Jumat, 13 Oktober 2017

Jangan Lupa Bahagia

Sebuah organisasi di Inggris, Varkey Foundation, melalukan riset mengenai kebahagiaan anak muda di dunia. Riset tersebut mewawancarai generasi Z dari 20 Negara. Di antaranya, Amerika, Jepang, Turki, Jerman, Australia, Rusia, Itali, Korea Utara, Afrika Selatan, Israel dan Indonesia.

Responden adalah anak-anak muda yang lahir pada periode 1995-2001 atau yang disebut sebagai generasi Z. Jumlah responden sekitar 20.000 orang. Generasi Z merupakan angkatan pertama umat manusia yang menjadi ‘penduduk’ dunia digital (netizen), terutama untuk kegiatan sosial media.
https://www.shrm.org/



Penelitian itu berlangsung pada September-Oktober 2016. Parameter kebahagiaan secara keseluruhan mengungkapkan bahwa kaum muda Indonesia menempati posisi paling pertama.

Dibandingkan dengan 19 negara lain, generasi muda Indonesialah yang paling berbahagia. Posisi kedua adalah Nigeria. Selanjutnya, Israel, India, Argentina, dan Amerika Serikat.

Beberapa aspek yang menjadi alasan terpenting mereka merasa bahagia adalah agama, uang, rekreasi, pekerjaan, teman, keluarga, dan sehat jasmani dan rohani.

Apa penyebab utama anak muda Indonesia merasa bahagia? Agama. Meskipun secara umum agama bukanlah faktor kebahagiaan bagi negara lain. Agama menjadi salah satu faktor penting atas kebahagiaan bagi anak muda Indonesia (varkeyfoundation.org).

Hal menarik untuk dicatat adalah beberapa negara yang maju secara ekonomi dan pendidikan dari Indonesia, tidaklah lebih berbahagia. Jepang paling rendah. Menyusul kemudian Korea Utara, Turki, Selandia Baru, Australia, dan Prancis. Artinya, kemajuan di bidang ekonomi dan pendidikan, agaknya, tidak sejajar dengan tingkat kebahagiaan.

Hasil riset di atas memang agak paradoks. Kita misalnya secara serampangan dapat menyimpulkan bahwa, “biar miskin dan bodoh asal bahagia”. Kesimpulan tersebut mengingatkan kita pada perkataan yang dinisbahkan kepada Karl Marx bahwa agama adalah candu. Ia memang memberi ketenangan. Meskipun pengikutnya tengah dieksploitasi. Sebagai penawar atas kondisi teralienasi.

Jerat Postmodernisme

Setiap generasi tentu punya problem tersendiri mengenai kebahagiaan. Namun, problem yang dihadapi oleh generasi Z dalam beberapa dekade ke depan, agaknya, lebih mengkhawatirkan. Itulah kenapa penelitian Varkey Foundation di atas menjadi relevan. Harapan dan kekhawatiran generasi Z juga menjadi objek penelitian.

Mereka inilah generasi, kita pun juga pastinya, yang akan mengawali salah satu ekses kedigdayaan Revolusi Saintifik. Sebuah peristiwa besar dalam perjalanan sejarah umat manusia. Puluhan ribu tahun sebelumnya, kita, manusia, telah melalui Revolusi Kognitif dan Revolusi Agrikultur.

Salah satu ciri khas yang paling menonjol pada era ini adalah serba-hyper. Ada beberapa kondisi yang sama sekali berbeda dan belum pernah ada sebelumnya. Pada aras kebudayaan kita saksikan hiperglobalisasi, hiperkonsumsi, hiperkomoditi, hiper-realitas, hiperseksualitas, dan pelbagai kondisi hyper lain yang amat berlebihan sehingga berbahaya bagi manusia.

Perkembangan masyarakat kontemporer kekinian menghadirkan kesimpangsiuran: Postmodernisme. Sekurang-kurangnya, ia merujuk pada situasi dan tata sosial politik produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara-bangsa dan penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi (Sugiharto, 1996).

Lebih lanjut, ia diandaikan sebagai sebuah wacana yang di dalamnya ruang-ruang bagi pembebasan hasrat manusia dari pelbagai katupnya: pembebasan  energi libido seksual dari kungkungan Freud; pembebasan energi kehendak berkuasa dari kungkungan Marx; pembebasan tanda dari kungkungan semiotika Saussure; pembebasan energi kedangkalan dari kungkungan modernisme; dan pembebasan tubuh dari kungkungan moralitas (Yasraf, 2011).

Mengutip Deleuze dan Guattari, Yasraf mewanti-wanti akan bahaya penyakit yang diidap masyarakat postmodernisme, yakni skizofrenia-kultural. Ia membuat pengidapnya melakukan pembebasan hasrat dari pelbagai aturan, kekangan, dan batasannya, serta pembebasan tanda (signifier) dari pelbagai kode semiotika yang mapan.

