiba-tiba berbunyi menyambut
sebuah pesan singkat:
Yadi:
“Asalam. . .
Ka gmn kbr.y ? ka sbelum.y yd minta mf kpada sluruh
pngurus, jika yd slama d lpm dah mnyusahkan atau pun yg tlah m’buat lpm menjadi
tercidrai. . . Tp ju2r yd sngat bangga kpada k2 semua, ..
Sekali lg yd minta mf bila tu2r kata, prilaku, atau pun
yg lain.y tlah mengusik k2 smua !
Wasalam. . .”
Aku:
“Iya Yadi. Aku juga minta maaf klw udh banyak salah. Aku
prcaya kmu psti lbih hebat dri yg lain. brngkali situasi n kndsi di sini aja yg
kurang mmbantu.
Aq hrap di luar sana kmu lbih baik. Tetap
smangat.silaturahmi ga boleh putus ya sama aku.”
Yadi:
“Ia bang siap!”
Aku:
“Okre. Manstap! Aku akan selalu kangen senyummu yg lebar
itu kawan. :D”
I hope all of you will be better outside there!
Bukan tentang apa yang kita pilih, tapi bagaimana kita memaknai sebuah pilihan. |
(Saung Bambu Ina,
Pesanggrahan, Ciputat, 27 November 2012)
0 komentar:
Posting Komentar