![]() |
Nilai atau ilmu? |
Tak terhitung sudah aku melihat orang-orang dengan kemampuan akademik di atas rata-rata hanya menjadi 'bawahan'. Jurusan elit pun juga bukan jaminan. Dulu aku pernah berkenalan dengan seorang satpam di salah satu bank. Ia bertitel SE!
Hal tersebut kukira memang galib dijumpai. Realitas paradoks di Indonesia yang harus dihadapi dengan lapang dada sembari berujar "Ya!".
Usai mempresentasikan makalah hasil pembacaanku terhadap Wittgenstein II, Rabu (5/6), berjudul "Language Games: Sebuah Upaya Memahami Al-Qur'an", kulihat dengan mata kepalaku sendiri Pak Dosen memberi nilai ujian akhir semester ini A.
Anggapanku bahwa nilai bagus itu biasa saja--nggak penting, sehingga bukanlah suatu hal yang istimewa, sedikit luntur karena aku merasa senang sekali.
Yang membuatku senang sebenarnya bukan nilai yang diberikannya, tapi karena ternyata apa yang kupahami dari pembacaan tersebut, menurutnya, sudah tepat. Bahkan ia tampak bungah melihat mahasiswanya yang nakal ini mengaitkan teori Barat tersebut dengan Islam.
"Ini kamu yang bikin sendiri?," tanyanya.
"Iya, Pak"
"Wah. Boleh juga nih judulnya. Silakan dimulai prsentasinya."
Satu semester ini, menyeksamai pemikiran pendekar-pendekar postmodernisme seperti Wittgenstein, Rorty, Foucault, Badiou, dan Derrida itu menggemaskan sekaligus menjengkelkan (karena tak mudah) tapi membuatku ketagihan. Meski kemudian, untuk saat ini, memang tak sepenuhnya masih belum sanggup kucerna.
"Saya siap membimbing kamu kalau judul ini mau ditindaklanjuti," ujarnya.
Pak Fariz Pari adalah salah satu orang unik yang pernah kujumpai dalam hidup. Pembawaannya sederhana, kalem, dan murah senyum. Kekuatan yang ada dalam pola mengajarnya menurutku ada dua:
Pertama, kemampuannya menyampaikan dengan sederhana teori-teori filsafat yang rumit sekaligus njelimet ke dalam bahasa ringan. Ia mampu memberikan contoh aplikatif dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kesederhanaan itulah kehebatannya.
Kedua, kemampuan ia membaca kemampuan mahasiswa. Menurutku, banyak dosen yang jika tak hati-hati dalam mendidik justeru akan menjerumuskan murid didiknya, mengerdilkan kemampuannya, dan memakin menutupi skillnya yang terpendam. Sistem belajar dan ujian yang dilakukan oleh dosenku satu ini beda dengan dosen-dosenku yang lain.
Begini cara ujian yang ia terapkan: masing-masing mahasiswa diberi kesempatan memilih topik perkuliahan apa yang diminati, lalu kemudian disila membuat makalah tentang topik itu lalu mempresentasikannya sesuai dengan pemahaman masing-masing. Guna memantau pemahaman mahasiswa tersebut sesekali ia bertanya, menyuruh membuatkan contoh, bahkan sesekali mendebatnya.
Alhasil, mahasiswa yang tak paham dengan baik akan ketahuan. Peluang untuk contek mencontek, copas, dan kecurangan lainnya sangat kecil. Selain itu, kemampuan mahasiswa terpacu dengan sendirinya.
Di sini aku akan membincang sedikit tentang makalah yang kusampaikan:
Al-Quran dan Proses Pemaknaan
Al-Quran senantiasa menjadi landasan utama bagi sebagian besar umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Baik sebagai landasan yuridis, historis, dan filosofis. Dalam memahami Al-Quran sejarah mencatat berbagai cara dan pendekatan yang dilakukan umat Islam untuk menguak sisi-sisi rahasia dari kita sucinya tersebut. Seringkali proses pendekatan yang berbeda tersebut melahirkan perbedaan-perbedaan pula. Dalam konteks disiplin fiqh, misalnya, yang banyak melahirkan perbedaan dalam aspek hukum yang disebabkan pendekatan gramatikal bahasa Arab.
Dalam Islam sendiri pertentangan tersebut tercatat dalam sejarah dengan baik. Mulai dari golongan Mu’tazilah dan Sunni, ahli mantiq, mufassir, ahli hadits, ahli fiqh dan kalangan yang dari luar Islam sekalipun misalnya para ilmuwan, saintis, pakar linguistik, filsuf. Masing-masing menghadirkan makna-makna yang baru dari proses pemahaman mereka terhadap kitab suci tersebut, Al-Quran.
Interaksi Al-Quran dengan berbagai macam pendekatan dan teori semakin menyingkap rahasia-rahasia yang terdapat di dalamnya. Barat sebagai pusat kemajuan di jaman modern kini tak luput dari interaksi tersebut. Beberapa orang Islam yang menimba ilmu di Barat seringkali menggunakan pendekatan-pendekatan yang diperoleh dari Barat guna menafsirkan Al-Quran. Alhasil, Al-Quran menjadi semakin hidup dan dinamis karena dari situlah berbagai wacana terlahir.
Wacana baru tersebut adakalanya disambut dengan penuh antusias oleh umat Islam. Tak jarang hal tersebut juga dipandang penuh sinis karena dianggap membongkar kemapanan tradisi, tak sesuai dengan kaidah Islam, bukan produk Islami. Anggapan tersebut tentu saja merupakan suatu hal yang wajar, mengingat perbedaan-perbedaan yang ada memang berangkat dari perbedaan tradisi, corak berfikir, landasan epistemologi. Hal tersebut membuktikan kekayaan rahasia yang ada dalam Al-Quran. Semakin ia gali, semakin ia mengeluarkan makna-makna baru.
Language Game: Sebuah Cara Memahami Bahasa Al-Quran
Di dalam Philosophical Investigation Wittgenstein menegaskan bahwa tidak mungkin bahasa digunakan hanya untuk satu tujuan saja, misalnya hanya untuk menetapkan keadaan-keadaan faktual. Untuk menopang penegasannya itu, Wittgentein memperkenalkan istilah tata permainan bahasa (language games), yakni jenis-jenis permainan bahasa yang banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki peraturannya sendiri sesuai dengan konteks masyarakat penggunanya, seperti memberi perintah, berterima kasih, bersenda gurau, melaporkan sesuatu, berdoa memberikan kuliah, atau bermain drama. Pelbagai macam permainan bahasa, dengan demikian, juga juga bukan ditentukan oleh kategori metafisik, melainkan oleh penggunaan gramatikal dalam hubungannya dengan pelbagai ekspresi, emosi, kondisi, situasi, tujuan, dan harapan dalam permainan bahasa itu sendiri.
Sebagaimana halnya tiap-tiap permainan merupakan suatu aktivitas, bahasa juga merupakan suatu aktivitas. Hal ini berarti kata-kata yang digunakan akan mendapat maknanya dalam aktivitas tata permainan bahasa. Oleh karena itu, makna suatu kalimat selalu bergantung pada bagaimana kata-kata di dalam kalimat tersebut digunakan. Dalam ungkapan lain, menurut Wittgenstein, makna bahasa adalah penggunaannya dalam hidup. Bahasa dalam pengertian ini hendaknya tidak kita maknai sebagai bahasa yang digunakan oleh pelbagai bangsa dan suku bangsa, seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Perancis, atau bahasa-bahasa lain yang oleh para penganut empirisme-strukturalistik “hanya” dianggap sebagai suatu sistem tanda dan aturan yang berubah-ubah secara gramatikal.
Menurut Wittgenstein, bahasa dalam pengertian ini adalah bahasa universal, bahasa yang digunakan oleh manusia dalam pelbagai konteks kehidupan. Melalui tata permainan bahasa, Wittgeinstein juga menyinggung tugas filsafat yang dikatakannya harus menyelidiki permainan-permainan bahasa yang berbeda-beda itu, menunjukkan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya, dan menetapkan logikanya.
Dalam menganalisis bahasa atau menganalisis isi pesan komunikasi, Wittgenstein pun memberi catatan khusus: kita tak perlu mendasarkan mendasarkan diri lagi pada logika formal atau logika matematis, tetapi justru harus lebih memahami bagaimana menggunakan bahasa biasa, takni bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hubungan ini, sekalipun subjek dimiungkinkan terlibat di dalamnya, menurut Wittgenstein, tidak berarti filsafat boleh ikut campur tangan dalam pembentukan suatu permainan bahasa. Filsafat hanya melukiskan berfungsinya bahasa dan dengan cara itu sering kali masalah-masalah etis dapat dipecahkan. Melalui Philosophical Investigation, Wittgenstein kentara sekali hendak menekankan perihal berbahasa dalam konteks.
Menurut Wittgenstein, bahasa mempunyai bermacam-macam penggunaan dan kita perlu menyelidiki bagaimana kata-kata kunci dan ekspresi-ekspresi berfungsi dalam bahasa sehari-hari, yakni bahasa biasa bukan logika. Dengan menggunakan bahasa kita bermain dengan bermacam-macam permainan, yaitu ketika kita berlatih suatu cara bahasa (discourse) kepada orang lain. Dalam bahasa permainan, kata-kata bisa dipakai untuk memerintah, menjelaskan suatu persoalan, bertanya, dan lain-lain. Pada pokoknya, bahasa seperti dunia lain, ada jenis permainan, alat, arena, wasit, dan peraturan permainannya. Kata benda memainkan fungsinya, begitu juga kata perintah dan kata tanya.
Karena dalam sebuah permainan ada aturan, maka dalam permainan bahasaa pun ada aturannya. Kesalahan makna yang digunakan oleh seseorang adalah karena ia tidak memperhatikan aturan dalam permainan bahasa. Dalam penggunaan sehari-hari, bahasa memiliki keanekaragaman (pluriformitas), maka konsekuensinya aturannya pun bermacam-macam. Nah, di situlah makna suatu ungkapan bersinggasana, sebagai meaning is use.
Kekacauan akan timbul manakala kita menerapkan aturan permainan bahasa yang satu ke dalam bentuk permainan yang lain. Merupakan sesuatu yang logis jika kita menentukan aturan umum yang dapat merangkum pelbagai bentuk permainan bahasa. Tapi itu suatu yang sangat mustahil dilakukan. Di situ sangat kentara perbedaan antara Wittgenstein I (Tractatus) dan Wittgenstein II (Philosophical Investigations). Jika pada periode Tractacus ia berpendapat bahwa kalimat mendapat maknanya hanya dengan satu cara, yaitu dengan cara mengembalikan pada bahasa logika, sedangkan dalam periode Philosophical Investigations pendapat Wittgenstein justeru sebaliknya, ia kembali mengikuti jejak Moore.
Bagi Wittegenstein, pada periode ini, kalimat akan mendapat maknanya dalam kerangka acuan language games, yaitu pada banyaknya penggunaan kalimat dalam bahasa sehari-hari. “Makna sebuah kata bergantung penggunaannya dalam kalimat, sedangkan makna kalimat bergantung penggunaannya dalam bahasa”. Begitulah kata Wittgenstein. Dengan kata lain, makna kata-kata sangat bergantung pada situasi, tempat dan waktu digunakannya kata-kata itu memiliki fungsinya masing-masing sesuai pemakaiannya. “Look at the sentence as an instrument, and its sense as its employment,” tegas Wittgenstein.
Sebenarnya, dengan language games itu Wittgenstein hendak menunjukkan tentang kesalahan dan sekaligus kelemahan dari filsafat yang telah dipraktikkan oleh banyak filosof. Dengan demikian, filsafat Wittgenstein adalah berfungsi sebagai terapi. Ini berbeda dengan periode Tractatus, ia mengatakan bahwa tugas filsafat adalah sebagai alat untuk menjelaskan realitas yang bersifat faktual.
Tugas filsafat, kata Wittgenstein, sebaiknya tidak menerangkan apa-apa. Filsafat sekali-kali tidak boleh campur tangan dalam penggunaan bahasa factual, ia hanya dapat melukiskan pemakaian itu. Filsafat juga tidak dapat memberikan pendasaran pemakaian bahasa itu. oleh filsafat segalanya dibiarkan seperti apa adanya (It leaves everything as it is). Cukuplah hanya dibuat deskripsi-deskripsi sederhana. Dengan demikian filsafat dapat berfungsi sebagai terapi. Filsafat harus menghilangkan simpul-simpul bahasa yang meruwetkannya selama berabad-abad. Bahasa dapat menipu manusia. Oleh karena itu, analisis bahasa sangat diperlukan untuk mengetahui apakah memang benar suatu kata dipergunakan sebagaimana mestinya.
Ada tiga hal yang ditunjukkan Wittgenstein mengenai kelemahan bahasa yang telah digunakan dalam filsafat, yaitu 1) tidak memperhatikan aturan permainan bahasa dalam kehidupan yang lebih luas daan sesungguhnya; 2) adanya kecenderungan caving for generality, yaitu kecenderungan untuk mencari sesuatu yang umum pada semua satuan-satuan konkret yang diletakkan di atas istilah yang umum; dan 3) sering melakukan penyamaran pengertian melalui istilah-istilah yang tidak dapat dipahami oleh kebanyak orang, seperti “eksistensi”, “substansi”, “esensi”, dan sebagainya.
Memahami Al-Quran dengan Language Game
Setiap muslim di mana saja ia berada, sejak datangnya Islam telah meyakini, dan harus meyakini, bahwa Al-Quran merupakan Kalam Allah (Kalam: logos, ucapan, bahasa) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Tanpa kepercayaan teramat penting ini, tidak satu pun yang bahkan dapat menjadi seorang muslim yang nominal (hanya dalam sebutan).
Walaupun demikian, selalu saja muncul suatu kontroversi di dalam Islam, seperti bagaimana Kalam Allah itu disampaikan pada Nabi. Orang-orang yang mengetahui sejarah keagamaan Islam, akan teringat bahwa masalah ini pertama kali mengambil bentuk dalam pertanyaan: Apakah Al-Quran itu merupakan sifat Tuahn yang tidak diciptakan (bukan makhluk qodim atau dahulu) dan abadi sepanjang ia merupakan Kalam (atau Firman-Nya, logos ilahiyah), ataukah Al-Quran itu merupakan sesuatu yang diciptakan (makhluk, huduts: baru) dan bukan merupakan sifat Tuhan yang abadi?
Begitulah. Dalam memahami Al-Quran tak jarang umat Islam mengalami perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut berimplikasi kepada corak pandangan yang variatif, tergantung dari segi apa dan metodologi apa Al-Quran dibaca. Al-Quran sebagai landasan hukum umat Islam diyakini merupakan segala landasan kehipan umat Islam. Apa yang dicetuskan oleh Wittgenstein, language games, merupakan sebuah alat yang menarik untuk menguak khazanah Al-Quran yang tersimpan di setiap ruas kata dan bahasanya.
Dengan language games tatanan pemahaman akan makna bahasa Al-Quran dan metodologi interpretasinya tentu akan semakin dinamis. Sehingga akan menciptakan iklim berfikir yang lebih maju bagi umat Islam yang akan menghantarkannya kepada kemajuan.
+++
“Inna al-diina ‘inda Allahi al-Islam…” Sesungguhnya ‘agama’ yang diridhai oleh Allah adalah ‘Islam’. Ayat tersebut menurutku tak dapat dipahami secara leterlek karena dapat menimbulkan sikap ekslusifisme dalam beragama. Merasa paling benar, unggul, terdepan dan umat selain Islam adalah salah.
Melalui language games-nya Wittegnstein, aku ingin membongkar dua kata pada ayat di atas, al-diin (agama) dan al-islam (Islam). Menurutku, dua kata tersebut jangan dipahami jika dengan satu arti saja. Al-diin secara etimologi sebenarnya bukan berarti agama. Dari bahasa saja sudah berbeda, setiap bahasa mempunyai aturan dan makna tersendiri. Al-diin berasal dari bahasa Arab, sedangkan agama dari bahasa Sansekerta.
Al-diin dalam bahasa Arab mempunyai persamaan kata dengan dainun yang berarti hutang. Hutang mengandaikan adanya hubungan vertical antara subjek dan objek, di mana si subjek sebagai pemberi utang mempunyai kedudukan setingkat di atas objek. Oleh karena itu arti ‘agama’ yang dimaksudkan bukanlah organized religion (agama yang terlembagakan), melainkan sikap seseorang yang penuh kerendahdirian dihadapan subjek yang berada di alam transcendental, Tuhan, guna bersikap dengan baik, menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, singkatnya ‘membayar semua hutang’ kepada-Nya.
Al-Islam sendiri dalam hal pemaknaannya tak dapat diartikan secara leterlek karena hal tersebut mereduksi arti sebenarnya. Menurutku, di luar arti Islam sebagai organized religion, ia mengandung arti pasrah, berserah diri. Artinya, berserah diri kepada Dzat yang ada di alam transenden sana, Tuhan. Oleh karena itu, pemaknaan ini berarti semua agama memiliki konsep kepasrahan kepada Tuhan. Mulai dari Yahudi, Kristen, Taoisme, Zoroaster, Katolik, Budha, Hindu, dan lain sebagainya mereka semua adalah agama ‘Islam’, agama yang mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Hanya saja dari sisi eksoteris, seperti ritual, bahasa, simbol, masing-masing agama tersebut berbeda, tapi dalam perihal esoteris hakikat tujuan mereka sama, yaitu Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar