Sabtu, 27 April 2013
Prof. Dr. H.M. Rasjidi
Prof. Dr. H.M. Rasjidi (1915-2001) |
Biografi Singkat
H. M. Rasjidi, lahir pada tanggal 20 Mai 1915 di Kota Gede, Yogyakarta. Gelar Ph. D diraih dari Universitas Sorbone, Perancis tahun 1956. Pada awal revolusi, aktif dalam dunia politik (diplomatik). Pernah menjadi Duta Besar di Pakistan dan Menteri Agama RI pertama. Atas jasa-jasanya itulah, tahun 1989, ia mendapat anugerah Bintang Maha Putra Utama dari Pemerintah RI. Selain itu, ia juga aktif mengajar menulis buku dan artikel di berbagai media massa.
Eksistensialisme, Sebuah Narasi Mungil
Istilah “eksistensi” berasal dari akar kata ex-sistere, yang secara literal berarti bergerak atau tumbuh ke luar. Dengan istilah ini hendak dikatakan oleh para eksistensialis bahwa eksistensi manusia (apakah itu terdapat dalam seni, filsafat, atau psikologi) seharusnya dipahami bukan sebagai kumpulan substansi-substansi, mekanisme-mekanisme, atau pola-pola statis, melainkan sebagai “gerak” atau “menjadi”, sebagai sesuatu yang “mengada.” Eksistensi menunjuk kepada kehadiran pribadi yang mengada atau menjadi.
Sesungguhnya, eksistensialisme tidak senantiasa mengacu kepada upaya ‘penyingkiran’ Tuhan. Eksistensialis, bahkan oleh banyak filsuf yang beragama, Islam misalnya, merayakan paham eksistensialisme, hanya saja mereka pada akhirnya berkompromi dengan Dzat Maha Agung, Tuhan. Muhammad Iqbal (1877-1938), misalnya.
Tarik Ulur Posisi Ideologi Agama dalam Negara
Sebuah analisis terhadap bab “Hubungan antara Kalangan Modern Islam dengan Kalangan Kebangsaan yang Netral Agama (hal. 338-344)” dari buku “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942”, karya Deliar Noer, terbitan LP3ES.
Bersatu dalam Perbedaan |
Tulisan
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Pramoedya Ananta Toer)
Jacques Derrida (1930-2004) |
Tulisan dianggap sebagai racun, menghancurkan ingatan sejati, dan tak murni karena telah terkotori oleh mediasi—tak seperti ucapan (lisan) yang diyakini mewakili langsung emosi dan maksud pembicara. Derrida ‘menyelamatkan’ tulisan. Teks adalah ingatan tandingan—dan Derrida sekaligus menggiring masing-masing kita ke dalam perjalanan menuju Kebenaran yang hampir pasti tak diketahui di mana letaknya, namun ia ada.
Langganan:
Postingan (Atom)
IG: @rakastambol
Mengenai Saya
- Rahmat Kamaruddin
- I am a longlife learner. Colleger of UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010, Faculty of Usul al-Din, Department of Theology and Philosophy.