“Tamparan kawan lebih baik daripada ciuman lawan.” Ungkapan klasik tersebut kiranya amatlah pas untuk merangkum buku ini. Sebuah tilikan akademik berpadu dengan pengalaman empirik Desmond J. Mahesa (DJM) selama dua periode mengecimpungi Senayan. Buku yang begitu otoritatif untuk memahami secara lain dan komprehensif tugas dan fungsi lembaga DPR RI.
Buku ini terdiri dari 11 bab. Disusun berdasarkan kronologi sejarah pembentukan fungsi DPR RI. Jika diringkas, babakan kronologi sejarah DPR RI pada buku ini bermula dari Era Pra-Kemerdekaan, Parlemen Hinda-Belanda Volksraad (1981-1949), Masa Awal Kemerdekaan (1950-1960), Era Soekarno (1959-1966), Era Orde Baru (1967-1997), hingga kini Era Reformasi (1998-2018).
Pada bab demi bab buku terbitan tahun 2020 ini kita banyak akan menemukan model pembacaan kritis. Pembacaan kritis DJM terarah, baik kepada aspek internal di tubuh DPR RI itu sendiri, maupun kepada aspek eksternal di luar DPR RI.
Dalam menjalankan fungsi, DPR RI kerap dinilai tak berjalan sebagaimana mestinya. Kepada perihal itulah kritik DJM tertuju. Sebuah ikhtiyar mengawal DPR RI menjadi sebuah institusi yang bermartabat dan sesuai amanat konstitusi.
Ada pergulatan panjang sampai pada akhirnya hari ini DPR RI di bawah UU MD3, Renstra 2018 dan Tatib DPR RI 2018. Apa dan bagaimana latar belakang sejarah fungsi DPR RI tersebut disajikan secara mendalam.
Pembacaan kritis atas teks-teks UU tentang fungsi DPR RI memampukan kita meraih wawasan retrospektif seputar latar belakang politik hukum guna memahami dengan baik proses pembentukan fungsi DPR RI dulu, kini dan nanti.
Kritik terhadap aspek internal DPR RI, misalnya, adalah ketidakmampuan DPR RI periode 2009-2014 menuntaskan tanggung jawab membuat UU. DJM sendiri saat itu tengah duduk sebagai anggota.
DJM menulis, “Apakah DPR Periode 2009-2014 sukses melaksanakan fungsi-fungsinya dan mengangkat citra DPR sebagaimana digariskan dalam UU MD3 2009 dan Renstra DPR RI 2010-2014? Dari 248 RUU yang masuk Prolegnas 2010-2014, DPR (dan Pemerintah), hanya mampu menyelesaikan pembahasan 69 RUU atau 27,8%”(h.476).
Ketidaberfungsian DPR RI bukan tanpa sebab. Oleh karena itu, seharusnya, bagi DJM, perlu diciptakan sistem dan mekanisme pelaksanaan fungsi DPR RI berorientasi kepada kedaulatan Anggota DPR RI yang mandiri dan berintegritas.
Sebab, menurutnya, sistem yang membuat Anggota DPR lemah, hanya akan menghasilkan wakil rakyat yang lemah pula memperjuangkan aspirasi rakyat (h.478). Tidak optimalnya DPR RI menjalankan fungsinya bukan semata karena aspek internal, tapi juga dari pihak eksternal.
Salah satu aspek eksternal yang menurut DJM dapat melemahkan DPR RI adalah partai politik. Pada beberapa bab, DJM cukup sengit mengkritik perilaku partai yang tak jarang melakukan intervensi.
Pada bab 10, misalnya, DJM menulis, “Oligarki partai politik telah masuk ke dalam DPR, baik langsung seperti dalam penunjukan ketua DPR oleh pimpinan pusat partai politik yang mempunyai kursi terbanyak, maupun tidak langsung melalui tangan fraksi dalam day-to-day kerja parlemen”(h.612).
