Juli tiba sekarang, Juni entah berlalu ke mana. Satu semester usai sudah. Rasanya? Yah, semacam lega tapi masih sesekali terasa janggal. Andai waktu bisa terulang. Andai. Andai adalah pekerjaan yang mengasyikkan sekaligus membosankan. Kini saatnya menikmati masa liburan dengan pelbagai daftar aktifitas.
Terhitung sejak Januari 2013 lalu saat dipercaya menjabat sebagai pemimpin redaksi, semester ganjil ini, bersama kawan-kawan telah menerbitkan 4 tabloid: edisi Maret, April, Mei, Juni, dan newsletter edisi Pemira (pemilihan raya) ketua BEM universitas. Di tengah padatnya tugas perkuliahan dan aktifitas lain, bukanlah halangan yang berarti bagi kami menerbitkan tabloid.
![]() |
Add caption |

Pernah, pada saat deadline, file cover yang baru saja didesain terhapus. Padahal esok hari seharusnya harus segera diantar menuju percetakan. Alhasil sang pembuat cover, menangis sesenggukan sembari membuat desain cover terbaru lagi. Ironisnya, ekspresi sedih seperti itu disambut riuh gemuruh tawa penghuni sekret. Aku sendiri juga tak kuat menahan pingkal.
Entah ada ‘virus’ apa, aku pun sering merasa heran, kenapa setiap rapat yang menurutku sakral dan membutuhkan keseriusan, kami sering tertawa terpingkal-pingkal, misalnya pada saat rapat redaksi. Otot perutku pernah sampai sakit gara-gara tertawa. Ada-ada saja hal menimbulkan tawa. Suatu kali, pada saat rapat redaksi, kami ditegur oleh UKM lain karena hingga menjelang subuh sekret kami masih memproduksi tawa keras.
Sebuah majalah untuk edisi semester ganjil juga masih dalam proses cetak. Usai bergeming di edisi ke 39, 2005 silam, di tahun 2013 ini kami mencoba menghidupkannya kembali. Di majalah berheadline “Cerita Seputar Tjipoetat” itu, aku menulis berita tentang Nikah Beda Agama dan sebuah kolom berjudul “Menekuri Ingatan Tandingan”.
![]() |
SG, selamat jalan. |
![]() |
Majalah Institut edisi 40/2013, semoga lekas terbit. |
Saat simaksi (mengisi formulir izin dan pendaftaran mendaki) di kantor Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP) kemarin, aku miris melihat kondisi sepanjang perjalanan. Macet. Ini benar-benar parah. Di tengah antrian panjang kendaraan tersebut aku sempat berbincang dengan seorang pengendara mobil.
![]() |
Saat simaksi, koneksi internet mati. Calon pendaki daftar dengan sistem manual. Ternyata lebih cepat. |
“Mulai jam berapa, pak, di sini?” tanyaku.
“Sejak jam 1 siang,” jawabnya.
#glek, nelen liur.
Waw. Padahal saat itu sudah hampir pukul 5 sore. Antrian kendaraan sangat panjang. Di tengah keindahan alam puncak Bogor, ratusan mobil berjalan merangak sembari menghembuskan polusi udara. Gerah. Padahal kondisi pegunungan seharusnya sejuk dan berudara segar. Pulang dari refreshing malah stres lagi. Rata-rata pengunjung pengendara berplat B, Jakarta. Para turis asing tampak stres juga melihat kondisi tersebut. Entah sampai kapan akan seperti ini.
Berhubung hanya menggunakan kamera handphone, kualitas gambar jadi kurang bagus, terlebih gambar diambil sembari mengendara motor. Padahal aku ingin sekali mengambil gambar turis asing, yang kebanyakan berwajah Arab, terpukau sekaligus geleng-geleng kepala lihat kondisi seperti ini. Ada yang mengumpulkan anak-anak bocah, tak jelas apa yang mereka bicarakan, tampaknya para pria dewasa itu tengah mengajari anak-anak kisaran 7 s/d 14 tahun berhitung dengan bahasa asing.
Mau lihat kondisi mengenaskan macet jalur puncak Bogor? Here we go!
![]() |
Biasanya aku suka sebal lihat polisi. Kali ini aku salut. Jumlah personel mereka yang turun ke jalan sangat minim ketimbang kendaraan dan jarak tempuh. Semangat, Pak. |
![]() |
Sistem saru arah tak efektif mengatasi jumlah kendaraan |
![]() |
Badan jalan longsor |
![]() |
Pejalan kaki juga mengalami kemacetan |
![]() |
Jalur satu arah |
![]() |
Udara sejuk terkontaminasi polusi kendaraan |
![]() |
Macet berpuluh-puluh kilo |
![]() |
Terik matahari tak terasa |
![]() |
Menghabiskan usia di jalan |
![]() |
Terabas sebisa mungkin |
![]() |
Terperosok ke dalam selokanpun tetap saja lanjutkan perjalanan |
0 komentar:
Posting Komentar