Skizofrenia-kultural mengusung revolusi hasrat. Ia menghancurkan segala bentuk penekanan dan setiap model normalitas yang ada dalam masyarakat. Pada gilirannya, ia akan membawa manusia kepada tiga posisi psikis: orphans (tidak dibatasi aturan keluarga atau sosial), atheis (tidak dikendalikan kepercayaan), dan nomads (tidak pernah berada pada keyakinan dan territorial yang sama).

scaredpoet.com


Sejak kecil terpapar internet dan informasi yang berlimpah ruah, generasi Z juga tak luput dari apa yang dikhawatirkan oleh Nicholas Carr. Dalam bukunya The Shallows, What Internet is Doing to Our Brains, Carr menyebut dampak destruktif internet bagi organ vital manusia, otak.

The Shallows, yang menjadi judul bukunya, secara harafiah menyiratkan orang-orang yang cara berpikirnya menjadi dangkal karena dimanjakan oleh internet. Kalangan ini, dicirikan sebagai orang tak sabaran, terburu-buru, lalu senantiasa gelisah.

Ketika kita ber-online ria, kita memasuki sebuah lingkungan yang mendorong pembacaan sepintas, pemikiran buru-buru dan terganggu, dan pembelajaran yang superfisial. Tampilan layar yang mengkombinasikan pelbagai informasi pada gilirannya akan memecah isi dan menyita perhatian kita. Dunia layar adalah dunia interupsi. “Ketika kita menyalakan komputer kita,” tulis Carr, “Kita tercebur ke dalam ekosistem teknologi interupsi,” (Carr, 2011).

Media sosial juga ditengarai turut serta dalam menebarkan ketidakbahagiaan. Ketika kita melihat postingan orang lain, maka mulailah kita membandingkan diri dengan orang lain. Padahal membanding diri dengan orang lain adalah sumber penderitaan. Jerat demi jerat yang menanti generasi Z, dan kita semua, akan masih terus mengintai.

Bagaimana agar kita bahagia? Sekurang-kurangnya, dua hal ini kiranya dapat memberi kita jawaban, agama dan sains.

Kebahagiaan Agama

Kebahagiaan merupakan salah satu tema sentral dalam kehidupan umat manusia. Sejak dahulu, para pemikir di bidang agama dan filsuf telah membincang ihwal kebahagiaan. Etika merupakan sarana paling ampuh bagi manusia untuk mencapainya.

Mulyadhi Kartanegara menganalisis apa yang terpatri dalam kitab Tartib al-Sa’adah, karya filsuf Muslim, Ibnu Miskawaih. Kebahagiaan, menurut kitab tersebut, punya jenjang. Pertama, kebahagiaan fisik atau sensual. Kebahagiaan pada tahap ini identik dengan kesenangan (pleasure). Kebahagiaan jenis ini adalah kebutuhan mendasar yang bersifat material.

Aristoteles pernah mengatakan bahwa tanpa terpenuhinya kebutuhan dasar material manusia, maka tak dapat dibayangkan terjadinya kebahagiaan lainnya. Manusia memang perlu makan, minum, tempat tinggal, dan pakaian untuk kelangsungan hidupnya. Kesemuanya merupakan kesenangan duniawi yang pada gilirannya dapat membuat orang lalai (ghaflah).

Kedua, kebahagiaan mental. Kebahagiaan ini masih berhubungan dengan indra lahir, tetapi utamanya dengan indra batin. Ia diperoleh dari pada kemampuan imajinasi. Misalnya, melukis, berpuisi, atau pun memainkan alat musik.

Ketiga, kebahagiaan intelektual. Kebahagiaan ini diperoleh dari ilmu pengetahuan. Ilmu tak ubahnya cahaya yang berlimpah dan menerangi kehidupan seseorang. Sehingga, orang dapat mengarungi jalan hidup dengan nyaman, aman, dan selamat.

Kebahagiaan moral adalah penyempurna dari kebahagiaan intelektual. Ini yang keempat. Al-Farabi pernah berkata bahwa kesempurnaan kebahagiaan tercapai apabila seseorang telah mampu menerapkan pengetahuan teoritisnya ke dalam praktik sehari-hari. Dan tahap tertinggi, yang kelima, adalah kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan ini diperoleh dengan persatuan dan kontak dengan Yang Ilahi (Mulyadhi, 2002).

Sesungguhnya, sebelum ajaran para filosof Muslim telah ada para pemikir yang jauh lebih klasik yang membahas mengenai kebahagiaan. Dalam tradisi Buddha, misalnya. Untuk mencapai nirwana, mula-mula seseorang harus terlepas dari penderitaan.

Penderitaan lahir dari pikiran yang bekerja bersama nafsu. Ketika kita menghadapi sesuatu yang tidak nyaman, kita bernafsu mengeliminasi ketidaknyamanan itu. Ketika kita memperoleh suatu kesenangan, kita pun tidak pernah puas. Boleh jadi karena kita khawatir kesenangan itu sirna atau pun kita berharap itu akan semakin besar.

Oleh karena itu, untuk memutus lingkaran setan penderitaan itu, kita harus mengalami sesuatu yang menyenangkan ataupun tidak dengan pikiran yang menerima apa adanya. Pikiran hanya perlu memahami keadaan yang kita hadapi sebagaimana adanya. Penderitaan pun akan musnah (Yuval, 2016).

nu.or.id

Kebahagiaan Kimiawi

Agama boleh saja mengutuk sains kekinian telah menjadi sekuler dan tak begitu melibatkannya dalam perbincangan pencapaian kebahagiaan. Tapi, sains punya logika sendiri dalam menertawakan ajaran luhur agama-agama. Agama tiada lain mitos dan delusi belaka, kata sains.