Drama relasi antagonistik antara DPR RI dan Pemerintah (eksekutif) lintas era juga tersaji baik. Misalnya tentang bagaimana Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto mempreteli tugas dan fungsi DPR di zamannya. Alhasil, fanatisme terhadap Soekarno dan Soeharto yang hari-hari ini kian marak digemakan segelintir pihak, melalui paparan DJM, menemukan delegitimasinya.
Pada Era Soekarno, DPR RI tak ubahnya seperti “tukang cap stempel” belaka. Begitupun pada masa Soeharto. DJM menulis, “Legislatif di masa Orde Lama, seperti juga nanti di masa Orde Baru, bekerja hanya sebagai tukang stempel (rubber stamp) untuk kemauan dan kebijakan eksekutif (h.109). Mekanisme check and balance yang seharusnya hadir dengan adanya DPR RI dalam panggung demokrasi dibungkam oleh kekuasaan otoriter.
Pertaruhan marwah DPR RI dengan sederet presiden setelahnya juga dipaparkan secara detail dalam kaitannya dengan fungsi DPR itu sendiri. Peristiwa pemakzulan Gus Dur cukup banyak mendapatkan perhatian. Pasalnya, pemakzulan Gus Dur melahirkan polemik di antara pakar hukum apakah konstitusional atau inkonstitusional?
DJM menulis, “Jadi, pemberhentian Gus Dur kerap dibilang bukan karena kasus Bulogate dan Bruneigate (Memorandum I dan Memorandum II DPR), tidaklah tepat. Pemberhentian Gus Dur dari jabatan Presiden RI sebagai kelanjutan penggunaan Memorandum DPR, sementara percepatan seminggu sidang Istimewa MPR dipicu oleh pelanggaran Gus Dur terhadaphaluan negara secara berulang-ulang….Proses yang dilakukan oleh DPR itu sudah benar”(h.269).
Sebagai sebuah pembacaan kritis, buku ini penuh letupan yang cukup mengejutkan. Misalnya, pada halaman 273. Buku ini memang didominasi pembahasan teks Tatib dari periode awal hingga terakhir tahun 2018. Namun, hingga buku ini terbit DJM tidak berhasil memperoleh salinan Tata Tertib DPR 2000!
Kita tentu patut bertanya, apakah hal ini karena dokumen yang dimaksud memang tidak ada/hilang sama sekali ataukah hanya karena DJM belum mendapatkannya? Jika yang pertama benar, maka betapa kacau tata kelola pengarsipan pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Tak kalah menarik temuan pada UU Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. Pada Bab IV dan Pasal 34 Bab IV UU Nomor 1 Tahun 1950 tersebut, terdapat kata “Perdata”, yang menurut DJM,
“…tampaknya bertentangan dengan kandungan Pasal 148 ayat (1) UUD 1949, yang menggunakan istilah kejahatan dan pelanggaran, yang masuk dalam lingkup pidana dan tata usaha negara. Sepertinya telah terjadi kesalahan tulis” (h.51).
Sepertinya memang ada semacam pengabaian dan ugal-ugalan dalam mendokumentasikan berkas Tatib seperti dua temuan di atas.
Ada lagi tentang Tata Tertib DPR RIS (Republik Indonesia Serikat). Tatib ini disahkan pada 28 Februari 1950. Namun, di kemudian hari, Tatib DPR RIS tidak mendapatkan porsi pada dua dokumen himpunan Tata Tertib yang dikeluarkan oleh Sekertariat Jendral. Kita beruntung DJM berhasil mendapatkan dan menyajikan Tatib DPR RIS dari buku yang berjudul “Seperempat Abad DPR RI”, yang dterbitkan Sekertariat DPR-GR.
DJM menulis, “Naskah lengkap Tata Tertib DPR RIS ternyata tidak dimuat dalam ‘Himpunan Peraturan Tata-Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia’, yang diterbitkan Sekertariat Jendral DPR RI (1984), atau ‘Himpunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 1945-1971’ yang diterbitkan Sekertariat DPR-GR (1971)” (h.58).
Jika kita sedikit mengernyitkan dahi pada aspek penulisan, terdapat beberapa kesalahan ketik (typo). Tentu tidak banyak. Hanya beberapa.
Setidaknya begitu yang berhasil tertangkap dari pembacaan yang agak tergesa-gesa. Persoalan typo ini mungkin sepele dan dapat dimaafkan jika (1) yang menerbitkannya bukan Penerbit Buku Kompas atau (2) jika kita perlu sepakat bahwa “gading yang sempurna harus punya retak”.
Terdapat beberapa kesalahan ketik yakni pada: Bab 1, hlm. 13, kata “alternatif” tertulis “altenatif”; Bab 2, hlm.15, kata “kedaulatan” tertulis “kedaulaan”; Bab 3, hlm. 60 kata “Indonesia” tertulis “ndonesia”; Bab 4, hlm. Hlm. 104 frasa “di dalam” tertulis “didalam”; Bab 5, hlm. 111, kata “adanya” tertulis “adaya”.
Begitu selanjutnya hingga bab terakhir, di antaranya: Bab 6, hlm.153 “perubahan” tertulis “perobahan”; Bab 7, hlm. 224 kata “mendeklarasikan” tertulis “meendeklarasikan”; Bab 8, hlm. 343 kata “terbentuklah” tertulis “tebentuklah”; Bab 9, hlm. 422 kata “peraturan” tertulis “peratuan”; Bab 10, hlm. 481 kata “memaksakan” tertulis “memaksanakan”; dan Bab 11, hlm. 619 kata “sentralistik” tertulis “sentaralistik”.
Membaca buku ini akan membawa kita juga memahami pelbagai lika-liku persoalan lainnya di luar persoalan fungsi DPR RI. Ada beberapa hal lain yang juga turut disinggung seperti: isu gender dan keterwakilan perempuan di parlemen, proses kelahiran beberapa komisi, awal mula pengaturan hak kekebalan/imunitas Anggota DPR, latar belakang pergolakan diadakannya pemungutan suara terbanyak jika tidak tercapai mufakat di tubuh DPR RI, serta keberadaan Menteri Koordinator yang tidak lagi menjadi mitra DPR RI. Dan masih banyak lagi.
Ada semangat otokritik yang tengah DJM perjuangkan dalam sunyi dan itu dengan sangat baik tergambar pada bab demi bab buku setebal 658 halaman ini. Ketangkasan dan kecerdikan untuk lulus dari ujian elektoral pada gelanggang pemilu memang tidak selalu mudah bagi yang berlatarbelakang aktivis. Sayang sekali, sosok dengan kemampuan seperti DJM ini tampaknya masih menjadi minoritas di DPR RI.
Suka tak suka, DPR RI adalah amanat konstitusi UUD 1945 dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan dalam mengawal kehidupan kita berbangsa dan bernegara: menjadi Indonesia. Sungguhpun terdapat ekses dan oknum yang dianggap melenceng dari yang seharusnya, maka kritik terhadap DPR RI adalah cara lain bagi kita untuk merawatnya, menjadikannya lebih baik.
Ketekunan dalam menghimpun data-data lalu mengalisisnya secara detail menjadikan buku ini tampak sebagai semacam ekspresi rasa cinta DJM setelah cukup lama bersahabat dengan institusi DPR RI. Pergumulan DJM menghayati karir sebagai legislator, terwujud ke dalam bentuknya yang kadangkala memang tak mudah diterima: kritik.
Melalui karyanya kali ini, seolah-olah DJM ingin berkata kepada DPR RI, “Aku mencintaimu. Itu sebabnya aku tak pernah berhenti mengkritikmu!”
+++
RJA Kalibata, 28 Agustus 2020. 00.05 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar