“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” (Pramoedya Ananta Toer)
![]() |
Jacques Derrida (1930-2004) |
Tulisan dianggap sebagai racun, menghancurkan ingatan sejati, dan tak murni karena telah terkotori oleh mediasi—tak seperti ucapan (lisan) yang diyakini mewakili langsung emosi dan maksud pembicara. Derrida ‘menyelamatkan’ tulisan. Teks adalah ingatan tandingan—dan Derrida sekaligus menggiring masing-masing kita ke dalam perjalanan menuju Kebenaran yang hampir pasti tak diketahui di mana letaknya, namun ia ada.
![]() |
Jean-Paul Sartre (1905-1980) |
Sebuah peribahasa Kota Daeng berbunyi, “Eja pi nikana doang”, seseorang baru dapat dikenali atas karya dan perbuatannya, sungguh sangat berkaitan erat dengan para penulis di berbagai belahan dunia, dan kita kenal Pram. Tujuh tahun lalu Pram telah pergi menuju melanjutkan perjalanannya ke alam primordial. Sebagai anak bangsa yang turut serta menyaksikan realitas kelam sejarah bangsa yang berkelindan misteri ini, ia menghadirkan jejak realitas sejarah yang hilang dan tak hadir tentang narasi bangsa dalam bentuk lain, tulisan. Pram menolak lupa atas peristiwa kelam realitas bangsa yang tertutup oleh sepatu lars dan senapan rezim penguasa.
![]() |
Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) |
Pram adalah, meminjam Sartre, adalah kesadaran ĂȘtre-pour-soui, ada-begitu-saja, bagi kita sebagai kesadaran etre-pour-soi, ada-bagi-dirinya. kesadaran yang berkelindan satu sama lain dengan menegasi guna memperkaya khazanah sebuah eksistensi kesadaran: kesadaran sebagai anak bangsa dalam sebuah pergulatan panjang negerinya menemukan keadilan, kesadaran yang menolak bergeming menyaksikan rezim tak berhati nurani semarak dengan laku kuasa dan semena-mena yang disalahgunakan, kesadaran yang memprasasti realitas ke dalam barisan kata sebagai perlawanan atas lupa, sebagai ingatan tandingan yang tak lekang oleh zaman.
0 komentar:
Posting Komentar