Selasa, 25 April 2017

Mewaspadai Internet

Nicholas Carr
Adalah Nicholas Carr, pegiat teknologi dan budaya, pria kelahiran tahun 1959. Hitung saja usia Carr tahun itu. Dari situ kusimpulkan bahwa Carr, agaknya, begitu gelisah menghadapi masa transisi dirinya dari menggunakan media konvesional, cetak-kertas, ke media teranyar, digital-layar.

Buku ini sepenuhnya mengartikulasikan kerisauan Carr mengenai dampak destruktif internet bagi dirinya, manusia, terutama pada organ vital kita, yakni otak.Ia yakin betul bahwa internet, berikut segala perangkatnya, punya konsekuensi fisik dan budaya umat manusia. Oleh karena itu, temuan abad mutakhir ini patut diwaspadai, sewaspadawaspadanya.
Bagaimana 'modus operandi' internet melemotkan otak kita adalah garis besar pembahasan buku ini. Dia lalu meratapi budaya baca-tulis konvensional yang kian memudar, yang menurutnya sungguh baik dalam mengoptimalkan otak kita.

Menurut Carr, model tampilan layar penuh dengan interupsi. mengajak kita tidak lagi menikmati ke kedalaman kata-kata, melainkan berseluncur di atas permukaan belaka.“Ketika kita online, kita memasuki sebuah lingkungan yang mendorong pembacaan sepintas, pemikiran buruburu dan terganggu, dan pembelajaran yang superfisial,” tulis dia (hlm. 121).

Tampilan layar yang mengkombinasikan pelbagai informasi pada gilirannya akan memecah isi dan menyita perhatian kita. Dunia layar adalah dunia interupsi. “Ketika kita menyalakan komputer kita,” tulisnya, “Kita tercebur ke dalam ekosistem teknologi interupsi,” tulisnya (hlm. 95).
sumber: http://www.pandasecurity.com



Carr tak sedang berandaiandai. Buku ini berupaya menguliti ekses internet bagi kesehatan otak, dengan meracik pelbagai pendapat para pakar di bidang psikologi, neurosains, linguistik, antropologi, komunikasi, media, dan filsafat. Argumentatif, menggugah, dan agak sadis.

Carr beberapa kali memasukkan testimoni kutipan langsung dari beberapa responden yang mengikuti tes psikologi tentang dampak internet terhadap kebiasaan membaca mereka.“Saya merasa kesabaran saya membaca dokumendokumen panjang berkurang. Saya ingin meloncat ke bagian akhir artikelartikel panjang,” Carr mengutip seorang responden (hlm. 145).

Beberapa hasil penelitian yang dikutip Carr samasama berkesimpulan bahwa lingkugan digital cenderung mendorong orang untuk menjelajahi banyak topik secara ekstensif, tapi pada tataran yang lebih superfisial belaka, dan ‘hyperlink’ mengalihkan orang dari membaca dan berpikir secara mendalam.

Teks yang tertulis pada kertas, sesungguhnya, punya keheningan. Hening itu adalah ‘bagian makna’ dari teks. Setiap teks yang disajikan oleh layar, wabil khusus Google Book Search, dikelilingi oleh tumpukan link, perangkat, tab, dan iklan yang semuanya menarik perhatian pembaca pada keterpecahan fokus: kondisi ini tiada lain adalah pemakaman terhadap keheningan.

Carr mengungkapkan, kondisi alami pikiran manusia adalah kondisi kebingungan. Sifat asli kita adalah suka mengalihkan tatapan, serta perhatian kita, dari satu benda ke benda lainnya, untuk memperhatikan sebanyak mungkin kejadian di sekitar kita.

Oleh karena itu, membaca dan menulis merupakan aktifitas intelektual yang memampukan kita mengatasi kondisi alamiah otak kita. Keduanya menuntut latihan, konsentrasi penuh dan disiplin mental. Teknologi layar kekinian merenggutnya dari manusia.

“Penelitian psikologi yang sudah lama dilakukan membuktikan apa yang dialami sebagian besar dari kita: interupsi yang sering membuat pikiran kita tercecer, melemahkan memori kita, dan membuat kita tegang dan cemas,” tulis Carr (hlm. 139).

Di luar dampak buruknya terhadap kualitas kemampuan mengelola informasi, internet juga perlahan mengubah struktur otak (bahkan pikiran) kita menjadi lebih mekanistik. Memori biologis kita perlahan menjadi memori teknologis.

Misalnya, saat kita mendelegasikan Google Map untuk memandu kita menuju sebuah lokasi, saat itu jualah kita mengistirahatkan bagian tertentu dari kemampuan otak kita menggambar dan mengingat ruang. Dst, dst.

Carr juga mengajak kita bertamasya ke masa lalu dengan mendedah secara genealogis proses kelahiran tulisan, yang pada mulanya ditentang karena “akan menanamkan sifat pelupa di dalam jiwa mereka (manusia)” (hlm. 55).

Lalu, kita pun dibawa melalanglangbuana pada kisahkisah evolusi mengagumkan para pesohor abad pertengahan ketika mereka ‘tenggelam’ dalam trisula: pena, kertas dan kata. Pada suatu masa dari abad pertengahan, proses tenggelam ini mengharuskan mereka berada pada kondisi seperti “titik diam dari dunia yang berputar” (hlm. 65).

Akhirnya, kita tiba di penghujung jurang kemanusiaan karena “Ingatan kita bukan saja telah kehilangan sifat keilahian; tapi juga sedang menuju kehilangan sifat manusiawi. Ingatan kita sudah menjadi mesin” (hlm. 194). Sebuah perjalanan yang tragis.

The Shallows, judul buku ini, secara harafiah menyiratkan orangorang yang cara berpikirnya menjadi dangkal karena dibelai-manis-manjakan oleh internet. Kalangan ini, dicirikan sebagai orang tak sabaran, tak tahan berlamalama membaca buku tebal atawa artikel panjang.

Kepada ‘Yang Lama’, ‘Yang Berteletele’, ‘Yang Hening’, ‘Yang Dalam’, kalangan ini, The Shallows, memekikkan kata, “Sayonara!”

Tentu saja buku ini tidak sepenuhnya mengutuk internet, melainkan semacam ultimatum bagi kita agar lebih waspada saja dalam menggunakannya. Bagaimanapun, internet adalah keniscayaan zaman.

"Alam bukan musuh kita, tapi juga bukan sahabat kita," Carr mengutip McLuhan, begawan di bidang media itu, terkait menyikapi perkembangan teknologi,"...Kita tidak boleh membiarkan kemegahan teknologi membutakan batin kita terhadap kemungkinan kita telah menumpulkan bagian penting dari diri kita (hlm. 225)."

Penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan spesifik antara pikiran (mind) dan otak (brain) pada buku ini, layak diajukan kepada Carr sebagai sebuah tanya, "Adakah Anda, Tuan, menyamakan keduanya?"

Buku ini memantik perbincangan di negaranya, Amerika. Atas keterbitannya, buku ini diganjar sebagai finalis Pulitzer Award 2011 kategori General Nonfiction. Walhasil, buku ini pun diterjemahkan oleh sekira 28 negara.

Di Indonesia, buku ini disambar oleh Penerbit Mizan. Cetakan pertamanya Juli, 2011.

Nb: Info lanjut mengenai Nicholas Carr klik link berikut: http://www.nicholascarr.com/


0 komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
I am a longlife learner. Colleger of UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010, Faculty of Usul al-Din, Department of Theology and Philosophy.