Sebuah
organisasi di Inggris, Varkey Foundation, melalukan riset mengenai kebahagiaan
anak muda di dunia. Riset tersebut mewawancarai generasi Z dari 20 Negara. Di
antaranya, Amerika, Jepang, Turki, Jerman, Australia, Rusia, Itali, Korea
Utara, Afrika Selatan, Israel dan Indonesia.
Responden
adalah anak-anak muda yang lahir pada periode 1995-2001 atau yang disebut sebagai
generasi Z. Jumlah responden sekitar 20.000 orang. Generasi Z merupakan
angkatan pertama umat manusia yang menjadi ‘penduduk’ dunia digital (netizen), terutama untuk kegiatan sosial
media.
![]() |
https://www.shrm.org/ |
Penelitian
itu berlangsung pada September-Oktober 2016. Parameter kebahagiaan secara
keseluruhan mengungkapkan bahwa kaum muda Indonesia menempati posisi paling
pertama.
Dibandingkan
dengan 19 negara lain, generasi muda Indonesialah yang paling berbahagia.
Posisi kedua adalah Nigeria. Selanjutnya, Israel, India, Argentina, dan Amerika
Serikat.
Beberapa
aspek yang menjadi alasan terpenting mereka merasa bahagia adalah agama, uang,
rekreasi, pekerjaan, teman, keluarga, dan sehat jasmani dan rohani.
Apa
penyebab utama anak muda Indonesia merasa bahagia? Agama. Meskipun secara umum
agama bukanlah faktor kebahagiaan bagi negara lain. Agama menjadi salah satu
faktor penting atas kebahagiaan bagi anak muda Indonesia
(varkeyfoundation.org).
Hal
menarik untuk dicatat adalah beberapa negara yang maju secara ekonomi dan pendidikan
dari Indonesia, tidaklah lebih berbahagia. Jepang paling rendah. Menyusul
kemudian Korea Utara, Turki, Selandia Baru, Australia, dan Prancis. Artinya,
kemajuan di bidang ekonomi dan pendidikan, agaknya, tidak sejajar dengan
tingkat kebahagiaan.
Hasil
riset di atas memang agak paradoks. Kita misalnya secara serampangan dapat
menyimpulkan bahwa, “biar miskin dan bodoh asal bahagia”. Kesimpulan tersebut
mengingatkan kita pada perkataan yang dinisbahkan kepada Karl Marx bahwa agama
adalah candu. Ia memang memberi ketenangan. Meskipun pengikutnya tengah
dieksploitasi. Sebagai penawar atas kondisi teralienasi.
Jerat Postmodernisme
Setiap
generasi tentu punya problem tersendiri mengenai kebahagiaan. Namun, problem
yang dihadapi oleh generasi Z dalam beberapa dekade ke depan, agaknya, lebih
mengkhawatirkan. Itulah kenapa penelitian Varkey Foundation di atas menjadi
relevan. Harapan dan kekhawatiran generasi Z juga menjadi objek penelitian.
Mereka
inilah generasi, kita pun juga pastinya, yang akan mengawali salah satu ekses
kedigdayaan Revolusi Saintifik. Sebuah peristiwa besar dalam perjalanan sejarah
umat manusia. Puluhan ribu tahun sebelumnya, kita, manusia, telah melalui
Revolusi Kognitif dan Revolusi Agrikultur.
Salah
satu ciri khas yang paling menonjol pada era ini adalah serba-hyper. Ada beberapa kondisi yang sama
sekali berbeda dan belum pernah ada sebelumnya. Pada aras kebudayaan kita
saksikan hiperglobalisasi, hiperkonsumsi, hiperkomoditi, hiper-realitas,
hiperseksualitas, dan pelbagai kondisi hyper
lain yang amat berlebihan sehingga berbahaya bagi manusia.
Perkembangan
masyarakat kontemporer kekinian menghadirkan kesimpangsiuran: Postmodernisme.
Sekurang-kurangnya, ia merujuk pada situasi dan tata sosial politik produk
teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme
berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara-bangsa dan
penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi (Sugiharto, 1996).
Lebih
lanjut, ia diandaikan sebagai sebuah wacana yang di dalamnya ruang-ruang bagi
pembebasan hasrat manusia dari pelbagai katupnya: pembebasan energi libido seksual dari kungkungan Freud;
pembebasan energi kehendak berkuasa
dari kungkungan Marx; pembebasan tanda
dari kungkungan semiotika Saussure; pembebasan energi kedangkalan dari
kungkungan modernisme; dan pembebasan tubuh dari kungkungan moralitas (Yasraf,
2011).
Mengutip
Deleuze dan Guattari, Yasraf mewanti-wanti akan bahaya penyakit yang diidap
masyarakat postmodernisme, yakni skizofrenia-kultural. Ia membuat pengidapnya
melakukan pembebasan hasrat dari pelbagai aturan, kekangan, dan batasannya,
serta pembebasan tanda (signifier)
dari pelbagai kode semiotika yang mapan.
Skizofrenia-kultural
mengusung revolusi hasrat. Ia menghancurkan segala bentuk penekanan dan setiap
model normalitas yang ada dalam masyarakat. Pada gilirannya, ia akan membawa
manusia kepada tiga posisi psikis: orphans
(tidak dibatasi aturan keluarga atau sosial), atheis (tidak dikendalikan kepercayaan), dan nomads (tidak pernah berada pada keyakinan dan territorial yang
sama).
![]() |
scaredpoet.com |
Sejak
kecil terpapar internet dan informasi yang berlimpah ruah, generasi Z juga tak
luput dari apa yang dikhawatirkan oleh Nicholas Carr. Dalam bukunya The Shallows, What Internet is Doing to Our
Brains, Carr menyebut dampak destruktif internet bagi organ vital manusia,
otak.
The Shallows, yang menjadi judul bukunya,
secara harafiah menyiratkan orang-orang yang cara berpikirnya menjadi dangkal
karena dimanjakan oleh internet. Kalangan ini, dicirikan sebagai orang tak
sabaran, terburu-buru, lalu senantiasa gelisah.
Ketika kita ber-online ria,
kita memasuki sebuah lingkungan yang mendorong pembacaan sepintas, pemikiran
buru-buru dan terganggu, dan pembelajaran yang superfisial. Tampilan layar yang
mengkombinasikan pelbagai informasi pada gilirannya akan memecah isi dan
menyita perhatian kita. Dunia layar adalah dunia interupsi. “Ketika kita
menyalakan komputer kita,” tulis Carr, “Kita tercebur ke dalam ekosistem
teknologi interupsi,” (Carr, 2011).
Media sosial juga ditengarai
turut serta dalam menebarkan ketidakbahagiaan. Ketika kita melihat postingan
orang lain, maka mulailah kita membandingkan diri dengan orang lain. Padahal
membanding diri dengan orang lain adalah sumber penderitaan. Jerat demi jerat
yang menanti generasi Z, dan kita semua, akan masih terus mengintai.
Bagaimana
agar kita bahagia? Sekurang-kurangnya, dua hal ini kiranya dapat memberi kita
jawaban, agama dan sains.
Kebahagiaan Agama
Kebahagiaan
merupakan salah satu tema sentral dalam kehidupan umat manusia. Sejak dahulu,
para pemikir di bidang agama dan filsuf telah membincang ihwal kebahagiaan.
Etika merupakan sarana paling ampuh bagi manusia untuk mencapainya.
Mulyadhi
Kartanegara menganalisis apa yang terpatri dalam kitab Tartib al-Sa’adah, karya filsuf Muslim, Ibnu Miskawaih.
Kebahagiaan, menurut kitab tersebut, punya jenjang. Pertama, kebahagiaan fisik
atau sensual. Kebahagiaan pada tahap ini identik dengan kesenangan (pleasure). Kebahagiaan jenis ini adalah
kebutuhan mendasar yang bersifat material.
Aristoteles
pernah mengatakan bahwa tanpa terpenuhinya kebutuhan dasar material manusia,
maka tak dapat dibayangkan terjadinya kebahagiaan lainnya. Manusia memang perlu
makan, minum, tempat tinggal, dan pakaian untuk kelangsungan hidupnya.
Kesemuanya merupakan kesenangan duniawi yang pada gilirannya dapat membuat
orang lalai (ghaflah).
Kedua,
kebahagiaan mental. Kebahagiaan ini masih berhubungan dengan indra lahir,
tetapi utamanya dengan indra batin. Ia diperoleh dari pada kemampuan imajinasi.
Misalnya, melukis, berpuisi, atau pun memainkan alat musik.
Ketiga,
kebahagiaan intelektual. Kebahagiaan ini diperoleh dari ilmu pengetahuan. Ilmu
tak ubahnya cahaya yang berlimpah dan menerangi kehidupan seseorang. Sehingga,
orang dapat mengarungi jalan hidup dengan nyaman, aman, dan selamat.
Kebahagiaan
moral adalah penyempurna dari kebahagiaan intelektual. Ini yang keempat.
Al-Farabi pernah berkata bahwa kesempurnaan kebahagiaan tercapai apabila
seseorang telah mampu menerapkan pengetahuan teoritisnya ke dalam praktik
sehari-hari. Dan tahap tertinggi, yang kelima, adalah kebahagiaan spiritual.
Kebahagiaan ini diperoleh dengan persatuan dan kontak dengan Yang Ilahi
(Mulyadhi, 2002).
Sesungguhnya,
sebelum ajaran para filosof Muslim telah ada para pemikir yang jauh lebih
klasik yang membahas mengenai kebahagiaan. Dalam tradisi Buddha, misalnya.
Untuk mencapai nirwana, mula-mula seseorang harus terlepas dari penderitaan.
Penderitaan
lahir dari pikiran yang bekerja bersama nafsu. Ketika kita menghadapi sesuatu
yang tidak nyaman, kita bernafsu mengeliminasi ketidaknyamanan itu. Ketika kita
memperoleh suatu kesenangan, kita pun tidak pernah puas. Boleh jadi karena kita
khawatir kesenangan itu sirna atau pun kita berharap itu akan semakin besar.
Oleh
karena itu, untuk memutus lingkaran setan penderitaan itu, kita harus mengalami
sesuatu yang menyenangkan ataupun tidak dengan pikiran yang menerima apa
adanya. Pikiran hanya perlu memahami keadaan yang kita hadapi sebagaimana
adanya. Penderitaan pun akan musnah (Yuval, 2016).
![]() |
nu.or.id |
Kebahagiaan Kimiawi
Agama
boleh saja mengutuk sains kekinian telah menjadi sekuler dan tak begitu melibatkannya
dalam perbincangan pencapaian kebahagiaan. Tapi, sains punya logika sendiri
dalam menertawakan ajaran luhur agama-agama. Agama tiada lain mitos dan delusi belaka,
kata sains.
Sains,
kata Yuval, sesungguhnya, berangkat dari kerendah-hatian dan kesediaan mengakui
ketidaktahuan. Pengakuan seperti inilah kemudian yang memancarkan energi untuk
terus mereguk pengetahuan baru. Terus menerus. Kesadaran diri akan
ketidaktahuan melahirkan semangat pantang lelah untuk menaklukkan ketidaktahuan
itu sendiri.
Sikap
di atas mengambil posisi asimetris dari tradisi agama. Sementara agama mendidik
manusia merelakan jawaban atas ketidaktahuannya hanya diketahui Yang Maha Tahu,
sains berupaya keras mencari hingga ufuk terjauh dari segala apa yang mungkin
diteliti, dikaji, diverifikasi secara empirik-rasional.
Agama
memproklamasikan bahwa segala hal yang penting untuk diketahui manusia telah
diketahui oleh Dewa, Tuhan, ataupun orang-orang bijak di masa lampau yang kepada
mereka diturunkan kitab suci.
Keingintahuan
yang menjadi watak dasar sains mewartakan pandangan menarik ketika membincang
kebahagiaan. Dalam beberapa dekade terakhir ini, para psikolog dan ahli biologi
mengambil tantangan mempelajari secara saintifik apa yang benar-benar membuat
orang bahagia.
Langkah
pertama adalah mendefinisikan apa yang harus diukur. Definisi yang diterima
secara umum tentang kebahagiaan adalah “kesejahteraan subjektif”.
Kesejahteraan
subjektif setiap orang berbeda-beda. Ia dapat berupa, misalnya, keluarga,
komunitas, uang, dan kesehatan. Kesejahteraan subjektif berarti ekspektasi
subjektif. Dengan demikian, kebahagiaan tergantung dari korelasi antara kondisi
objektif dengan ekspektasi-ekspektasi subjektif.
Tegasnya,
jika seseorang ingin handphone baru (ekspektasi subjektif) dan dapat handphone
baru (kondisi objektif), maka ia bahagia. Jika seseorang ingin motor baru
(ekspektasi subjektif) tapi tidak dapat motor bekas (kondisi objektif), maka
dia kecewa.
Melalui
serangkaian riset yang panjang, para ahli biologi menggunakan
kuisioner-kuisioner yang sama, tetapi mengkorelasikan jawaban yang diberikan
responden dengan faktor-faktor biokimia dan genetika. Hasilnya mengejutkan.
Para
ahli biologi berpendirian bahwa dunia mental dan emosional kita diatur oleh
mekanisme-mekanisme biokimiawi yang dibentuk oleh jutaan tahun evolusi.
Sebagaimana keadaan-keadaan mental lainnya, kesejahteraan subjektif kita tidaklah
ditentukan oleh parameter-parameter eksternal seperti gaji, relasi sosial, atau
hak-hak politik. Namun, ia ditentukan oleh suatu sistem yang kompleks seperti
saraf, neuron, synapse, dan pelbagai zat biokimiawi seperti serotonin,
dopamine, dan oxytocin (Yuval, 2016).
Tidak
ada orang yang bahagia karena menang lotre, membeli rumah, dapat hadiah, atau
bahkan menemukan cinta sejati. Orang dibuat bahagia oleh satu hal, yakni
sensasi-sensasi kesenangan mereka. Mahasiswa yang kegirangan karena baru saja
lulus kuliah, setelah nyaris di-DO, bukan sedang bereaksi atas pencapaiannya
itu.
Mahasiswa
itu hanya bereaksi pada berbagai aliran hormon yang sedang pesta pora di
sekujur aliran darahnya dan badai sinyal elektrik yang memancar di antara
bagian-bagian yang berbeda di antara bagian-bagian otaknya.
Orang
yang dilahirkan dengan biokimia ceria pada umumnya bahagia dan gembira.
Begitupun sebaliknya, mereka yang terlahir dengan kandungan serotonin,
dopamine, dan oxytocin yang minim, akan cenderung murung. Artinya, struktur
biokimia tubuh kitalah yang membuat kita bahagia. Sebuah kondisi awal yang oleh
sains dimungkinkan untuk diubah.
Tak
ada satupun faktor eksternal di luar diri kita yang betul-betul dapat membuat
bahagia. Uang, status sosial, gelar sarjana, ajaran agama, rumah mewah, dan
sebagainya. Kebahagiaan hanya datang dari serotonin, dopamine, dan oxytocin.
Lalu, bagaimana agar kita bisa awet bahagia di segala jenis kesejahteraan
subjektif dan kondisi objektif: manipulasi biokimia kita!
![]() |
http://www.youthareawesome.com/science-happy/ |
Agama
dan sains sama-sama menawarkan kebahagiaan. Terlepas dari silang pendapat
keduanya, betapapun, jangan lupa bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar