Perkembangan teknologi sangat
berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, tak terkecuali di bidang
pendidikan. Sistem ujian yang seringkali tidak mengadaptasi perkembangan
teknologi tersebut amatlah disayangkan. Dosen-dosen yang kurang mengikuti
perkembangan teknologi dengan baik, seringkali terjebak dengan pola lama dalam
memberikan ujian terhadap mahasiswanya. Akibatnya, aksi contek mencontek tak
dapat dihindari. Selain membunuh kreatifitas anak didik, kupikir, cara lama
membuat seseorang tidak berkembang. Baik dosen maupun mahasiswa.
Nanang Tahqiq, dosen Filsafat Islam-ku,
tidak termasuk kategori dosen tersebut. Sikapnya yang sangat egaliter membuat
nuansa belajar terang temaram. Pada saat UAS kemarin, ia dengan kreatif
memberikan kami tugas membuat biografi tokoh Islam di Indonesia, berikut
membedah ide pemikirannya. Indonesia mempunyai banyak tokoh keislamanan yang
tak kalah dengan tokoh-tokoh di luar negeri. Dituntut kreatifitas dan pemahaman secara individu dalam
mengerjakan tugas ujian dengan sistem seperti ini. Thankyou, Nanang Tahqiq.
Aku sendiri memilih tokoh Budhy
Munawar-Rachman karena kupikir apa yang diperjuangkannya sangat relevan dengan
kondisi masyarakat di Indonesia, bahkan dunia. Dalam beragama, seseorang
seringkali terjebak dengan aksi-aksi anarkisme, elitisme dan berbagai sikap
lain yang bermuara kepada disintegrasi sosial. Aku meyakini apa yang diusung
oleh Budhy sangatlah relevan memang terhadap situasi dan kondisi masyarakat di
masa yang akan datang. Mengingat semakin majunya perkembangan teknologi. Manusia
sepeti berada dalam satu desa kecil bernama bumi. Jika masing-masing umat
beragama tidak mampu menjalin komunikasi dan berinteraksi dengan baik, maka ada
baiknya pemikiran Budhy ini menjadi bahan telaah bersama. Pluralisme.
Tantangan
teologis paling besar dalam kehidupan beragama sekarang ini, adalah: bagaimana
seorang bisa mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain. Atau istilah
yang lebih teknis—yang biasa dipakai dalam literatur teologi kontemporer—bagaimana
bisa berteologi dalam konteks agama-agama.
Dalam
pergaulan agama, semakin hari kita semakin merasakan intensnya pertemuan
agama-agama itu—walaupun kita juga semakin menyadari bahwa pertemuan itu kurang
diisi dengan segi-segi dialogis antarimannya. Pada tingkat pribadi, sebenarnya
hubungan antartokoh-tokoh agama di Indonesia, kita melihat suasana yang semakin
baik, akrab, dengan keterlibatan yang sungguh-sungguh dalam usaha memecahkan
persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat, khususnya yang menyangkut
kemungkinan-kemungkinan disintegrasi bangsa akibat konflik-konflik SARA yang
berkepanjangan, sejak tahun-tahun belakangan ini.
Tetapi
pada tingkat teologis—yang merupakan dasar dari agama itu—muncul
kebingungan-kebingungan, khususnya menyangkut bagaimana kita harus
mendefinisikan diri di tengah agama-agama lain yang juga eksis, dan punya
keabsahan. Padahal teologi lama di set-up—dan sejarah kemudian
mengekstrimkannya—dalam suatu kondisi nonpluralitas: Bahwa hanya agamakulah
yang paling benar, yang lain salah atau telah menyimpang. Belum lagi soal
sosial-politik yang kadang, tiba-tiba memunculkan keregangan dan kekerasan,
seperti peristiwa-peristiwa yang meletus dalam penampakan konflik antaragama.
Berangkat
dari asumsi di atas, saya mengangkat Budhy Munawar-Rachman sebagai tokoh
pemikir keislaman di Indonesia. Meski bukan orang pertama dalam sejarah
pluralisme di indonesia, pergolakan pemikiran yang tokoh tersebut geluti selama
bertahun-tahun menghasilkan sintesa antara agama Islam dalam konteks
keindonesiaan dan filsafat bermuara kepada konsep pluralis. Makalah ini akan
mencoba mengambil pokok pemikiran tokoh pegiat pluralisme ini dari beberapa
buku hasil karyanya.
Sekilas Budhy Munawar-Rachman
![]() |
Budhy Munawar-Rachman |
Beliau
adalah pendiri Nurcholish Madjid Society (NMCS). Mendapat pendidikan S3 dalam
bidang filsafat pada STF Driyarkara. Selama 12 tahun (1992-2004) menjadi
Direktur Pusat Studi Islam Paramadina, yang antara lain mengkoordinasi seminar
bulanan Klub Kajian Agama (KKA), yang telah berlangsung sampai KKA ke-200.
Pernah
menjadi Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF, 1992-1995), dan pada
2004 mendirikan dan menjadi Direktur Project on Pluralism and Religious
Tolerance, Center for Spirituality and Leadership (CSL), yang di antara
misinya adalah menyebarluaskan gagasan pluralisme Nurcholish Madjid.
Mengajar
islamic studies pada Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dan
Universitas Paramadina. Menulis karangan dalam lebih dari 50 buku, di
antaranya, Islam Pluralis Fiqih Lintas Agama, Reorientasi Pembaruan
Islam (2010). Setiap hari pekerjaannya adalah merancang program-program
studi yang bertujuan membawa pesertanya kepada paham “Islam Pluralis”.[1]
Perbedaan Agama Sebagai Keniscayaan
“Pluralisme
tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk,
beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya
menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh
dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya
ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanaticism
at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the
bonds of civility).
Bahkan
pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara
lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna
memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang
melimpah kepada umat manusia. “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan
manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah
mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.” (QS, Al-Baqarah [2]:
251).[2]
Kutipan
panjang di atas merupakan sebentuk penegasan adanya masalah besar dalam
kehidupan beragama yang ditandai oleh kenyataan pluralisme dewasa ini. Dan
salah satu masalah besar dari paham pluralisme—yang telah menyulut perdebatan
abadi sepanjang masa menyangkut masalah keselamatan adalah bagaimana suatu
teologi dari suatu agama mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain.
Dalam
pergaulan antaragama dewasa ini, memang semakin hari kita semakin merasakan
intensnya pertemuan agama-agama. Pada tingkat pribadi, sebenarnya hubungan
antartokoh-tokoh agama di Indonesia, kita melihatnya suasana yang semakin
akrab, penuh toleransi, dengan keterlibatan yang sungguh-sungguh dalam usaha
memecahkan persoalan-persoalan hubungan antaragama yang ada dalam masyarakat.
Tetapi
pada tingkat teologis—yang merupakan dasar dari agama itu—muncul
kebingungan-kebingungan, khususnya menyangkut bagaimana kita harus
mendefinisikan diri di tengah-tengah agama lain yang juga eksis, dan punya
keabsahan. Dalam persoalan ini didiskusikanlah apakah ada keselamatan agama
lain? Pertanyaan ini sebelumnya berakar dalam pertanyaan teologis yang sangat
mendasar: apakah kita menyembah Tuhan yang sama? Dan repotnya, justru ketika
mencoba memahami konsep ketuhanan antaragama itu—dan kita menganggap bahwa yang
kita menyembah Tuhan yang sama—rupanya setiap agama mempunyai konsep ketuhanan
yang berbeda.
Pada
akhirnya berbagai pertentangan pun tak jarang dapat dielakkan, sehingga mengakibatkan
terjadinya disintegrasi sosial. Oleh karena itu, selain memahami ayat Al-Quran
di atas dengan baik bahwa perbedaan merupakan keniscayaan, kita juga perlu
mempelajari bagaimana sikap dalam perbedaan tersebut. Hal tersebut sebagaimana
telah ditegaskan dalam berbagai ayat Al- Quran, yaitu berbuat baik kepada orang
yang berbeda agama dan tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk
tidak menjalani hubungan kerjasama, lebih-lebih mengambil sikap tidak toleran.[3]
Tiga Sikap dalam Teologi Agama-Agama
Untuk
mendapatkan suatu pemahaman teologi pluralis, sangatlah penting mengerti segi
konsekuensial dari sikap keberagamaan kita: bahwa sikap keberagamaan kita
menentukan bagaimana pandangan kita terhadap agama-agama lain. dalam penelitian
ilmu-ilmu agama, paling tidak ada tiga sikap keberagamaan: yaitu eksklusifisme,
inklusifisme dan paralelisme. Paham pluralis, hanya bisa dibangun jika
seseorang itu secara teologis paling tidak inklusif; akan lebih baik kalau ia
menganut sikap paralelisme. Berikut ini akan dideskripsikan ketiga pandangan
teologis tersebut, dengan sedikit latarbelakang sejarah teologi umat Kristiani,
karena agama Kristiani adalah agama yang sangat panjang pengalaman sejarahnya
menyangkut isu ini.
Dan
dewasa ini, wacana pluralisme juga sangat hidup dalam tradisi pemikiran
Kristiani, khususnya era 90-an ini, di mana agama-agama lain, misalnya Islam,
bisa mengambil pelajaran dari pergumulan Kristiani.
Pertama, sikap ekslusif. Sikap ini merupakan
pandangan yang dominan dari zaman ke zaman, dan terus dianut hingga dewasa ini.
Bagi agama Kristiani inti pandangan ini adalah bahwa Yesus adalah satu-satunya
jalan yang sah untuk keselamatan. Akulah jalan dan kebenaran hidup. Tidak
ada seorangpun yanag datang kepada Bapa, kalau tidak melalui aku. (Yohanes
[14]:6).
Ayat di
atas dalam perspektif orang yang bersikap sering dibaca secara literal. Juga
ada ungkapan yang selalu jadi menjadi kutipan, “Dan keselamatan tidak ada di
dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak
ada nama lain—maka terkenallah istilah No Other Name!—yang diberikan
kepada manusia yang olehnya kita diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4, 12).
Sehingga istilah No Other Name! itu lalu menjadi simbol tentang tidak
adanya keselamatan di luar Yesus.
Untuk
contoh Islam, walaupun tidak ada semacam kuasa gereja dalam agama Kristen,
khususnya Katolik yang bisa memberi fatwa menyeluruh seperti contoh di atas,
banyak penafsir sepanjang masa menyempitkan Islam pada pandangan-pandangan
ekslusif, beberapa ayat yang biasa dipakai sebagai ungkapan ekslusivitas Islam
adalah:
Hari ini
orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut
kepada mereka, takutlah kepada-Ku. Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan
Ku-cukupkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu.[4]
Barangsiapa
menerima selain agama Islam (tunduk kepada Allah)maka tidaklah akan diterima
dan pada hari kiamat ia termasuk golongan yang rugi.[5]
Sungguh,
agama pada Allah ialah Islam (tunduk kepada-Nya).[6]
Kedua, sikap inklusif. Paradigma ini
membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvific presence) dan
aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelamatan dan
aktivitas sepenuhnya dalam Yesus Kristus. “Menjadi inklusif berarti percaya
bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani mengacu kepada Kristus…” begitu
kata Alan Race, The Anglican Chaplain pada Universitas Kent.[7]
Pandangan
yang paling ekspresif dari paradigma inklusif ini tampak pada dokumen Konsili
Vatian II, mempengaruhi seluruh komunitas Katolik sejak 1965. Dokumne yang
berkaitan dengan pernytaan inklusif berkaitan dengan agama lain, ada pada
“Dekalarasi tentang Hubungan Gereja dan Agama-Agama non-Kristiani” (Nostra
Aetate). Teolog terkemukan yang menganut pandan ini adalah Karl Rahner.
Pandangan-pandangan inklusifnya termuat dalam karya terbesarnya The
Theological Investigation yang berjilid 20, dalm “Christianity and the
Non-Christian Religions,” jilid 5. Problem yang diberikannya adalah bagaimana
terhadap orang-orang yang hidup sebelum karya penyelamatan itu hadair, atau
oang-orang sesudahnya tetapi tidak pernah tersentuh oleh Injil?
Di sini,
Rahner memunculkan istilah inklusif, the anonymous Christian (Kristen anonim),
yaitu orang-orang yang non-kristiani. Para “Kriten anonim” ini dalam pandangan
Rahner juga akan selamat, sejauh mereka hidup dalam ketulusan hati terhadap
Tuhan, karena karya Tuhan pun ada pada mereka, walaupun mereka belum pernah
mendengar Kabar Baik. Tetapi pandangan ini dikritik oleh paradigm pluralis,
sebagai membaca agama lain dengan kacamata agama sendiri.[8]
Dalam
contoh Islam juga sering dikemukakan misalnya istilah dari seorang filsuf
Muslim Abad XIV, Ibn Taimiyah yang—seperti Karl Rahner di atas—membedakan
antara orang-orang dan agama Islam umum (yang non-Muslim par exellence).
Kata Islam sendiri di sini diartikan sebagai “sikap pasrah kepada Tuhan”
Dalam
tafsiran mereka yang menganut paham yang disebut “Islam Inklusif” ini, mereka
menegaskan sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-islam
(ketundukan dan sikap pasrah), itu tidaklah berarti bahwa mereka dan
kaumnya menyebut secara harafiah agama
mereka al-islam dan mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Itu semua
hanyalah peristilahan Arab. Para nabi dan rasul, dalam da’wah mereka pada
dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing.
Kalangan
Islam inklusif menganut suatu pandangan bahwa agama semua nabi adalah satu.
“Para nabi adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun agama mereka
satu.” (Rasulullah Saw. Bersabda, “Aku adalah orang yang paling berhak atas
‘Isa putera Maryam dunia dan akhirat. Para nabi adalah saudara satu bapak, ibu
mereka berbeda-beda namun agama mereka satu”-- Bukhari). Mereka menganut
pandangan Al-Quran tentang adanya titik temu agama-agama (QS Ali ‘Imran [3]:
64), di mana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah (jalan
menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju
kebenaran).
Menurut
kalangan Islam inklusif ini, Allah memang tidak menghendaki adanya kesamaan
manusia dalam segala hal (monolitisme). Adanya perbedaan menjadi motivasi
berlomba menuju berbagai kebaikan; dan Allah akan menilai dan menjelaskan
berbagai perbedaan yang ada itu (QS Al Ma’idah[5]:48).
Ketiga, sikap paralelisme. Paradigma ini
percaya bahwa setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena
itu klaim Islam adalah satu-satunya jalan (sikap eksklusif) atau yang
melengkapi atau mengisi jalan yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak,
atau lebih tepat dikembangkan selebar mungkin, demi alasan-alasan teologis dan
fenomenologis.
Dalam
memahami paralelisme, ada tiga macam model.[9]
Pertama, Model Fisika, diambilnya contoh pelangi. Tradisi-tradisi
keagamaan yang berbeda adalah seperti warna yang tak terhingga, yang kelihatan
ketika cahaya putih jatuh di atas prisma. Setiap pengikut suatu tradisi, diberi
kemungkinan mencapai tujuan, kepenuhan dan keselamatannya dengan caranya
sendiri, tetapi sekaligus sebenarnya setiap warna (setiap agama) menyerap semua
warna lain, tapi sekaligus menyembunyikannya, karena ia memunculkan secara
ekspresif sebuah warna. Dalam Islam, pandangan filosofis seperti ini
dikembangkan oleh seorang Sufi Klasik Jalaluddin Rumi. Dewasa ini, pemikir
muslim yang mengembangkan tradisi pemikiran pluralisme Rumi adalah intelektual
Iran, Abdolkarim Sorous. Sorous banyak mempengaruhi pemikiran Islam Liberal di
Indonesia.[10]
Model kedua
Adalah Model Geometri: Invarian Tipologis. Model ini mengatakan bahwa agama
yang satu itu sama sekali berbeda dengan agama lain, bahkan tidak bisa
didamaikan, sampai ditemukan adanya satu titik (invariant) tipologis
yang tetap. Titik ini bisa lebih dari satu. Pandangan mengenai adanya kesatuan
transenden pengalaman religius manusia, misalnya, bisa menjadi contoh model
ini. Pada tingkat eksoteris, semua agama sebenarnya berbeda, tetapi ada satu
titik transendental (esoteris), tempat semua agama itu bertemu. Titik itu
adalah Tuhan. Pandangan ini sangat kuat dikembangkan oleh para pemikir Islam
penganut filsafat perennial.
Model
ketiga adalah model bahasa. Model ini menganggap bahwa setiap agama itu,
seperti sebuah bahasa. Setiap agama, seperti halnya bahasa, pada dasarnya
sepenuhnya lengkap dan sempurna. Sehingga tidak ada artinya, jika mengatakan
bahwa suatu bahasa (baca: agama) menyatakan lebih sempurna dari bahasa lainnya.
Karena itu, setiap perjumpaan agama-agama, bisa dianalogkan dengan perjumpaan
bahasa-bahasa. Di sini penerjemahan bisa menjadi medium. Penerjemah harus
menjadi pembicara dalam bahasa asing tersebut, dan dalam tradisi asing
tersebut. Ia harus menjadi juru bicara sejati dari agama tersebut. Ia harus
yakin akan kebenaran yang dibawanya, masuk ke dalam tradisi yang
diterjemahkannya.[11]
Kesimpulan
Islam
tidak menafikan pluralitas dalam masyarakat, biasa dikatakan bahwa pluralitas
atau keanekaragaman telah dianggap sebagai suatu yang sudah menjadi sunnatullah
(hukum Tuhan). Banyak di antara ayat Al-Quran yang mengandung nilai-nilai
pluralitas telah digali sisi hermeneutisnya, di antaranya QS. 49: 13, yang
artinya, “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.”
Berdasarkan
ayat Al-Quran ini dapat diketahui bahwa dijadikannya mahkluk dengan
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah dengan harapan agar satu dengan yang
lainnya dapat berinteraksi secara baik dan positif. Kepada masing-masingnya
dituntut dapat berinteraksi untuk dapat menghargai adanya perbedaan.
Sikap
kaum muslim kepada penganut agama lain jelas, sebagaimana ditegaskan dalam
Al-Quran, yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak menjadikan perbedaan agama
sebagai alasan untuk tidak menjalani hubungan kerjasama, lebih-lebih mengambil
sikap tidak toleran.
Pemikiran
yang diperjuangkan oleh Budhy Munawar-Rachman sangat relevan guna melestarikan
keberlangsungan hidup yang harmonis penduduk Indonesia. Diperlukan sikap
inklusifisme dan atau paralisme dalam beragama dalam menopang perbedaan
beragama sesama umat manusia. Sikap ekslusifisme bertentangan dengan
keniscayaan bahwa perbedaan merupakan kehendak Tuhan.
Sumber
referensi:
- Al Quran Al-Karim
- Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis,
Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
- Budhy Munawar-Rachman, Islam dan
Liberalisme, Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung, 2011.
- Nurcholish Madjid, “Masyarakat Madani dan
Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan”, Republika 10
Agustus 1999.”
- Humaidy Abdusami dan Masnun Tahir, Islam
dan Hubungan Antaragama (Wawasan untuk Para Dai), Yogyakarta: Lkis, 2007.
[1]
Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 601
[2]
Nurcholish Madjid, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan
Kemungkinan”, Republika 10 Agustus 1999.”
[3]
Humaidy Abdusami dan Masnun Tahir, Islam dan Hubungan Antaragama (Wawasan
untuk Para Dai), Yogyakarta: Lkis, 2007, hlm. 117.
[4] QS
Al-Ma’idah [5]: 3.
[5] QS
Ali ‘Imran [3]: 85.
[6] QS
Ali ‘Imran [3]: 19.
[7]
Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis, hlm. 58.
[8]
Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis, hlm. 59.
[9] R.
Panikkar, The Intra-Religious Dialogue, hlm. xiv-xxviii.
[10]
Budhy Munawar-Rachman, Islam dan Liberalisme, Jakarta: Friedrich Nauman
Stiftung, 2011, hlm. 210.
[11]
Budhy Munawar-Rachman, Islam dan Liberalisme, hlm. 211.
0 komentar:
Posting Komentar