Sains, kata Yuval, sesungguhnya, berangkat dari kerendah-hatian dan kesediaan mengakui ketidaktahuan. Pengakuan seperti inilah kemudian yang memancarkan energi untuk terus mereguk pengetahuan baru. Terus menerus. Kesadaran diri akan ketidaktahuan melahirkan semangat pantang lelah untuk menaklukkan ketidaktahuan itu sendiri.

Sikap di atas mengambil posisi asimetris dari tradisi agama. Sementara agama mendidik manusia merelakan jawaban atas ketidaktahuannya hanya diketahui Yang Maha Tahu, sains berupaya keras mencari hingga ufuk terjauh dari segala apa yang mungkin diteliti, dikaji, diverifikasi secara empirik-rasional.

Agama memproklamasikan bahwa segala hal yang penting untuk diketahui manusia telah diketahui oleh Dewa, Tuhan, ataupun orang-orang bijak di masa lampau yang kepada mereka diturunkan kitab suci.

Keingintahuan yang menjadi watak dasar sains mewartakan pandangan menarik ketika membincang kebahagiaan. Dalam beberapa dekade terakhir ini, para psikolog dan ahli biologi mengambil tantangan mempelajari secara saintifik apa yang benar-benar membuat orang bahagia.

Langkah pertama adalah mendefinisikan apa yang harus diukur. Definisi yang diterima secara umum tentang kebahagiaan adalah “kesejahteraan subjektif”.

Kesejahteraan subjektif setiap orang berbeda-beda. Ia dapat berupa, misalnya, keluarga, komunitas, uang, dan kesehatan. Kesejahteraan subjektif berarti ekspektasi subjektif. Dengan demikian, kebahagiaan tergantung dari korelasi antara kondisi objektif dengan ekspektasi-ekspektasi subjektif.

Tegasnya, jika seseorang ingin handphone baru (ekspektasi subjektif) dan dapat handphone baru (kondisi objektif), maka ia bahagia. Jika seseorang ingin motor baru (ekspektasi subjektif) tapi tidak dapat motor bekas (kondisi objektif), maka dia kecewa.

Melalui serangkaian riset yang panjang, para ahli biologi menggunakan kuisioner-kuisioner yang sama, tetapi mengkorelasikan jawaban yang diberikan responden dengan faktor-faktor biokimia dan genetika. Hasilnya mengejutkan.

Para ahli biologi berpendirian bahwa dunia mental dan emosional kita diatur oleh mekanisme-mekanisme biokimiawi yang dibentuk oleh jutaan tahun evolusi. Sebagaimana keadaan-keadaan mental lainnya, kesejahteraan subjektif kita tidaklah ditentukan oleh parameter-parameter eksternal seperti gaji, relasi sosial, atau hak-hak politik. Namun, ia ditentukan oleh suatu sistem yang kompleks seperti saraf, neuron, synapse, dan pelbagai zat biokimiawi seperti serotonin, dopamine, dan oxytocin (Yuval, 2016).

Tidak ada orang yang bahagia karena menang lotre, membeli rumah, dapat hadiah, atau bahkan menemukan cinta sejati. Orang dibuat bahagia oleh satu hal, yakni sensasi-sensasi kesenangan mereka. Mahasiswa yang kegirangan karena baru saja lulus kuliah, setelah nyaris di-DO, bukan sedang bereaksi atas pencapaiannya itu.

Mahasiswa itu hanya bereaksi pada berbagai aliran hormon yang sedang pesta pora di sekujur aliran darahnya dan badai sinyal elektrik yang memancar di antara bagian-bagian yang berbeda di antara bagian-bagian otaknya.

Orang yang dilahirkan dengan biokimia ceria pada umumnya bahagia dan gembira. Begitupun sebaliknya, mereka yang terlahir dengan kandungan serotonin, dopamine, dan oxytocin yang minim, akan cenderung murung. Artinya, struktur biokimia tubuh kitalah yang membuat kita bahagia. Sebuah kondisi awal yang oleh sains dimungkinkan untuk diubah.

Tak ada satupun faktor eksternal di luar diri kita yang betul-betul dapat membuat bahagia. Uang, status sosial, gelar sarjana, ajaran agama, rumah mewah, dan sebagainya. Kebahagiaan hanya datang dari serotonin, dopamine, dan oxytocin. Lalu, bagaimana agar kita bisa awet bahagia di segala jenis kesejahteraan subjektif dan kondisi objektif: manipulasi biokimia kita! 
http://www.youthareawesome.com/science-happy/


Agama dan sains sama-sama menawarkan kebahagiaan. Terlepas dari silang pendapat keduanya, betapapun, jangan lupa bahagia.

0 komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
I am a longlife learner. Colleger of UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010, Faculty of Usul al-Din, Department of Theology and Philosophy.