Para wanita itu pulang dari
tempat pemujaan. Tak jauh dari mereka, seorang pemuda, Ken Arok, mengintai yang
paling jelita. Setiap langkahnya memendarkan cahaya.
Menurut kepercayaan, wanita yang anggota badannya memancarkan sinar akan menurunkan para raja dan ratu di masa akan datang. Dialah Ken Dedes, isteri Tunggul Ametung, Akuwu dari Tumapel.
Menurut kepercayaan, wanita yang anggota badannya memancarkan sinar akan menurunkan para raja dan ratu di masa akan datang. Dialah Ken Dedes, isteri Tunggul Ametung, Akuwu dari Tumapel.
Itulah yang menumbuhkan hasrat
Ken Arok memiliki Ken Dedes. Apapun yang harus dilakukan. Ken Arok datang ke
Mpu Gandring. Kepada Mpu Gandring, ia pinta dibuatkan keris dalam waktu
sesegera mungkin. Keris tersebut belum jadi saat Ken Arok datang memintanya.
Mpu Gandring gagal
menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Ken Arok pun membunuhnya dengan keris
setengah jadi itu.
Di penghujung hayat, Mpu Gandring memekikkan sebuah kutuk: keris itu akan senantiasa membunuh pemiliknya. Tragedi kutukan keris Mpu Gandring pun dimulai.
Di penghujung hayat, Mpu Gandring memekikkan sebuah kutuk: keris itu akan senantiasa membunuh pemiliknya. Tragedi kutukan keris Mpu Gandring pun dimulai.
Dengan keris itu, Ken Arok
membunuh Tunggul Ametung dan memperistri Ken Dedes. Ambisinya tak berhenti di
situ. Ke Arok mengumunkan Tumapel sebagai kerajaan dengan ibukota Kutaraja.
Ken Arok menggelari dirinya sebagai raja Sang Amurwabhumi (1222-1227). Di tahun kelima kepemimpinannya, Ke Arok tewas ditikam keris Mpu Gandring oleh Anusapati, putra Ken Dedes dari Tunggul Ametung (1227-1248).
Ken Arok menggelari dirinya sebagai raja Sang Amurwabhumi (1222-1227). Di tahun kelima kepemimpinannya, Ke Arok tewas ditikam keris Mpu Gandring oleh Anusapati, putra Ken Dedes dari Tunggul Ametung (1227-1248).
Anusapati meregang nyawa
ditikam Tohjaya, putra Ken Arok dari Ken Umang. Tohjaya ditikam Ranggawuni
putra Anusapati. Ranggawuni, cucu Ken Dedes dari Tunggul Ametung memerintah
bersama Mahisa Cempaka (1248-1268), cucu Ken Dedes dari Ken Arok.
Sejak itu, keris Mpu Gandring berhenti membunuh. Pada 1268, Ranggawuni wafat dan tahta diserahkan kepada putranya, Sri Kertanegara (Dwitri Waluyo, 2004).
Sejak itu, keris Mpu Gandring berhenti membunuh. Pada 1268, Ranggawuni wafat dan tahta diserahkan kepada putranya, Sri Kertanegara (Dwitri Waluyo, 2004).
Demikianlah hikayat tragis yang
melatari kelahiran Sri Kertanegara. Dalam sejarah, Sri Kertanegara terkenal
sebagai Raja-Filsuf.
Raja pecinta bahasa dan sastra ini menjadi tokoh sentral yang tersuguhkan secara impresif. Selain tentu saja juga pelbagai tokoh penting lain pada masa tersebut.
Apakah sampai di situ kisah kematian demi kematian yang lahir dari keserakahan atas kekuasaan? Tidak.
Raja pecinta bahasa dan sastra ini menjadi tokoh sentral yang tersuguhkan secara impresif. Selain tentu saja juga pelbagai tokoh penting lain pada masa tersebut.
Apakah sampai di situ kisah kematian demi kematian yang lahir dari keserakahan atas kekuasaan? Tidak.
Kau Keng, alias Sungging, adalah prabhangkara
(seniman-perupa) sekaligus pendekar. Ia adalah sosok pelajar yang diberkati dengan
kekosongan (tabula rasa) sekaligus keingintahuan (curiosity), yang pada gilirannya
kerap mengalami keterpesonaan terhadap pelbagai hal-hal baru: kata dan gerak.
Rsi Sanghika, guru Sungging, adalah sosok
petapa yang hampir selalu malu-malu mendaku bahwa ‘dia-tidak-tahu-bahwa-dia-tahu’.
Sebuah pengetahuan yang sejatinya tak menuntut untuk disadari dan dipahami.
Melalui relasi pendidik-pelajar inilah penulis mengajak kita memaknai masa lalu. Ia menawarkan kebaruan. Kebaruan yang secara estetis hadir sekaligus bersama kelamaan. Sejarah selalu aktual.
Melalui relasi pendidik-pelajar inilah penulis mengajak kita memaknai masa lalu. Ia menawarkan kebaruan. Kebaruan yang secara estetis hadir sekaligus bersama kelamaan. Sejarah selalu aktual.
Melalui tokoh Sungging, penulis
mewartakan pelbagai peristiwa genting pada masa itu: pembunuhan Sri Kertanegara, pengusiran pasukan
Tartar, intrik dan pengkhianatan menjelang berdirinya kerajaan Majapahit hingga
perburuan terhadap para pendekar terakhir yang dianggap menyimpan rahasia Kitab
Begawan Ksatria.
Tak luput pula ulasan ciamik mengenai visi besar Sri Kertanegara tentang Nusantara, yang di kemudian hari menginspirasi Sumpah Palapa Gajah Mada.
Tak luput pula ulasan ciamik mengenai visi besar Sri Kertanegara tentang Nusantara, yang di kemudian hari menginspirasi Sumpah Palapa Gajah Mada.
Sejarah adalah gambaran masa
lalu, tetapi bukan arah yang dikejar. Begitu kata Taufik Abdullah (2004). Indonesia
memang punya ratusan bahkan ribuan kisah masa lalu untuk dikenang. Sungging
hadir menuturkan salah satu fragmen dari sejarah Nusantara.
Padanya terkandung dialog-dialog yang memukau dan sarat permenungan. Sebuah karya yang mendeskripsikan secara anggun dan kolosal nestapa silang sengkarut atas perebutan kekuasaan.
Padanya terkandung dialog-dialog yang memukau dan sarat permenungan. Sebuah karya yang mendeskripsikan secara anggun dan kolosal nestapa silang sengkarut atas perebutan kekuasaan.
Novel ini lebih dari sekadar
menawarkan ‘sense of pride’ dari
suatu zaman di bumi Nusantara, Javadwipa, 1265 SAKA (abad 13 Masehi): bahwa
Indonesia punya sejarah.
Ada perbincangan serius lain yang terkandung pada bab demi bab. Di antaranya, harga diri, keberanian, integritas, kekuasaan, pengorbanan, pengkhianatan, dan kesetiaan.
Ia bukan saja memberi bahan tentang hal-hal yang sebaiknya diingat, tapi juga yang sebaiknya dilupakan.
Ada perbincangan serius lain yang terkandung pada bab demi bab. Di antaranya, harga diri, keberanian, integritas, kekuasaan, pengorbanan, pengkhianatan, dan kesetiaan.
Ia bukan saja memberi bahan tentang hal-hal yang sebaiknya diingat, tapi juga yang sebaiknya dilupakan.
Untuk info lebih lanjut sila pantau di: http://penerbitkpg.id/book/sungging/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar