Libur semester sedang berlangsung. Suasana kampus lebih lengang dibanding hari-hari aktif perkuliahan. Beberapa mahasiswa ada telah pulang ke kampung halamannya masing-masing, memanfaatkan waktu dengan bekerja mencari nafkah, ada pula pula yang memanfaatkan waktu liburan mengambil kursus bahasa. Aku sendiri masih aktif menggiati rutinitas sebagai anggota unit kegiatan mahasiswa, lembaga pers mahasiswa, Institut. Mempersiapkan resolusi guna menyambut semester depan.
Nilai ujian akhir semester satu per satu mulai ‘nongol’. Sebenarnya sih nggak terlalu penting, tapi entah kenapa hati ini sedikit terusik menanti kehadirannya (apaan sih, mat?). Nilainya baik-baik saja, seperti biasa, didominasi huruf A. Sudahlah, nilai formatif seperti itu bukan standar utama yang menunjang kesuksesan seseorang kelak.
![]() |
Seseorang dapat belajar kapan dan di manapun ia berada, kampus hanyalah salah satu wadah tempat belajar. |
Waktu senggang itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin, sebelum tiba masa sibuk. Memanfaatkan waktu senggang adalah menyelamatkan diri sendiri. Tidak ada sesuatu yang lebih membunuh selain waktu kosong yang tak dimanfaatkan untuk untuk melakukan apa-apa. Benar kata pepatah, waktu itu bagai pedang.
Libur semester kali ini, aku memanfaatkannya dengan membaca beberapa buku. Kali ini aku tengah menyeksamai karya Karen Amstrong, “Sejarah Tuhan, Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia”, “Filsafat Bahasa” (Jurnal Driyarkara, Th xxxi, no.2), “Menemukan Makna Hidup” (Djohan Effendi, 2001), “Menapak Jejak Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (Komodo Books, 2012)”, “dari Wisata Bahasa hingga Sastra Selangkangan (Pustaka Larasan, 2009)”, dan beberapa buku bacaan kecil lainnya.
Seorang dosenku pernah berpesan, seorang mahasiswa itu minimal harus membaca 5000 buku di luar mata kuliah yang ia pelajari. Jika tidak, ia bukanlah mahasiswa, melainkan hanya seorang gelandangan yang mengklaim diri sebagai mahasiswa. ‘Maha’ dan ‘siswa’ itu dua paduan kalimat yang memiliki arti tidak sederhana. Dua kalimat tersebut memuat nilai-nilai intelektualitas, kritis, transformatif dan progresif.
Kupikir, kehidupan di kampus itu serupa dengan berada di toko buku. Ada banyak pilihan berdasarkan orientasi kehidupan seseorang. Syukur kalau masih bisa memilih, artinya orang tersebut mempunyai kesadaran atau inisiatif menentukan dirinya. Sebab, ada saja beberapa mahasiswa yang kuperhatikan tidak mampu memilih. Bahkan saat hari-hari wisudanya tinggal menghitung waktu. Baik pada sisi akademis, maupun organisasi.
Belajar itu perlu suasana santai dan nyaman sehingga pelajaran mudah dicerna. Suasana kelas yang terlalu mengekang mahasiswa itu, kupikir, kurang baik. Suasana belajar di kelasku sendiri bergonta-ganti. Sesuai dengan karakter dosennya. Sesesali tegas, formal, tak jarang sangat rileks, informal, dan sangat permisif. Ada dosen yang sangat baik sekali dalam memberi nilai, “Saya percaya kalian pasti bisa lebih baik dari sekadar ujian yang saya berikan,” kata seorang dosenku. Ada juga yang sangat pelit, “Yang boleh dapat nilai A itu hanya Tuhan,” candanya.
Sesekali kutengok mata kuliah yang akan kupelajari semester depan. Kelihatannya menarik. Tidak banyak, hanya tujuh mata kuliah dalam satu semester, yakni: Aliran Kepercayaan, Filsafat Barat Kontemporer, Filsafat Cina, Tasawuf Pasca Ibnu ‘Arabi, Ilmu Kalam Kontemporer, Filsafat Islam Pasca Ibn Rusyd, dan Pemikiran Modern dalam Islam di Indonesia. Dari mata kuliahnya tampak tiga landasan pokok fakultasku, yakni, teologi, filsafat, dan tasawuf.
Sampai di sini, aku berkesimpulan bahwa tantangan terbesar dalam mengarungi dunia kampus adalah mengatasi diri sendiri. Tidak mungkin melakukan perubahan di luar sebelum melakukannya dari diri sendiri. Terkadang, ada banyak hal yang ingin kulakukan, tapi apalah daya waktu tak cukup melakukan semuanya. Belajar dari kesalahan orang lain sangatlah perlu. Terjatuh itu wajar, asal jatuh pada lubang yang sama.
Bertualang di dunia filsafat itu mengagumkan. Beberapa kali aku dibuat terkesima oleh pemandangan-pemandangan yang ada pada semestanya. Sangat luas. Lebih luas dari yang pernah aku duga. Kata-kata tak cukup memotret pemandangannya. Ini adalah perjalanan tanpa henti, dinamis, terus bergerak. Membongkar saraf-saraf pemikiran yang selama ini kuanggap telah mapan.
Duh, Tuhan, ihdinii shiratal mustaqiim…
![]() |
Situ Gintung, "Berkontemplasi beberapa saat itu lebih baik daripada beribadah seribu tahun." |
0 komentar:
Posting Komentar